')">
Progress Membaca 0%

Chapter 1: Syarat

Aileen NM 15 Aug 2025 1,332 kata
GRATIS

"Gue sakit, Josh! Lo ngerti nggak, sih?"

Gue mengangguk.

Cewek yang seingat gue dulu punya rambut berombak indah sebatas bahu ini menjengit. Sekarang keindahan itu seolah sirna, sejak rambutnya dipotong pendek model pixie cut dan kepalanya lebih sering ditutup kupluk. Gue jadi nggak bisa iseng narik-narik anak rambutnya lagi.

"Kenapa lo masih ngotot juga? Lo nggak bisa nyari cewek lain apa?"

"Bisa."

Gue tetep kalem, memutar-mutar pinsil 2B yang gue pakai buat menggurat sketsa wajahnya di atas kertas. Salah satu kegemaran gue sejak kenal Yuri adalah menggambar muka dia, dengan berbagai ekspresi. Termasuk saat manyun seperti sekarang ini.

"Terus, ngapain lo masih maksa gue?" sengitnya lagi.

Gue menarik napas dalam-dalam, meletakkan pinsil dan kertas sketsa ke atas meja kecil, persis di sebelah kursi roda yang didudukinya.

Ini udah penolakan ketiga belas kali yang sempat gue hitung, dilakuin cewek ini dalam setahun belakangan.

Bukan. Bukan gue nggak bisa nyari cewek lain yang lebih segala-galanya dari Yuri, apalagi dengan pahatan wajah bak dewa Yunani, tubuh menjulang sedikit berotot, kulit mulus yang gue jaga dengan perawatan teratur setiap hari, nggak ada cewek yang nggak akan melirik kalo gue lewat. Sebut saja Wanda, Nindi, Jessi atau si centil dan seksi Maura, mereka bisa saling bunuh cuma biar bisa jadi pacar gue.

Lantas, kenapa gue harus maksa Yuri nerima lamaran gue?

Jawabannya satu.

Karena gue memang cintanya cuma sama dia! Ngapain ngejar cewek lain, iya kan?

"Lo udah tahu jawabannya. Apa perlu gue ulangi sekali lagi?"

Yuri berdecak. Tatapan dari kedua bola matanya yang dulu selalu berbinar antusias, kini meredup dan tampak sedikit menguning.

"Lo memang udah gila, Josh!"

Gue mengekeh sambil mengedip.

"Lo yang bikin gue begini. Tergila-gila sama lo!"

"Lo emang beneran gila karena mau kawin sama cewek yang sudah mau mati!"

"Semua orang juga nanti bakal mati. Termasuk orang seganteng gue. Tinggal nunggu giliran aja kok!"

"Dasar sinting!" gerutunya. "Macam dunia udah kehabisan cewek aja!"

Yuri menyambar sebatang rokok dari kotaknya di tangan gue. Tentu saja gue berusaha merebut kembali. Namun seperti biasa, gue selalu kalah tangkas dari cewek separuh jelmaan Samson ini. For your information, gue nggak suka ngerokok. Jadi rokok ini bukan punya gue, tetapi Yuri. Tadi sebenarnya udah pengin gue buang ke tong sampah.

Gue beneran nggak tahu, ya, Tuhan udah naruh apa dalam hidup Yuri waktu nyiptain dia. Gue sampai bisa segitu sayang sama dia.

Apa mungkin karena senyum, atau tawanya yang nggak pernah dia buat-buat? Atau pada kemarahan untuk ketidakadilan di sekitarnya?

Gue inget kapan hari Yuri pernah mendamprat seorang cewek, pengendara porsche. Cewek kaya ini hampir aja menabrak seorang nenek yang menyeberang jalan membawa opak dagangannya. Si nenek nggak sampai luka, sih. Namun cewek kaya itu nggak berhenti sama sekali untuk melihat keadaan si nenek. Yuri yang sedang gue bonceng dengan sepeda motor, segera meminta gue mengejar cewek itu. Sebelumnya kami berhenti sebentar untuk memastikan, kalau sang nenek baik-baik saja dan berada di tempat yang aman.

Gue dan Yuri berhasil menghentikan mobil mewah itu dan menyeret keluar si cewek kaya yang ternyata seorang artis ibukota. Yuri sempat beradu mulut dengan dia. Si cewek nggak mau ngalah. Tetap merasa paling benar dan di atas awan. Nggak pakai lama, Yuri menampar muka barbie cewek itu dan berhasil memaksanya kembali untuk meminta maaf pada si nenek.

"Lo minta maaf nggak, sama tuh nenek. Atau mulut lo yang manis ini mau gue sayat-sayat? Bangs***!" Begitu ancaman Yuri waktu itu.

Gue yang menyaksikan pertarungan nggak seimbang antara matador badak bercula sembilan dengan semacam putri dari khayangan ini dari jauh, cuma bisa senyum-senyum maklum.

Gue memang kurang begitu suka dengan ketomboian Yuri. Tapi gimana lagi, that's the way she is. Kalau mau jujur, gue beruntung punya teman seperti dia. Untuk ukuran cowok yang nggak suka ribet kayak gue, Yuri termasuk cewek sangat perhatian. Termasuk urusan berantem sama temen-temen cowok yang berniat merundung gue waktu SMA dulu. Yuri yang biasanya selalu maju untuk membela gue. Dia tahu, gue bukan banci hanya karena nggak suka main panas-panasan kayak cowok-cowok lain, atau ngumpet-ngumpet ngerokok, minum minuman keras di kantin belakang sekolah. Gue tetap cowok, meski tangan dan kulit gue jauh lebih mulus dari Yuri maupun cewek-cewek sekelas.

Meski Om Frans, papa Yuri, sejak sering bepergian ke luar negeri selalu menitipkan untuk menjaga anak semata wayangnya ini ke gue karena kami tetanggaan. Tetap saja, Yuri yang literally selalu ngejagain gue, karena memang hanya Yuri yang bisa ngertiin gue selama ini.

Selain itu, kesederhanaan Yuri sering membuat gue berdecak kagum. Dia nggak pernah menganggap kekayaan papanya yang konglomerat sebagai suatu hal yang pantas dia pamerkan.

Mungkin semua itu yang bikin gue sampai nggak bisa ninggalin nih cewek.

Well, apapun alasannya, cewek yang beda usia hanya terpaut satu tahun dari gue yang tahun ini genap dua empat, terbukti sanggup bikin gue susah tidur setiap malam sebelum tahu keadaannya.

Gue lihat jemari Yuri bergetar saat menyalakan rokok yang dia jepit di antara telunjuk dan jari tengah. Yuri berupaya keras agar rokok itu menyala, tetapi angin yang cukup kencang sore ini, mengembusmatikannya. Begitu terus sampai beberapa kali dan gue bosen ngelihatnya.

Segera gue rampas rokok itu dengan kesal.

"Dokter bilang lo bisa hidup sampai dua bulan lagi! Dengan ngerokok, lo bisa ngurangin jatah hidup lo sampai setengahnya dengan sia-sia. Tahu, nggak? Bego!"

Yuri mengabaikan salakan gue, malah menatap balik gue dengan pandangan minta dikasihani. Dia menggerak-gerakkan kaki dengan gelisah.

"Nggak usah ngelihatin gue kayak gitu!" Gue melengos. "Lebih baik gue racun lo langsung mati sekalian, daripada gue lihat lo mati pelan-pelan karena paru-paru bolong--"

"Gue kanker hati, bukan paru-paru! Moron!" sambarnya sebal.

Gue nggak bisa menahan mulut untuk nggak ketawa. Melihat Yuri dengan wajah dongkolnya itu termasuk satu dari tujuh keajaiban dunia. Maksud gue, bukan karena langka, tapi mukanya jadi kelihatan lebih glowing, shimmering, dan splendid aja di mata gue.

"What's the difference!" gue mendesis, mengedikkan bahu. "Coba ya, daripada lo ngisap batang beracun itu, mendingan gue ajarin lo ngisep batang lain yang lebih enak. Dimulai dari ngisep mulut gue ini dulu--"

Lalu muka gue mendadak terasa panas, saat sebuah tamparan cukup keras menghajar mulut gue yang sudah monyong di depan mukanya. Spontan mata gue yang tadi terpejam, membelalak seketika.

"Sarap!" makinya.

Gue tergelak keras sekali lagi. Namun masih sempat memergoki rona merah menyebar cepat di seluruh permukaan kulit pipinya yang putih mulus. Gue menikmati wajah cantiknya beberapa saat, sebelum akhirnya gue terdiam begitu saja. Ada perasaan kehilangan yang begitu besar mendadak menyusupi jiwa gue, saat kembali mengingat kebersamaan kami ini tidak akan berlangsung lama.

Ah, Yuri!

Gue meraih bahu cewek ini mendekat sebelum menangkupkan kedua telapak tangan gue membingkai wajahnya. Wajah ini dulu selalu menemani gue dengan segala keceriaan dan canda khasnya yang menggelitik. Namun sekarang lebih sering terlihat tirus dan kuyu.

Yuri bergeming.

Menyembunyikan bulir bening yang nyaris menitik, gue tubrukkan diri memeluk tubuhnya yang yang mulai ringkih termakan penyakitYuri membiarkan gue mendekapnya berapa jenak, sampai gue sanggup menghunjamkan tatapan menelisik langsung ke dalam matanya.

Oh, God! How can't I love her even more every day? Please do me a favor!

Gue mau bikin dia senang, sebab sependek yang gue paham, hati yang gembira bisa jadi obat paling manjur untuk segala macem penyakit. Gue bersedia mengisi hari-hari terakhir dia dengan apa pun yang bisa bikin dia bahagia. Meskipun sebaliknya, Yuri mungkin nggak akan sepenuhnya bisa ngebahagiain gue nantinya. Gue nggak peduli.

Gue cuma yakin, cinta gue cukup kuat dan bisa lebih hebat menguasai sisa hidupnya dari sirosis, kanker hati keparat yang sekarang semakin menggerogoti tubuh indahnya dulu.

Gue berlutut di depan kursi roda Yuri, menggenggam kedua jemarinya yang terasa lembab.

"Yurika Amara, will you please, please ... marry me?" Gue sudah berusaha sekuatnya, tetapi tetap nggak berhasil menyembunyikan suara yang bergetar.

Suasana hening memerangkap selama beberapa detik.

Yuri terus bergeming.

Pikiran gue yang masih berkelana entah sampai ke mana, mendadak kehilangan arah, saat suara lirih Yuri membuat gue terpana.

"Joshia Ananta, gue bersedia menikah dengan lo--" Yuri menjeda. "Tapi, dengan satu syarat!"

Chapter Sebelumnya
Chapter 1 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Syarat

1,332 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 2: Permohonan Terakhir

1,083 kata

GRATIS

Chapter 3: Bersamamu Tanpa Sengaja

1,232 kata

GRATIS

Chapter 4: Cintai Gelap

1,198 kata

GRATIS

Chapter 5: When You Say Nothing At All

1,100 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!