Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan
Karena tengah diburu oleh Jenderal mereka sendiri bersama dengan antek-antek militer swasta suruhannya, Specter Ops yang masih tersisa kini harus hidup dalam persembunyian. Camille baru menerima lokasi safe house beberapa menit setelah dia mendarat di Florida, lewat ponsel-sekali-pakai yang sudah Ennis siapkan. Untunglah, Camille sebagai “Audrey” mulus-mulus saja melewati pengecekan imigrasi. Sebagian karena dokumen-dokumen palsunya terlihat tanpa cela, sebagian lagi karena aktingnya sebagai Audrey begitu meyakinkan.
Mungkin di kehidupan lain, aku bisa jadi aktris, pikir Camille setelah petugas imigrasi mengecap visa dan paspornya dan membiarkannya lewat begitu saja. Camille menggeret kopernya keluar bandara. Sebelum ponsel dari Ennis nonaktif, pria itu sempat memberitahu Camille bahwa kendaraan penjemputnya sudah siap.
Camille celingak-celinguk di parkiran bandara, mencari mobil itu, sebelum ada yang meniup telinganya dari belakang, membangkitkan insting prajuritnya.
Camille berbalik dan nyaris saja memiting leher siapapun itu, namun urung ketika dia disambut sepasang mata biru cerah milik seorang pria berlesung pipit.
“Shanks!” seru Camille. “Astaga! Seperti tidak ada cara lain saja untuk menyapaku!”
Shanks tertawa terbahak-bahak. “Maaf, maaf. Aku selalu tidak bisa menahan diri untuk mengerjai teman lama.”
“Untung saja kita teman lama,” Camille menggeleng dan memutar bola matanya, tapi tak urung dia tersenyum juga. Selama mengenalnya, Camille tahu Shanks memang sejahil itu. Dia menarik pria itu ke dalam pelukan antar teman. “Apa kabar?”
Shanks menepuk punggung Camille sekilas sebelum melepaskan pelukan mereka. “Kau tahu lah aku. Selalu berkarisma,” dia menyeringai, lagi-lagi memamerkan lesung pipitnya. “Ngomong-ngomong, kereta kencanamu sudah siap, Tuan Putri, dan aku yang akan menjadi kusir pribadimu.”
Shanks membawa Camille menuju sebuah mobil hitam yang Camille yakini pasti platnya tidak terdaftar di catatan resmi manapun. “Mobil yang bagus,” komentar Camille saat mereka berdua masuk. “Sayang dia hanya akan ditinggalkan dan diganti oleh kendaraan lain di tengah jalan.”
“Ya, begitulah adanya,” Shanks mengangguk. “Kita harus memastikan bahwa kita tidak terdeteksi, terutama ketika melakukan perjalanan darat.”
Camille menghela napas ketika Shanks mulai mengemudi. Tiba-tiba dia diterpa perasaan gugup.
“Jadi kita akan benar-benar melakukan ini, ya? Menggulingkan salah satu pemerintahan terkuat di dunia yang didukung hampir seluruh negara Barat?”
“Ini akan menjadi misi bunuh diri, betul. Bahkan jika kita tidak hati-hati, mungkin bisa memicu Perang Dunia Ketiga. Tapi setidaknya, kita akan mencoba. Dan Ennis juga sudah memikirkan masak-masak semuanya,” jawab Shanks, membelokkan mobilnya ke jalan alternatif yang jauh dari jalan raya utama. Dia melirik Camille sekilas.
“Kalau boleh aku bilang, ini semua karena kau, Cat.”
Alis Camille naik. “Aku?”
“Ya. Kalau kau tidak mengundurkan diri beberapa bulan yang lalu, kami mungkin tidak akan sesadar itu tentang isu di Gaza dan Tepi Barat. Kami mungkin hanya akan menelan bulat-bulat setiap kebohongan yang disuapkan kepada kami oleh atasan kami. Karena itulah para petinggi berusaha menghabisi kami satu per satu sejak informan Israel yang membelot itu—Avram namanya kalau tidak salah—dieliminasi duluan oleh Sentinel. Untunglah dia cukup mempercayai Reaper untuk meninggalkan flash drive berisi temuannya ketika bekerja sebagai informan.”
Lagi-lagi, degup jantung Camille meloncat sesaat. Bahkan setelah selama ini, pengaruh pria bertopeng itu masih membuatnya tidak karuan.
“Ah. Reaper. Apa kabar dia?” Camille berusaha terdengar basa-basi.
“Masih pendiam dan penggerutu seperti biasanya,” Shanks terkekeh. “Laki-laki itu benar-benar butuh bercinta agar tidak terlalu kaku.”
Camille memalingkan wajahnya ke jendela agar Shanks tidak menyadari dia tengah tersipu. Malam yang Camille habiskan bersama Reaper tiba-tiba terbayang lagi di benak gadis itu. Bibir bawahnya yang dielus Reaper. Bisikan “my girl” yang membuat Camille meleleh. Wajahnya yang penuh bekas luka, dan bagaimana pria itu berkata hanya Camille yang mengingatkannya bahwa dia masih manusia.
Untunglah Camille tidak perlu lama-lama salah tingkah, karena Shanks memberhentikan mobilnya di tepi sebuah sungai, di mana sebuah mobil lain sudah menunggu. Mereka naik ke mobil itu, meninggalkan mobil selanjutnya, dan melanjutkan perjalanan menuju safe house atau markas sementara Specter Ops yang telah membelot.
Seperti biasa, Shanks mengoceh, mengajak Camille mengobrol tentang segala hal-hal remeh. Mungkin dia berusaha meredakan kegugupan Camille, mengalihkan perhatiannya dari misi paling berbahaya yang pernah mereka lakukan ini. Dan Camille menghargai itu. Hanya saja, ada saat-saat dia ingin tidak bicara, apalagi setelah penerbangan belasan jam-nya dari Paris. Camille merindukan keheningan yang nyaman saat dia bersama Reaper, bahkan sebelum mereka mengakui perasaan masing-masing. Camille ingat berdiri bersebelahan dengannya di gudang senjata, saling membersihkan senapan masing-masing, mengoper lap microfiber dengan hanya sebuah anggukan. Atau malam-malam di asrama ketika semua lampu harus sudah dimatikan, ketika Reaper membaca novel klasiknya dengan bantuan sinar senter, dan Camille melatih kembali kemampuan berbahasa asingnya dengan mendengarkan rekaman native speakers, sementara Shanks mengorok halus di antara mereka.
Setelah mengganti mobil sekali lagi menjadi sebuah van, membuang ponsel-sekali-pakai Camille ke sungai, dan menempuh perjalanan lanjutan selama sekitar satu jam, mereka akhirnya sampai di sebuah kabin di tepi hutan, berbatasan dengan danau kecil dan pegunungan asri di kejauhan.
“Terserah mau bilang apa soal Ennis, tapi dia memang jago memilih safe house,” celetuk Shanks ketika dia mengajak Camille membuka bagasi mobil. “Dan sekarang… waktunya bersenang-senang.”
Di dalam bagasi, berderet berbagai macam senjata. Berjenis-jenis senapan dan pistol yang masih dalam keadaan terbongkar, siap untuk disusun. Berjejer pula pisau berbagai ukuran. Bahkan ada golok dan busur silang segala.
“Wow. Ini yang aku sudah lama nantikan,” Camille tersenyum lebar, mengambil beberapa bagian salah satu pistol, Glock 19, dan merakitnya menjadi utuh hanya dalam waktu di bawah tiga puluh detik.
“Aku masih jago, rupanya,” Camille tidak bisa menahan diri untuk memuji dirinya sendiri saat dia membidikkan pistolnya ke sebuah pohon di seberang sana.
“Tidak ada yang meragukan itu. Karena itu lah kau di sini,” Shanks menimpali sambil tersenyum, menepuk bahu Camille sekilas.
Shanks menatapnya lembut. Camille menyadari warna mata pria itu mirip dengan warna danau di belakang mereka. “Aku benar-benar senang kau sudah kembali bersama kami, Cat,” gumamnya, suaranya memelan. “Mungkin kapan-kapan kita bisa—”
Sebelum dia sempat melanjutkan, dehaman Ennis membuat keduanya menoleh.
“Kalau kalian sudah selesai bermain-main, anak-anak,” gerutunya, “Berkumpullah di dalam. Kita akan mulai briefing. Oh, ngomong-ngomong, senang melihatmu lagi, Sersan Dubois.”
Ennis mengangguk singkat pada Camille sebelum masuk ke kabin.
“Yah, lebih baik kita tidak membuat ‘ayah’ marah,” kelakar Shanks, sebelum menyusul Ennis. Camille masih bertanya-tanya apa yang Shanks tadi berusaha katakan sebelum terpotong Ennis, tapi dia menyingkirkan itu dari otaknya dan bergabung bersama yang lain.
Hal pertama yang Camille sadari adalah: tidak ada Reaper di ruang tengah kabin itu. Kalau pria besar itu ada, ukuran tubuhnya dan topengnya pastilah akan sangat mencolok.
Hal kedua yang Camille perhatikan adalah banyaknya wajah baru. Dia ingat bahwa anggota Specter Ops kini hanya tersisa enam orang, termasuk dirinya, dan yang kini tengah mengelilingi meja dengan laptop dan beberapa lembar dokumen di atasnya itu kemungkinan adalah rekrutan-rekrutan baru yang Ennis ajak untuk bergabung dalam grup pemberontakan ini. Beberapa di antaranya terlihat masih sangat muda, mungkin baru awal dua puluhan. Camille punya firasat bahwa banyak anak-anak muda ini berstatus sipil dan tidak memiliki latar belakang militer, tapi dia memilih untuk tidak membahasnya. Sudah untung banyak yang mau ikut.
Dengan berusaha meredam kekecewaannya karena ketidakhadiran Reaper, Camille fokus pada apa yang dipaparkan Kapten Ennis.
“Sersan Camille Dubois—Cat—akan membantu kita mulai dari hari ini. Bersikap baiklah padanya,” kata Ennis, disertai anggukan dan senyuman hormat dari seisi ruangan, terutama dari yang belum mengenalnya.
Ennis mulai menjelaskan apa saja yang sudah mereka mulai lakukan sejauh ini dan timeline operasi mereka. Bukti-bukti yang ditemukan di dalam flash drive yang ditinggalkan Avram, informan Israel itu, sudah banyak, tapi Cat dibutuhkan untuk menggali lebih dalam lagi karena banyak di antaranya yang dienkripsi menggunakan bahasa Ibrani. Informasi itu kemudian akan dibocorkan ke media independen sedikit demi sedikit untuk semakin memancing kemarahan publik.
“Dalam tiga sampai enam bulan di awal, kita harus membuat semua protes dan demonstrasi yang kini mati-matian diredam penguasa menjadi semakin menyala, dan menggerakkan mereka untuk mengorganisasi aksi nasional,” ujarnya.
Media yang dikendalikan penguasa juga sudah dijadikan target peretasan, di mana nanti di penghujung rencana, fakta yang mereka dapatkan soal genosida ini akan disiarkan oleh media-media tersebut setelah sistem keamanan mereka berhasil dibobol. Puncaknya, mereka harus memastikan semua fakta itu diterima oleh para perwakilan negara di pertemuan PBB dengan cara menyiarkannya tepar ketika Perdana Menteri Israel berpidato.
“Dia tidak akan bisa berkelit setelah itu,” lanjut Ennis. “Tentu saja, perlawanan dari pemerintah akan luar biasa masif, belum lagi dari negara-negara dunia Barat lain yang menjadi sekutunya. Mereka akan melindungi Israel bahkan jika seluruh dunia hancur lebur. Semua fakta tadi itu pasti akan mereka sangkal, mereka bilang di-edit AI, mereka akan melabeli kita teroris, atau mereka akan lagi-lagi menggunakan kartu anti-semitisme. Karena itu kita juga sudah menyiapkan rencana untuk mencegat pengiriman-pengiriman suplai senjata lewat darat maupun laut agar tidak sampai ke Jalur Gaza. Aku sudah berkontak dengan jaringan pemberontak di negara-negara lain yang akan membantu kasus kita. Sedangkan untuk jaringan lokal, tim ini akan dipimpin oleh—”
Terdengar derit suara pintu dibuka, kemudian langkah kaki berat menyusul memasuki ruangan.
“Ah, kau datang tepat waktu, Logan. Kalian bisa memanggilnya Reaper,” ujar Ennis pada rekrutan-rekrutan baru yang langsung menoleh, beberapa sambil membelalak, melihat sosok lelaki tinggi besar bertopeng itu. “Letnan Reaper ini yang akan menjadi komandan kalian.”
Reaper berdiri bersandar di sudut dengan tangan tersilang di dada, topengnya menyembunyikan ekspresi apapun yang mungkin dia tunjukkan. Dia tidak ubahnya bayangan, tanpa gerakan, tanpa suara. Namun, atmosfer ruangan langsung terasa berubah setelah kedatangannya.
Terutama karena Camille yakin mata pria itu tertuju tepat padanya.
“Baiklah, prajurit. Sekian dulu briefing kali ini. Bersiap untuk berangkat mulai besok pagi. Sekarang, bubar,” perintah Ennis, dan para rekrutan pun satu per satu meninggalkan ruangan.
Reaper masih mematung di sudut.
Ruangan hampir kosong. Camille menelan ludah. Mungkin harus dia yang menghampiri laki-laki itu duluan. Setidaknya, untuk menanyakan kabar. Karena terakhir kali mereka bertemu, Camille ingat bahwa kata-katanyalah yang membuat Reaper pergi dengan marah.
Sambil mengumpulkan keberanian, Camille mulai melangkah maju ke arah Reaper.
Namun Shanks tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Cat,” senyum lebar karismatiknya menghadang Camille. “Boleh aku berbicara denganmu sebentar? Ada yang penting.”
Camille berkedip. “Uh… Baiklah.”
“Bagus. Ikut aku, supaya kita bisa lebih punya privasi.”
Camille tidak mengerti mengapa dia mau saja mengikuti Shanks bagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Apalagi, ketika dia melirik ke sudut, Reaper sudah tidak ada di sana.
Apa dia sengaja menghindariku? pikir Camille sebal. Lalu mengapa dia terus menatapku tadi?
“Aku butuh bantuanmu, Cat,” kata Shanks tanpa membuang-buang waktu. “Aku sedang dalam masalah.”
Pikiran Camille langsung teralih. “Masalah apa?”
Wajah Shanks memerah saat dia menggosok-gosok belakang kepalanya, membuatnya terlihat seperti anak kecil yang ketahuan menyontek.
“Aku sedang mau mengajak gadis yang aku suka untuk makan malam, tapi aku tidak tahu caranya bagaimana. Soalnya… dia itu jauh di atas levelku. Dia mungkin perempuan terpintar yang pernah aku kenal. Dan dia sangat keren, cantik, memukau…”
“Sebentar, apa aku tidak salah dengar? Xander Gutierrez alias Shanks, sang penakluk wanita ini, minta saran padaku?”
Shanks meringis. “Soalnya… gadis ini berbeda dari semua perempuan yang pernah aku kenal. Dia… bersinar.”
“Wow.” Alis Camille naik. “Kau sangat suka ya padanya?”
“Begitulah.” Cengiran salah tingkah Shanks kembali. “Aku naksir dia sudah lumayan lama, tapi baru kali ini aku berani melakukan sesuatu. Jadi, bagaimana menurutmu? Apa yang harus kukatakan?”
Camille berpikir sejenak. “Menurutku, kau lebih baik langsung jujur saja padanya. Mungkin katakan juga semua hal baik tentangnya yang tadi kau beritahu padaku. Dia pasti suka kalau mendengarnya.”
“Menurutmu begitu?”
Camille mengangguk. “Lagipula, gadis mana yang bisa menolak pesona seorang Sersan Shanks?”
Shanks terkekeh. “Jadi, aku tidak perlu pura-pura meminta sarannya dulu ya? Aku seharusnya langsung saja mengajaknya untuk makan malam denganku?”
“Ya— Eh, sebentar, bagaimana?”
“Kau dengar aku, kan?”
Selama beberapa detik, Camille hanya berkedip-kedip bodoh, tidak tahu harus berkata apa.
“Sayangnya tidak banyak restoran mewah di sekitar sini, tapi ada bar di desa sebelah yang menyajikan sayap ayam tergemuk dan terlezat yang pernah kau coba. Musiknya juga oke.”
Setelah menganga sekejap, Camille tidak kuasa menahan tawanya. “Ya ampun, Shanks…”
“Jadi, jawabannya ‘ya’ atau ‘oui’?” Shanks menyeringai. Lesung pipitnya benar-benar bisa membuat susah berkonsentrasi.
Tanpa sadar mata Camille bergulir ke sudut tempat Reaper tadi berdiri. Laki-laki itu tidak hanya sudah menghilang entah ke mana, tapi sepertinya benar-benar menghindari Camille.
Fuck it, Camille mendesah. Buat apa pula mengharapkan bajingan dingin itu?
“Baiklah,” ujar Camille akhirnya. “Jemput aku jam delapan. Jangan terlambat.”
Daftar Chapter
Chapter 1: 1 - First Impression
1,416 kata
Chapter 2: 2 - The Fight
1,689 kata
Chapter 3: 3 - The Practice
2,147 kata
Chapter 4: 4 - The Mission
1,675 kata
Chapter 5: 5 - What She Discovers
2,072 kata
Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?
1,473 kata
Chapter 7: 7 - White Carnations
1,620 kata
Chapter 8: 8 - Thank You 🔞
1,579 kata
Chapter 9: 9 - Mine 🔞
1,791 kata
Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same
1,460 kata
Chapter 11: 11 - The Bitter Truth
1,854 kata
Chapter 12: 12 - The Vow [TW]
1,447 kata
Chapter 13: 13 - The Request
1,608 kata
Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan
2,158 kata
Chapter 15: 15 - A Chance 🔞
1,936 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!