Chapter 1: Melarikan Diri
Afika setengah berlari menyusuri jalan sunyi di malam hari. Rinai hujan membasahi tubuh menusuk hingga ke tulang. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuh.
Gadis itu terus melangkah cepat menerobos derasnya air langit yang terus turun. Tidak peduli hantaman guntur yang terus menggelegar mengiringi langkah kakinya.
Langit tampak hitam pekat, rembulan dan bintang pun menyembunyikan wajahnya. Tidak ingin tampak menghiasi malam.
"Aku harus terus berlari. Tidak boleh berhenti. Jangan sampai tertangkap," monolognya pelan.
Suara Afika masih terdengar meski lirih dan diiringi suara air hujan. Kedua kakinya sudah mulai lelah, ditambah hawa dingin yang semakin menyiksa, membuat Afika mulai sulit melangkah.
"Aku harus segera cari tempat berlindung sebelum mati konyol di jalan," monolognya kembali.
Dengan sekuat tenaga, Afika memaksakan diri melangkah mencari tempat berteduh dan berlindung, serta menghangatkan tubuhnya yang semakin dingin dan hampir beku.
***
"Aduh!"
Seorang anak kecil berpekik saat terjatuh ketika berlari mengejar bola. Wajahnya memerah menahan sakit.
"Kamu nggak papa?" tanya seorang gadis.
Gadis yang tengah berjalan dan tidak sengaja melihat seorang anak kecil itu terjatuh, mendekat ke arah anak kecil tersebut, hatinya tergerak untuk menolong.
Anak kecil itu mendongak sambil menggeleng. Menatap lamat-lamat wajah gadis cantik dengan rambut sepundak yang di kuncir tinggi dan diberi poni. Mengenakan kaos berwarna biru laut dan celana jeans dengan warna senada.
"Lutut kamu berdarah. Sini Kakak obati," ucap gadis itu.
Dia melirik ke arah lutut anak kecil itu yang tengah dipegangin dan berdarah. Lagi-lagi anak tersebut mengangguk. Gadis cantik di hadapannya itu pun melepas tas ranselnya dan mengambil satu lembar plester dan air mineral, juga kapas. Menuang air ke kapas dan membersihkan luka dengan perlahan.
"Ahh!" pekik anak itu.
"Sakit?"
Anak itu mengangguk. Gadis tersebut meniup luka untuk mengurangi rasa sakit. Kemudian, memplester lutut sang anak, lalu ia menggambar orang tersenyum pada plester itu.
"Masih sakit tidak?" tanya gadis itu lembut.
"Tidak. Terima kasih, Kak."
"Sama-sama. Rumahmu di mana? Kakak antar pulang, ya," ucap gadis cantik itu.
Anak kecil itu mengangguk. Gadis tersebut menggandeng tangan anak berparas tampan di sampingnya dan melangkah. Namun, langkahnya terhenti di tengah jalan.
"Sampai sini saja, Kak. Rumahku tidak jauh dari sini. Terima kasih sudah menolongku," ucap anak kecil itu sambil menatap ke arah sang gadis.
"Tidak mau diantar sampai rumah?"
"Tidak usah, Kak. Terima kasih. Dah."
"Dah"
Gadis itu kembali melangkah meninggalkan anak kecil yang sudah ditolongnya.
~~~
"Tuan Muda, dari mana saja? Bi Ipah dan Suster Gory mencari. Kenapa Tuan muda tiba-tiba menghilang?" cecar Bi Ipah.
Wanita paruh baya itu mendekat ke arah anak kecil yang baru saja masuk sambil membawa bola yang ia kempit di tangan sebelah kiri.
"Maaf, Bi. Tadi aku ngejar bola, terus jatuh. Untung ada kakak cantik tolongin aku. Terus, aku diobati dan diantar pulang," cerita Alfa.
Anak kecil itu bercerita dengan wajah polos tanpa ekspresi. Membayangkan wajah cantik gadis yang menolongnya.
"Syukurlah Tuan Muda Alfa baik-baik saja. Bi Ipah mau telepon Suster Gory dulu, mau kasih tahu Tuan Muda sudah kembali. Tuan Muda ganti baju terus makan, ya," jelas Bi Ipah.
Bi Ipah mengantarkan Alfa ke kamarnya dan membantu membersihkan tubuh anak kecil itu. Kemudian, memakaikan pakaian. Lepas itu, ia menelepon Gory.
~~~
Afika tampak buru-buru masuk ke dalam sebuah kafe dengan napas sedikit tersengal.
"Aduh, Afika. Kamu dari mana aja, sih? Lama banget. Udah telat nih," oceh Betari.
"Aduh, maaf, ya. Tadi ada sedikit insiden, makanya agak telat datang," jelas Afika tidak enak hati.
"Apa? Insiden? Kamu nggak papa, 'kan? Ada yang luka?" cecar Betari.
Gadis itu memeriksa tubuh Afika, memastikan rekan kerja sekaligus sahabatnya itu baik-baik saja.
"Nggak papa, kok."
"Tapi ...."
"Kita lanjut kerja. Nanti Bos marah."
"Oke."
~~~
Arzan tampak duduk di ruang tamu dan berbincang dengan orang tuanya. Pemuda itu terlihat serius mendengarkan pembicaraan kedua orang tuanya itu.
"Zan, kamu ke rumah Om Aden sama Tante Anum, ketemu sama anaknya. Mama berniat menjodohkan kamu dengan putrinya. Gadis cantik, pintar, ya, meski sedikit tomboi," pinta Amara.
Wanita paruh baya itu mencoba membujuk putranya agar mau menerima perjodohan yang sudah ditetapkan kedua belah pihak.
"Ma, kenapa harus dijodohkan? Aku bisa cari sendiri," tolak Arzan.
Pemuda itu berkata lembut karena tidak ingin membuat orang tuanya kesal.
"Zan, anaknya Om Aden itu cantik dan keluarganya jelas. Mama nggak mau kamu asal-asalan memilih pasangan. Jangan sampai terulang lagi peristiwa dulu," jelas Amara.
Wanita itu masih berusaha membujuk putranya dan mengingatkan Arzan akan kenangan masa lalu yang menyakitkan itu.
"Papa setuju dengan perkataan mama-mu. Kami hanya ingin yang terbaik untukmu dan Alfa. Kasihan Alfa jika mendapat ibu sambung yang tidak baik. Pikirkan perkataan Mama dan Papa," ucap Andro.
Pria paruh baya itu mencoba menimpali dan mendukung ucapan Amara. Membujuk Arzan dengan lembut dan hati-hati.
"Soal itu, Papa sama Mama jangan khawatir. Aku akan mencari calon ibu untuk putraku dengan baik. Percayalah, tidak akan sama seperti dulu," jelas Arzan.
Pemuda itu berusaha meyakinkan kedua orang tuanya. Sebenarnya, Arzan memang belum ingin berumah tangga kembali setelah perceraian nya dengan mantan istrinya beberapa tahun lalu.
Arzan masih trauma dengan kejadian yang menimpa rumah tangganya itu yang meninggalkan luka dalam yang belum berkesudahan.
Daftar Chapter
Chapter 1: Melarikan Diri
826 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!