Chapter 11: 11 - The Bitter Truth
Letnan Logan ‘Reaper’ Matheson sudah lusinan kali melakukan interogasi kepada setiap target yang berhasil dia tangkap. Dia punya caranya sendiri untuk membuat mereka buka mulut, kadang bahkan tanpa perlu melakukan kekerasan. Dia hanya tinggal menampakkan sosoknya yang tinggi besar dan menyeramkan, tahanannya akan langsung terkencing-kencing dan memuntahkan semua informasi rahasia yang diperlukan Specter Ops.
Tidak jarang juga si tahanan berusaha memanipulasi dirinya sebagai interogator. Mereka akan bersikap angkuh, berlagak tidak gentar, mencoba menyuapnya dengan banyak sekali uang, atau mengancamnya balik. Jika tahanannya wanita, sesekali ada juga yang menawarkan tubuhnya untuk Reaper agar ditukar dengan kebebasan mereka.
Reaper tidak pernah terpengaruh.
Lagipula, di akhir, tahanannya akan selalu, selalu menyerah dan buka mulut. Tanpa kecuali.
Sekarang pun seharusnya tidak ada bedanya. Ketika Reaper melangkah masuk ke ruang interogasi di markas Specter Ops dan mendapati targetnya tengah terikat dan terborgol di kursi, Reaper seharusnya sudah siap akan segala kemungkinan.
Namun, interogasi kali ini agak berbeda dari biasanya.
Pikiran Reaper yang biasanya fokus dan jernih di setiap kali sesi interogasi sedang tercemari terlalu banyak memori. Coba saja dia bisa menyarangkan peluru di otaknya agar semua kenangan-kenangan brengsek itu bisa pergi. Sayangnya, hidup tidak semudah itu.
Tahanan Reaper, seorang pria berumur tiga puluhan bernama Avram itu, mengangkat kepalanya saat dia mendengar suara langkah kaki Reaper yang berat. Reaper diberitahu bahwa Avram tadinya dipekerjakan oleh lembaga hasil kerjasama Amerika Serikat dan militer Israel sebagai informan mereka. Dia bertanggungjawab memata-matai dan melaporkan apapun yang dia temukan tentang organisasi teror di Timur Tengah, terutama Palestina. Namun sekarang dia telah membelot dan membela musuh, hingga kabarnya tengah menyembunyikan sebuah senjata pemusnah massal yang menargetkan Amerika. Perintah untuk Specter Ops cukup jelas: capture or kill. Tangkap hidup-hidup. Kalau tidak, bunuh.
Avram tidak menunjukkan ekspresi ketakutan sedikit pun saat tubuh besar Reaper dengan wajahnya yang bertopeng menyeret sebuah kursi ke hadapannya. Rambut Avram yang ikal lebat setengah menyembunyikan matanya. Ini jelas bukan saat yang tepat, tapi benak Reaper terus-terusan mengingatkannya pada misi penangkapan pria ini.
Dia ingat Blake yang pendiam itu sedang terpingkal-pingkal karena lelucon entah-apa yang dicetuskan Shanks, sebelum belakang kepalanya diledakkan peluru penembak jarak jauh dan dia jatuh tersungkur ke depan. Dia ingat bagaimana satu per satu anak buahnya ditumbangkan musuh ketika bertarung demi meringkus target mereka. Beberapa tubuh mereka yang sudah tidak bernyawa harus Reaper angkut sendiri kembali ke pesawat karena mereka kekurangan tim medik.
Tapi yang paling Reaper ingat justru, lagi-lagi, suara Cat yang mengatainya anjing pesuruh. Reaper sudah sering melihat rekan-rekannya gugur di medan perang maupun saat melaksanakan misi, tapi baru kali ini—setelah dia memutuskan berpisah dengan perempuan yang telah mencuri hatinya itu—Reaper baru benar-benar dipaksa merenung dan berpikir.
Is it all worth it?
Anggota Specter Ops yang berangkat menuju lokasi ada tiga belas orang. Yang pulang tinggal lima. Kurang dari setengahnya.
Ini adalah kehilangan terbesar yang pernah dialami satgas itu di bawah komando Reaper. Reaper tahu dia harus mempertanggungjawabkan semuanya dalam laporan kepada para atasannya nanti.
Is it all worth it?
What for?
Untuk membela pemerintahan korup yang tidak peduli pada orang-orang tidak bersalah. Dalam benak Reaper, kalimat itu diucapkan dalam oleh Cat, dengan wajah angkuhnya yang cantik dan cibirannya yang membuat Reaper gatal ingin menghapuskannya dengan ciuman.
Reaper mengembuskan napasnya yang berat saat dia duduk di hadapan tawanannya itu. Sebuah pistol mitraliur–semi automatic rifle–yang pelurunya baru diisi dia genggam di depan tubuhnya. Tanpa perlu dia todongkan pun, Reaper tahu tawanannya ini sadar bagaimana bahayanya senjata itu.
“Mudah saja,” Reaper bergumam pada pria itu, suaranya menggores udara seperti kerikil kasar. “Aku bertanya. Kau menjawab dengan jujur.”
Pistol mitraliurnya dia geser sedikit. Hanya sedikit.
“Dan aku akan tahu kalau kau bohong,” Reaper melanjutkan.
Avram berkedip. Dia tampak tidak gentar. “Aku tidak punya alasan untuk berbohong. Lagipula, aku tidak takut mati. Aku tahu aku di pihak yang benar.”
Reaper tidak membiarkan dirinya tertegun. Dia sudah hapal berbagai macam taktik manipulasi yang bisa dilakukan tawanannya. Mau bersikap seolah-olah mereka tidak kenal takut pun, ujung-ujungnya akan meratap minta ampun juga.
“Kalau kau di pihak yang benar, kau tidak akan melawan dan menghabisi anak-anak buahku,” Reaper menggeram. “Sekarang katakan apa yang kau tahu soal senjata pemusnah masal—”
“Yang membunuh anak buahmu bukan orang-orangku, Letnan,” potong Avram datar. “Mereka di sana untuk menjagaku, tapi mereka bukan orang-orangku.”
Alis Reaper terangkat sesenti. Berani juga tahanan ini memotong kata-katanya.
“Omong kosongmu tidak penting. Kau tahu mengapa kau di sini. Organisasi teror yang kau bela tengah menyimpan senjata pemusnah massal yang akan kalian pakai untuk menyerang Amerika. Sekarang, katakan di mana lokasi senjata itu, dan kami mungkin akan membiarkanmu selamat dengan anggota badan yang masih utuh.”
Di luar dugaan, Avram malah menatap Reaper dengan sorot mata prihatin. “Jadi itukah yang pemerintahmu bilang padamu? Kau telah mengorbankan kawan-kawan seperjuanganmu demi sebuah kebohongan besar, Letnan. Nyawa mereka melayang dengan sia-sia.”
Reaper serta merta berdiri. Kali ini, senjatanya dia angkat dengan mengancam. “Jangan buang-buang waktuku, balingan,” Reaper mendesis.
Avram terdiam, sebelum menghela napas. “Sudah kubilang, aku tidak takut mati. Aku bahkan tidak takut disiksa, karena aku sudah tahu akhirnya akan seperti ini. Sekarang, katakan padaku, Letnan, apakah aku berbohong ketika aku bilang yang membunuhmu bukan orang-orangku? Aku tahu kau tahu. Kau hanya berusaha menyangkal kenyataan di hadapan matamu.”
Reaper merapatkan rahangnya. “Aku tidak melayani basa-basi dari orang yang bekerja sama dengan teroris.”
“Padahal kau sendiri bekerja untuk teroris,” Avram mengedikkan dagunya pada lencana bergambar bendera Amerika di lengan Reaper. “Kau juga sudah menyadarinya sejak lama, bukan? Negaramu penjunjung tinggi hak asasi manusia tapi tidak berlaku seperti manusia. ”
Mendeteksi adanya keraguan di pria besar itu, Avram pun melanjutkan monolognya.
“Mereka meminta kalian untuk menangkapku karena aku punya informasi berharga yang tidak boleh bocor kepada dunia. Bukan tentang senjata pemusnah massal seperti yang dikarang atasanmu itu. Tidak. Ini lebih berbahaya. Informasi ini akan membuat negaramu terancam kehilangan kekuasaannya atas orang-orang yang telah kalian bantu tindas dan bantai sejak hampir seabad lalu. Orang-orang yang selalu kalian cap teroris, padahal mereka hanya ingin hidup tenang di tanah kelahiran mereka.
Aku tadinya sama sepertimu, Letnan. Aku hanya perangkat yang dimanfaatkan pemerintah untuk menjalankan kekejaman mereka. Aku dulu berpikir, karena aku sangat taat pada imanku dan negaraku, aku punya kewajiban untuk berbakti. Jadilah aku menjalankan tugasku sebagaimana semestinya, sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kejahatan militer negaraku kepada orang-orang sipil Palestina dengan dalih agama. Apa kau tahu apa yang militer Israel lakukan jika bosan? Mereka akan menjatuhkan bom di atas rumah sakit atau area tempat pengungsian hanya untuk bersenang-senang. Mereka menghitung setiap nyawa anak kecil yang melayang sebagai kemenangan bagi mereka. Atau, mereka akan meledakkan truk pembawa bantuan agar para pengungsi itu mati kelaparan. Apakah orang-orang seperti itu bisa disebut manusia, menurutmu? Siapa yang teroris di sini?”
Reaper masih diam, membiarkan Avram berbicara. Karena Reaper bergeming dengan wajah tertutupi topeng, tidak akan ada yang tahu kalau hatinya sedang gusar.
“Kau di sini bukan untuk menceramahiku,” sahut Reaper, mengontrol suaranya agar tetap netral, meskipun batinnya mulai bergolak. “Kau di sini untuk memberikanku informasi yang kubutuhkan. Kalau memang yang kau katakan tadi jujur dan kau tidak takut mati, seharusnya kau tidak ragu untuk memberitahuku sekarang.”
Avram menarik napas lagi.
“Kau benar. Lagipula, aku sudah menuntaskan tugasku di dunia. Aku akan menyambut maut dengan tangan terbuka.”
Tidak ada yang lebih berbahaya daripada manusia yang tidak lagi takut akan kematian. Reaper sangat menyadari itu. Karena itu, kecil kemungkinan Avram akan berbohong. Reaper pun menurunkan senjata di tangannya sedikit, bersiap mendengarkan.
“Sentinel,” cetus Avram.
“Apa?” Mata Reaper menyipit.
“Itu nama perusahaan militer swasta yang kau kira anak buahku saat kau dan timmu menangkapku kemarin. Mereka juga yang menewaskan rekan-rekanmu atas perintah atasanmu sendiri, Jenderal Cooper.”
Reaper merasakan darahnya membeku. Jendral Cooper adalah atasan yang melantiknya sebagai Letnan dan yang telah memasukkannya ke Specter Ops. “Tidak mungkin…” Reaper menggertakkan gigi.
“Kau tahu aku tidak berbohong,” sahut Avram dengan tampang tanpa beban. “Jenderal Cooper melakukan semua itu demi memastikan aku tidak membocorkan informasi yang kupegang kepada siapapun. Karena itu dia mengirim timmu ke dalam misi bunuh diri tanpa kalian sadari, dengan harapan kalian tidak akan bisa menangkapku hidup-hidup. Ternyata dia terlalu meremehkan kalian. Dan di sinilah aku.”
Avram menatap Reaper tepat di mata, satu-satunya bagian di wajahnya yang tidak tersembunyi topeng.
“Apa yang akan aku katakan setelah ini akan sangat berbahaya, bahkan untukmu. Jadi kumohon dengarkan baik-baik, karena ini akan menjadi kata-kata terakhirku,” ujarnya pelan tapi tegas. “Israel—negaraku—mungkin terlihat sangat kuat dan tidak terkalahkan karena dukungan dari negaramu. Tapi ada satu hal yang menjadi kunci kelemahannya. Pemimpin negara sedang sekarat. Dia dan presidenmu telah—”
Tiba-tiba ruang interogasi didobrak dengan sangat keras sampai Reaper pun melonjak.
“Kita sudahi saja omong kosong ini sampai di sini,” sebuah suara laki-laki yang asing di telinga Reaper terdengar. Reaper menoleh, namun sebelum dia sempat bereaksi, sebuah peluru menembus pelipis Avram, memuncratkan darah dan serpihan otak ke dinding di belakangnya. Kepala pria itu terkulai ke depan dengan lubang menganga di tengahnya dan mata yang masih tertuju pada Reaper.
Amarah Reaper meledak. “Apa yang kau lakukan, keparat?!” Reaper menghambur ke sosok pria yang baru masuk tadi. Tangan Reaper menyambar leher pria itu, siap mencekik.
“Aku tidak akan melakukan itu kalau aku jadi kau, Letnan,” pria berpakaian serba hitam itu menyeringai mengejek. Dia tampak tidak terpengaruh dengan tangan Reaper yang tengah mencengkeram tenggorokannya. “Kecuali jika kau mau diberhentikan dari Specter Ops secara tidak hormat.”
“Siapa kau sebenarnya?” Mata Reaper menyipit. Dia masih belum mengendurkan cengkeramannya.
“Lepaskan dulu tanganmu, supaya aku bisa memperkenalkan diri secara pantas,” sahut pria itu, masih tanpa gentar.
Dengan mendengkus, Reaper akhirnya menurunkan tangannya dan mundur selangkah.
Pria tadi meluruskan pakaiannya dengan gaya tak acuh, sebelum merapikan rambutnya yang sewarna pasir. “Namaku Komandan Frost. Aku pemimpin Sentinel Service. Dan tugasku di sini, seperti kau lihat, adalah untuk membereskan apa yang kau tidak bisa bereskan.”
Matanya sekilas melirik tubuh Avram yang sudah tidak bernyawa.
“Sentinel Service? Kau yang kemarin melawan kami?” Reaper memulai, tinjunya terkepal saat dia mengingat bagaimana rekan-rekan setimnya dihabisi.
Tanpa memedulikan Reaper, Frost bersiul. Beberapa anak buahnya masuk ke ruang interogasi setelah mendengar itu dan langsung mengangkat mayat Avram.
“Aku hanya menjalankan perintah, Letnan. Saranku, kau juga harusnya begitu. Tapi kau malah dengan mudahnya percaya pada apa yang antek teroris itu katakan,” ujar Frost, matanya berkilat. “Kau ini prajurit. Apa kau lupa dengan sumpahmu untuk membela negara ini apapun yang terjadi?”
“Kau sendiri dari perusahaan militer swasta, Frost. Tahu apa kau soal sumpah? Kau hanya menuruti siapapun itu yang memberimu uang,” Reaper berdesis. Darahnya sudah menggelegak dan pikirannya mulai kacau, tapi dia masih bisa mengontrol diri.
“Letnan. Semua hal yang ada di dunia ini dilakukan demi uang. Tanpa kecuali,” balas Frost. “Oh, ngomong-ngomong, Jenderal Cooper menitipkan salam.”
Reaper terdiam saat dia mengawasi orang-orang Sentinel membawa pergi mayat Avram keluar dari ruang interogasi, dipimpin oleh Frost dengan seringai angkuhnya. Avram mengorbankan hidupnya demi bisa memberikan Reaper sebuah informasi yang sayangnya tidak sempat dia ungkapkan. Kata-kata Avram sebelum ajalnya terngiang-ngiang di telinga Reaper.
“Negaramu penjunjung tinggi hak asasi manusia tapi tidak berlaku seperti manusia.”
Jadi, siapakah teroris sebenarnya di sini?
Daftar Chapter
Chapter 1: 1 - First Impression
1,416 kata
Chapter 2: 2 - The Fight
1,689 kata
Chapter 3: 3 - The Practice
2,147 kata
Chapter 4: 4 - The Mission
1,675 kata
Chapter 5: 5 - What She Discovers
2,072 kata
Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?
1,473 kata
Chapter 7: 7 - White Carnations
1,620 kata
Chapter 8: 8 - Thank You 🔞
1,579 kata
Chapter 9: 9 - Mine 🔞
1,791 kata
Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same
1,460 kata
Chapter 11: 11 - The Bitter Truth
1,854 kata
Chapter 12: 12 - The Vow [TW]
1,447 kata
Chapter 13: 13 - The Request
1,608 kata
Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan
2,158 kata
Chapter 15: 15 - A Chance 🔞
1,936 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!