')">
Progress Membaca 0%

Chapter 4: Bab 4. Emosional

Nitaosh94 19 Aug 2025 1,019 kata
GRATIS

Perbedaan pendapat itu wajar, tetapi ada sisi negatif dari hal tersebut. Tidak semua orang bisa menerima perbedaan. Ada yang beranggapan wajar dan juga ada yang tidak senang dengan tindakan itu. 

Begitu juga dengan ayah dan pamannya Jojo. Mereka berdua malah bersitegang. Satu sama lain tetap mengedepankan ego masing-masing. 

Terjadilah pertengkaran hebat antara Maro Ghifari dengan Bobby Bishal, sang kakak. Bobby tiba-tiba datang dan ikut campur dengan permasalahan yang dihadapi oleh ayah dan anak, yaitu Maro dan Jojo.

Tatapan semua orang sekarang tertuju pada ayah dan anak, serta orang tua yang tiba-tiba muncul itu. Di sana terlihat heboh. Semua orang pun berbisik-bisik, mereka seakan menggosipkan kejadian yang dilihat di depan mata sekarang. 

"Cukup! Sudah cukup! Biarkan dia dengan pilihannya! Jangan terus-terusan kau ikut campur, Maro!" Pria tua itu berusaha menarik Maro pergi dari sana.

"Cukup! Dirimu tidak perlu ikut campur, Bobby! Tahu apa sih kamu? Jangan berlagak sok tahu!" Maro menghempaskan tangan Bobby. 

"Paman ini siapa?" Wardana memberanikan diri menanyakan demikian. 

Di tengah kehebohan yang ada, kondisi yang belum terlihat kondusif, Wardana malah menanyakan hal yang bisa saja terjadi lemparan api. Dia tidak berpikir sampai ke situ, yang ada di dalam pikirannya adalah mengetahui apa hubungan orang itu dengan keluarga Jojo.

Mendengar pertanyaan tersebut, tatapan sinis pun diterima Wardana. Pria tua bernama Bobby itu seperti tidak bisa menerima pertanyaan demikian yang keluar dari mulut sahabat Jojo. Mulut pria itu tetap terkunci rapat, tetapi dari sorot mata terlihat sangat jelas ketidaksenangan. 

Tidak ada satu pun jawaban yang diberikan Bobby kepada Wardana, begitu juga dengan Maro dan Jojo. Mereka semua hanya diam. Tidak ada yang bisa mereka katakan, selain memberikan isyarat agar tidak ikut campur dengan semua yang terjadi sekarang. 

Apaan, sih? Tatapan apaan ini? Ngusir gue atau apa? Benar-benar aneh! Apaan, sih? Gue jadi makin penasaran. Kenapa gak ada yang mau menjelaskan ke gue? Segitu takutkah?Wardana berbatin.

Tring! Tring!

[Lo bisa datang sekarang gak? Penting.]

Satu pesan masuk ke ponsel Wardana. Dia bimbang. Pria itu bingung harus masih tetap di sana apa pergi menemui si pengirim pesan tersebut.

Tring! Tring!!

[Sekarang, Wardana! Gak ada waktu lagi. Penting! Kalau lo gak nyampe sini dalam waktu 15 menit, maka semua akan berakhir. Jangan salahin gue kalau lo gak akan pernah lihat gue lagi. Sekarang lo datang ke sini atau lo akan menyesal.]

Lagi-lagi pesan dari sosok misterius itu membuat Wardana tambah bingung. 

Ada apa? Kenapa Caca tiba-tiba chat begini? Emangnya ada apa? Ini momen yang gak pas banget. Tapi, kalau gak pergi sekarang juga, nanti gue nyesal. Tapi, ini ... duh, bingung, batin Wardana. 

Tring! Tring!!

[Cepat! Sekarang Wardana! Tunggu apa lagi, sih? Cepat, sekarang juga! Udah gak ada waktu lagi! Hm, kayaknya aku udah gak berarti lagi, ya. Kayaknya ini semua, semua yang kita jalani gak ada apa-apanya buat kamu. Hidup aku gak sesuai dengan yang kamu mau. Sepertinya aku memang gak berharga di mata kamu, ya. Sepertinya begitu. Ya, sudahlah kalau aku menurut kamu begitu. Aku kayaknya memang gak berharga. Sudah cukup, aku tidak bisa mempercayai siapa pun lagi sekarang. Buktinya kamu aja begini, apalagi yang lain. Aku gak tahu. Apa Jojo juga begitu? Apa semua laki-laki sama? Apa sifat dan tingkah lakunya pun sama? Benar apa salah, ya? Tapi, kelihatannya benar, ya? Ya sudahlah. Rasanya aku mulai capek. Boleh, ya, aku pengen istirahat. Pengen tenang tanpa ada yang ganggu. Aku tidak ingin ada satu pun yang datang menghampiri aku sekarang. Termasuk kamu, aku tidak mau. Kamu sudah membuat aku kecewa. Kamu tidak seperti Wardana yang aku kenal dulu. Kamu berubah. Kenapa kamu begini? Kenapa? Apa salah aku? Kenapa, Wardana? Kenapa? Aku benci semua ini! Aku benci! Jangan temui aku lagi. Aku ingin pergi jauh. Aku benci!]

Wardana membaca pesan itu sampai selesai. Dia pun langsung berlari, pergi meninggalkan keadaan di sana yang masih sangat tegang itu. Pria bernama Wardana sangat menyesal karena tidak langsung sigap dengan pesan dari Caca.

Semoga tidak terlambat. Semoga kamu tidak melakukan hal yang nekat. Semoga kamu bisa berpikir dengan jernih. Semoga. Aku harap kamu tidak mengambil langkah yang salah, Ca. Aku mohon tunggu aku. Aku mohon. Wardana terus berlari. Tanpa disadari perlahan air mata dia menetes. Pria itu sangat emosional sekarang. 

Di sisi lain, di tepi danau, seorang perempuan sedang termenung. Entah apa yang sedang dipikirkan, yang pasti sekarang dia sepertinya merasa tertekan. Air mata Caca pun tidak berhenti menetes. Ya, perempuan itu adalah Caca.

"Kenapa? Kenapa ini semua harus terjadi padaku? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa bahagia seperti orang-orang? Kenapa yang aku inginkan susah digapai? Kenapa harus aku yang mengalami ini? Kenapa? Kenapa tidak bisa ditukar aja? Kenapa? Aku benci! Benci ini semua! Aku benci!" Caca melempari batu-batu yang ada di tangannya tanpa tersisa ke danau. 

Apa pun yang kamu alami sekarang, apa pun itu, jangan sampai berpikir untuk mengakhiri hidup. Hidupmu berharga. Jangan sia-siakan itu. Walaupun beratnya kehidupan, tetapi jangan menyerah.

Jangan mengambil keputusan pada saat emosi. Mengambil keputusan saat demikian, maka tidak akan mendapatkan solusi yang baik. Tidak ada pelajaran yang bisa dipetik saat sedang emosi. 

Kontrol emosimu! Jangan sampai kamu dikendalikan oleh emosimu sendiri. Kamu yang harus bisa mengontrol emosi itu, bukan sebaliknya.

Hidup memang tidak selamanya berjalan sesuai keinginan, karena bukan hidup namanya kalau berjalan mulus saja. Tidak ada yang bisa mengajarkan pentingnya hidup kalau hidup terkesan datar saja. Jalanilah hari-harimu walau itu terasa berat.

Jangan pikirkan soal beratnya hidup, kalau mau tetap bahagia. Bahagia itu dapat dirasakan dengan cara yang sederhana. Satu caranya, yaitu belajar menerima keadaan dan bersyukur dengan apa pun yang sudah dicapai.

Lewatilah hari dengan senyuman. Yakin dan percaya pasti ada keajaiban dari Sang Pencipta. Tidak ada yang mustahil bagi Sang Pemilik Alam Semesta. Tugas kita hanyalah harus yakin dan percaya. 

Hidup hanya sekali, maka jangan sia-siakan apa pun yang sudah dipercayakan. Belajarlah meredam emosi. Belajarlah memperbaiki diri dari yang awalnya buruk ke yang lebih baik.

Cobalah mulai dari hal yang paling kecil, lama-lama akan menjadi besar dampaknya. Coba dulu. Usaha dulu. Tidak ada yang tidak mungkin jika mau berusaha memperbaiki semua yang ada. Latihan terus, mama emosi akan menjadi stabil. 

"Apalah arti hidup bagiku sekarang?" Caca menghapus air matanya yang terus-menerus keluar.

Daftar Chapter

Chapter 1: Bab 1. Goncangan Mental

1,065 kata

GRATIS

Chapter 2: Bab 2. Murka

1,207 kata

GRATIS

Chapter 3: Bab 3. Merasa Ketidakadilan

1,073 kata

GRATIS

Chapter 4: Bab 4. Emosional

1,019 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 5: Bab 5. Terselamatkan atau Hila...

1,034 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!