')">
Progress Membaca 0%

Chapter 1: Ruang Bagi Rasa

Japa Lili 15 Aug 2025 1,043 kata
GRATIS

Senja merayap perlahan di balik gedung-gedung tinggi kampus. Indahnya menyulam langit dengan warna merah jingga yang membakar. Sore ini udara terasa hangat, tetapi ada rasa dingin yang menyusup seperti bisikan yang tak ingin kudengar. Aku berdiri di bawah pohon rindang dengan jari jemari menggenggam ponsel yang baru saja bergetar.

“Kamu terlihat sedih hari ini.” Dengan cepat aku menarik layar atas ponsel, kemudian melepaskannya tanpa menanggapi pesan itu.

Meskipun kecil rasa penasaran itu pasti ada, tetapi akan lebih aman dan tidak memenuhi pikiran apabila keingintahuan tentang siapa yang mengirimkan pesan tersebut perlahan dihilangkan. Beberapa saat kemudian kembali ponselku bergetar dengan isi pesan yang berulang dan ini sangat menjengkelkan. 

“Kamu terlihat sedih hari ini.”

Sekilas pikiran mencoba menggurui untuk tidak merespons nomor yang tidak dikenal. Namun dilema melanda hati, seolah memerintahkan untuk membuka pesan tersebut dan membaca isinya.

Sekilas dilihat memang kalimat itu isinya sederhana. Namun, apabila di kirim berulang dari sosok yang tentu saja tidak jelas, sungguh seperti angin malam yang menyelinap ke relung jiwa. Terang saja pesan itu kembali membangkitkan rasa penasaran sekaligus kegelisahan yang tak kunjung reda. "Siapa yang mengirim pesan ini?" gerutuku dengan suara lirih. "Nomor asing tanpa nama, tanpa jejak pula." Aku menatap layar berusaha menangkap arti di balik kata-kata itu, tapi yang kudapat hanyalah bisu yang menusuk.

Langkah kaki terdengar mendekat. Suara itu membawaku kembali ke realita. “Aleza, kamu di sini?” suara Arka memecah keheningan, lembut tetapi penuh perhatian.

Aku menoleh, bertemu dengan tatapan matanya yang dalam dan misterius. Seperti samudra yang menyimpan gelombang rahasia dan luka tak terjamah. “Aku hanya butuh waktu sendiri,” jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti.

"Bukankah sudah cukup lama menyendiri," lanjut Arka dengan tatapan tanpa bergeser sedikitpun sebelum aku menjawab.

"Tidak terasa lama apabila seseorang menyukai kesendirian." Aku membalas menatap, sebelum akhirnya kembali menunduk dengan pikiran berkecamuk.

Arka mengerutkan kening, wajahnya berubah serius. “Kamu tahu, jika aku selalu ada, bukan? Tak perlu kamu tanggung sendiri.”

Aku mengangguk, tapi suara hatiku berbisik lain. Ada sesuatu yang tak bisa kulupakan. Sesuatu yang membuatku terjebak dalam pusaran keraguan.

"Aleza, apakah ada yang mengalihkan perhatianmu? "tanya Arka dengan penasaran tak bertepi. "Coba katakan padaku, hal apa yang mengalihkan fokus mu?" Kembali Arka bertanya dengan tatapan hangat dan perlahan mendekap tubuhku. Laki-laki ini memang paham, jika wanita ini sebenarnya membutuhkan pelukan.

"Sudahlah." Aku menghela nafas panjang dan menyandarkan kepalaku di tubuh Arka.

"Bisakah kamu memberitahuku?" tanya Arka dengan suara lembut dan matanya menatap dalam, seolah menangkap setiap perubahan kecil di wajahku.

Aku kembali menghela napas, mencoba menenangkan gelombang perasaan yang tiba-tiba mengusik. “Kadang aku merasa terjebak di antara harapan dan ketakutan, Arka.”

Suara Arka turun lebih dekat, seolah hanya untukku. “Bisakah kamu ceritakan? Aku di sini untuk mendengarkan.”

Dengan lembut jari-jemarinya menyentuh tanganku. Meskipun sekilas tetap terasa menghangatkan. Aku merasakan getaran yang tak terucap dari sebuah pengertian yang melampaui kata. Keheningan menyelimuti kami, nyaman dan penuh arti. Detak jantung kami berdansa dalam irama yang sama, mengisi ruang kosong yang tak perlu diisi kata.

Arka menarikku lebih dekat. Pelukannya hangat menghapus segala kegelisahan dalam dadaku. “Kamu tidak perlu takut, Aleza. Aku akan selalu ada di sisimu.”

Aku menutup mata membiarkan rasa aman itu meresap ke dalam jiwa. Di pelukan Arka, aku bisa menemukan keberanian untuk menghadapi segala teka-teki yang menanti di luar sana.

Suasana hati kami menjadi hening sejenak.  Hanya terdengar desah napas kami yang berat dan detak jantung yang berdentam di telinga. Di antara bayang-bayang malam dan ketegangan yang menggantung, aku merasa ada sesuatu yang belum terucapkan. Sebuah rahasia yang menunggu untuk terungkap. Meski mata kami saling bertemu, tapi masih penuh dengan pertanyaan dan ketidakpastian.

Dalam keheningan, genggaman tangan kami terasa lebih erat yang seolah saling menguatkan tanpa perlu kata. Cahaya remang bulan menyelinap di antara dedaunan, membelai wajah kami dengan lembut, menorehkan kehangatan di tengah dinginnya malam. Hati yang berdebar tak hanya karena ketakutan, tapi juga karena kehadiran satu sama lain yang tak terbantahkan. Seperti sebuah janji tak terucap yang bergetar halus di antara desah angin malam.

Arka memandangku dengan tatapan yang sulit kubaca. Suaranya pelan, namun penuh arti. “Aleza, kadang aku merasa ada sesuatu yang belum kita pahami."

Tangan kami saling menyentuh sebentar, seolah mencoba menjembatani jarak yang belum jelas dan meninggalkan pertanyaan yang menggantung di udara malam.

 “Aku juga merasakan itu, tapi aku belum tahu harus berkata apa.” Aku menunduk sejenak, kemudian menatapnya kembali.

Suaraku bergetar halus, seolah setiap kata yang terucap membawa beban berat yang selama ini kusimpan rapat di dalam dada. Getaran itu bukan hanya terdengar di suaraku, tapi juga terasa hingga ke ujung jari dan tulang. Memang sebuah kerentanan yang sulit kutampik.

Dalam keheningan yang menyusul, waktu seakan berhenti sejenak, meninggalkan kami berdua dalam ruang yang penuh emosi tak terucapkan. Mataku bertemu dengan pandangannya, dan di sana kutemukan cermin dari perasaanku sendiri. Ada campuran harap, takut serta keinginan yang belum berani kuungkapkan. Rasanya dunia menyusut menjadi momen kecil yang hanya milik kami. Segala rasa yang selama ini tersembunyi akhirnya berbisik pelan, menuntut untuk didengar dan dirasakan bersama.

Detik-detik berlalu dalam keheningan yang penuh arti, menambah beban yang kupikul sekaligus menguatkanku untuk bertahan. Namun, sebelum aku sempat melanjutkan kata-kataku terhenti terperangkap oleh keraguan yang tiba-tiba menyergap, meninggalkan ruang kosong penuh tanya di antara kami. Aku ingin membuka lebih banyak, tapi takut jika itu justru merusak momen malam ini.

Di balik tatapan ini aku tahu, kami sama-sama merasakan ketakutan dan harapan yang saling bertaut dan belum menemukan keberanian untuk mengungkapkan. Jadi aku sekarang mengerti bagaimana rasanya berdiri di ambang sebuah perubahan dengan hati yang masih rapuh, namun berani mencoba.

Pria itu memelukku erat dengan napas hangat menyentuh leherku. Sementara tatapannya yang dalam dan penuh hasrat membuat detak jantungku berlari, seolah dunia hanya milik kami dalam satu pelukan.

Ia semakin erat merengkuhku hingga aroma tubuhnya menempel hangat dan wangi parfum yang khas menyelimuti kami. Semesta membungkus momen ini dengan keintiman yang tak terucapkan dengan tatapan insan yang lembut untuk menenangkan setiap kegelisahan.

Dalam pelukan ini, setiap detiknya terasa abadi. Waktu seolah melambat untuk memberi ruang bagi rasa yang ingin tumbuh semakin dalam. Kehadiran pria ini bukan hanya mengisi ruang di sekitarku, tapi juga menghangatkan relung hati yang selama ini tersembunyi. Aku merasa aman dan dihargai dalam keheningan yang penuh arti.  Beberapa menit berlalu dan aku hanya bisa terdiam menunggu kata-kata tersembunyi di balik tatapan pria tampan yang menggugah hati ini.

 

 

Chapter Sebelumnya
Chapter 1 dari 7
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Ruang Bagi Rasa

1,043 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 2: Meredam Kegelisahan

1,023 kata

GRATIS

Chapter 3: Momen Hangat Terganggu

1,176 kata

GRATIS

Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya

1,153 kata

GRATIS

Chapter 5: Dinginnya Malam

1,044 kata

GRATIS

Chapter 6: Menatap Lama

1,346 kata

GRATIS

Chapter 7: Bayangan Tersembunyi

1,269 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!