Chapter 5: Bab 5. Terselamatkan atau Hilang Lenyap
Hidup seakan tidak berarti lagi. Rasanya semua itu hampa. Tidak memiliki gairah hidup. Itulah yang dirasakan Caca sekarang.
Terkadang hidup harus ada perjuangan agar hidup berwarna. Kita harus diberikan ujian agar bisa keluar dari zona nyaman. Tidak selamanya hal yang tidak sejalan dengan kita berarti buruk.
Hal buruk atau baik itu tergantung dari cara pandang masing-masing. Setiap orang memiliki pilihan hidupnya. Dari situlah bisa menentukan apakah hidup kita bisa bertahan terus dengan warna atau mungkin sebaliknya.
"Argh!! Kenapa? Why? Aku benci dengan situasi ini!" Kali itu Caca membiarkan air mata keluar sejadi-jadinya.
"Ca, kamu tidak perlu menjadi orang lain agar bisa bahagia. Cukup jadi dirimu yang sekarang. Dirimu yang apa adanya dengan segala kekurangan dan kelebihan pada dirimu. Itu sudah cukup." Wardana mendekati Caca.
"Cukup! Jangan mendekat!" Caca berkata demikian tanpa menoleh sama sekali ke belakang.
"Kenapa? Kenapa kamu melarang aku? Maaf, jika aku ada salah. Maaf, jika aku sudah mengecewakanmu. Maaf dan maaf ini akan terus aku ucapkan sampai kamu memberikan aku alasan yang kuat mengapa kondisi kamu seperti sekarang. Coba jelaskan padaku. Aku mohon. Please, kamu jangan begini." Wardana masih dalam posisi yang sama. Dia tidak bergerak dari tempatnya. Pria itu sangat menghargai keputusan Caca.
"Aku hanya butuh waktu sendiri aja," jawab Caca singkat.
"Aku benar-benar bingung sekarang. Dari mulai kamu menghubungiku lewat aplikasi chat sampai aku tiba pun di sini, kamu tidak mau menemui. Aku sangat bingung dan heran. Ada apa sebenarnya?" Kala itu Wardana mengepalkan kedua tangannya. Wardana berusaha menahan amarah yang secara tiba-tiba itu muncul.
Di sisi lain, ketegangan yang sama masih dirasakan oleh kedua pria tua dan Jojo. Bahkan sepertinya suasana di sana lebih memanas. Semua tatapan orang-orang pun tidak lari dari pandangan.
Semua orang tidak bisa fokus melakukan aktivitas mereka masing-masing. Kehebohan itu sudah membuat mereka membutakan apa pun yang terjadi di sekitar. Itulah yang membuat mereka bertiga rasanya ingin segera pergi, tetapi sesuatu masih menahan di sana.
"Sudah! Cukup! Jojo tidak perlu dibela. Tidak ada yang harus dibela ataupun ditinggalkan," ucap Jojo yang tetap menunduk. Dia tidak berani menatap kedua belah pihak. Orang dewasa itu rasanya sangat membuat Jojo ingin kembali ke masa kecil.
Masa kanak-kanak adalah masa yang diimpikan semua orang. Dengan tetap menjadi anak-anak, semua beban pun terasa ringan. Tidak ada tanggung jawab besar yang harus dipikul, jika dipikirkan demikian.
"Jojo cukup!!" Maro dan Bobby serentak menengah Jojo.
Kenapa semua ini malah berakhir seperti ini? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa hidup dengan tenang? Kenapa? Kenapa harus begini? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa? batin Jojo.
"Ya sudah, kalau Ayah sama Paman masih terus ribut begini, mendingan aku pergi aja dari sini. Malu tahu dilihatin banyak orang!" Jojo mengemasi barang-barangnya, lalu pergi.
"Jo! Jojo!" teriak sang ayah yang tak mampu menahan anaknya pergi.
Kebisingan itu membuat Jojo makin muak. Dia sangat tidak menyukai hal itu. Semua itu seperti membuka kembali luka yang berusaha ditutup.
Ambisi dan keinginan yang sangat terlihat nyata pada diri Jojo. Pria muda itu hanya ingin lari dari semua yang menggangu pikirannya. Dia ingin lepas dari gangguan tersebut.
"Aku seperti harus cari kerja. Uang yang kupegang sekarang ini sepertinya tidak cukup. Tapi, aku harus melamar ke mana dengan hanya bermodalkan ijazah SMA aja? Adakah perusahaan yang mau menerima aku? Semoga aja aku tidak tertolak." Jojo menghela napas begitu panjang.
Hidup harus terus berjalan. Apa pun hal yang nantinya akan dilalui, Jojo ataupun siapa pun itu harus bisa melawan ego masing-masing. Harus ada yang mengalah dan sabar dalam menghadapi kenyataan hidup.
Tidak ada satu pun di dunia yang bisa melihat nasibnya ke depan. Tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui hal tersebut. Apalagi jika dia memiliki kekuatan super, sampai sejauh mana memangnya bisa menerawang kehidupan? Mungkin hanya sebatas penglihatan luar saja.
Apakah semua itu memang bisa? Atau hanya sebuah angan untuk mengubah segalanya? Bagaimana dengan hidup jika semua itu memang ada yang bisa melakukan?
Apakah hidup itu akan terasa datar? Atau akan semakin berwarna? Sepertinya tidak dengan keduanya, bukan?
Sepertinya hidup itu akan terkesan sangat menakutkan. Ya, sepertinya akan begitu. Hidup tidak akan memunculkan kejutan lagi karena sudah bisa ditebak.
Setuju apa tidak, tetapi itulah yang akan terjadi jika seandainya ada yang bisa melihat kehidupan ke depan. Manusia yang cenderung tidak bisa merahasiakan sesuatu yang dianggapnya begitu menakjubkan. Semua itu nantinya akan menjadi sebuah omongan yang tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Tidak ada yang bisa mengontrol keexcited seseorang. Sangat memberikan rasa senang dan haus akan berbagi hal yang sangat 'wow'. Semua orang memiliki kecenderungan begitu.
Caca dan Jojo secara bersamaan memiliki masalah kontrol emosi. Mereka berdua tidak bisa menerima nasihat. Semua tertutup oleh ego masing-masing.
"Kenapa harus aku? Kenapa? Hidup sangat tidak adil! Benar-benar gak adil! Aku benci ini semua!" Caca berteriak. Hal itu membuat Wardana yang sedang berada di sana menjadi terkejut. Baru kala itu dia melihat Caca seperti demikian.
Wardana ingin mendekati Caca, tetapi niatnya diurungkan karena perempuan itu menengahnya melakukan hal demikian. Dia sempat syok dan sadar bahwa masalah kontrol emosi yang sama ada pada diri Caca dan Jojo.
Mereka benar-benar sama. Sampai masalah kontrol emosi pun bisa sama-sama ada, batin Wardana.
"Argh!! Aku benci!! Kenapa ini semua harus aku yang alami? ARGH!" Semua barang yang ada di depan Jojo dihancurkan begitu saja.
Jojo terduduk dalam ruang kosong seorang diri. Sementara itu barang-barang berhamburan di lantai. Tidak ada siapa pun yang menemani pria muda itu kecuali dirinya sendiri.
Apakah hidupnya akan diakhiri? Atau dia masih bisa terus bertahan dengan kondisi seperti sekarang? Bagaimana dengan mentalnya? Apakah bisa?
Semua itu yang menentukan hanya masing-masing pribadi pada diri mereka. Hanya mereka sendiri yang bisa memutuskan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambil keputusan akan hidup mereka berdua.
Jojo maupun Caca, mereka sama-sama orang yang keras kepala. Mereka hanya mendengar diri sendiri. Tidak ada saran dari siapa pun dan dari mana pun yang bisa menembus tembok itu. Tembok sudah yang selama itu mereka buat pada diri masing-masing.
"Hidup bukan berbicara tentang 'apa', 'mengapa', dan 'bagaimana', tetapi siapa yang bisa terus bertahan dengan kondisi seperti ini terus-menerus. Siapa yang bisa tetap waras walaupun dunia terus menekan? Siapa dan siapa? Ini hanya berbicara tentang 'siapa'. Itu saja, tidak ada yang lain."
Daftar Chapter
Chapter 1: Bab 1. Goncangan Mental
1,065 kata
Chapter 2: Bab 2. Murka
1,207 kata
Chapter 3: Bab 3. Merasa Ketidakadilan
1,073 kata
Chapter 4: Bab 4. Emosional
1,019 kata
Chapter 5: Bab 5. Terselamatkan atau Hila...
1,034 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!