Chapter 2: Meredam Kegelisahan
Arka menarik napas dalam-dalam. Matanya tak lepas dari wajahku. “Mungkin kita memang belum siap menjawab semuanya sekarang. Tapi aku ingin kita tetap ada di sini untuk saling mengerti meski perlahan.”
Aku mengangguk dan merasakan hangatnya kehadiran Arka mampu meredamkan kegelisahan yang selama ini mengusik ketenangan. Untuk sesaat bayang-bayang chat misterius itu menghilang dari pikiranku. Tergantikan oleh detik-detik tenang di bawah langit malam yang penuh bintang.
“Kau tahu, kadang saat semua terasa berat, kehadiranmu saja sudah cukup untuk membuatku merasa aman.”
Aku menatap Arka dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Bibirku tersenyum tipis, namun penuh makna. Di balik kata-kataku yang sederhana itu, tersembunyi perasaan yang belum berani aku ungkapkan. Sebuah cinta yang tumbuh perlahan, malu-malu, tapi tak bisa disembunyikan. Arka membalas tatapanku dengan sorot mata yang hangat dan penuh perhatian, seolah membaca setiap untaian perasaan yang aku tutupi di balik senyuman manis menawan.
Arka ikut tersenyum tipis, menggenggam tanganku lebih erat. “Itulah yang ingin aku jaga, Aleza. Kita hadapi semuanya bersama, satu langkah demi satu langkah.”
Dalam keheningan yang hangat itu, aku lupa sejenak akan rahasia dan ketakutan yang membebani, terbuai oleh kehangatan yang sederhana, tapi berarti di antara kami.
Lampu jalan yang temaram menebarkan bayangan panjang. Arka menatapku dengan mata yang menyala penuh semangat hangat. Sementara wajahnya tampak serius, seolah beban dunia ada di pundaknya.
Di tengah keremangan malam, tatapan kami bertemu. Sekali lagi sebuah percikan yang tak terucap mengisi ruang hening dengan janji dan keraguan yang terbungkus. Aku merasakan detak jantung yang berpacu, bukan hanya karena misteri yang mengintai, tapi juga karena kehadirannya yang tak bisa kuabaikan.
Namun, sebelum kata-kata lain sempat terucap, ada suara langkah kaki mendekat dari kejauhan memecah keheningan dan membawa bayangan baru yang tak terduga.
Tiba-tiba Maya muncul dari balik sudut langkahnya yang tergesa-gesa. Wajahnya pucat dan matanya yang gelisah bertemu pandanganku. “Aleza, apa kamu sudah dengar kabar tentang Raka?” suaranya bergetar. “Dia hilang sejak kemarin.”
Aku buru-buru melepaskan pelukan Arka. Jantungku berdegup kencang bukan hanya karena kata-katanya, tapi juga karena kehadiran Maya yang tiba-tiba.
Rasa gelisah merayap bercampur malu karena momen hangat itu terganggu tanpa aba-aba. Aku menatap Maya dengan sorot mata yang masih gelisah, berusaha menenangkan diri sebelum menjawab pertanyaannya. Sementara pikiran tentang Raka yang hilang membuat udara di sekeliling kami terasa semakin berat.
“Hah! Tidak." Jantungku tercekat. Raka, sahabatku yang selama ini menjadi nyala api kecil dalam hidupku, kini menghilang tanpa jejak. “Apa kamu yakin Raka hilang?” tanyaku kembali dengan suara bergetar.
Maya mengangguk pelan seolah menahan sesuatu yang lebih berat. “Aku takut ada sesuatu yang salah.”
“Ada apa ini sebenarnya?” tanya ku dengan panik.
Arka segera meraih tanganku, menggenggamnya dengan hangat dan penuh keyakinan. “Kita cari dia bersama. Tidak akan kubiarkan kamu menghadapi semua ini sendirian.”
“Iya, Arka! Ayo kita temukan Raka,” sambung Maya dengan tergesa. Tanpa memedulikan sikap Arka yang masih menunjukkan sisi hangatnya kepadaku.
Namun, di balik kehangatan, sebenarnya aku merasakan bayang-bayang rahasia yang mulai merayap, menguji kekuatan hatiku. Tekanan keluarga yang membelenggu mimpiku, harapan yang menuntut kesempurnaan seolah menjadi rantai emas yang mengikatku erat. Sejak dulu, di tengah tawa dan percakapan ringan, berulang kali aku terjebak dalam pusaran konflik sosial yang memanggilku untuk memilih, diam atau bersuara melawan ketidakadilan yang perlahan merenggut kepercayaanku.
Aku menghela napas panjang, menatap langit senja yang mulai memudar. Warna jingga berubah menjadi ungu kelam, seolah alam pun ikut merasakan kegelisahan yang menggerogoti. Bisikan angin membawa pertanyaan tanpa jawaban. Apakah keberanian untuk mencintai dan melawan cukup untuk mengubah takdir yang telah tertulis? Apakah aku harus terus menutupi kegelisahan ini dari Arka, Maya dan Raka yang tentu saja lebih penting dan keberadaannya saat ini tidak diketahui.
“Arka, Maya .... aku takut,” bisikku pelan. Suara yang hampir tenggelam oleh desiran angin.
Arka menatapku dengan lembut dan berkata, “Takut itu wajar, Aleza. Tapi, kamu tidak sendirian.”
Maya mengangguk dan matanya berkaca-kaca. “Raka adalah bagian dari kita, jadi harus bisa menemukannya.”
Aku menggenggam erat tangan mereka. Merasakan kehangatan yang menguatkan. Namun, di dalam hatiku ada badai pertanyaan terus berkecamuk. Apa yang sebenarnya terjadi pada Raka? Apakah hilangnya dia hanya kebetulan atau ada sesuatu yang lebih gelap sedang mengintai di balik bayang-bayang kampus?
Genggaman tangan mereka seperti jangkar di tengah lautan gelisahku. Menyalakan api kecil kepercayaan di antara gelapnya keraguan. Namun, di dalam relung hatiku tersimpan badai pertanyaan yang berputar tanpa henti. Seperti angin malam yang tak pernah lelah mengoyak dedaunan. Bayang-bayang kampus yang sunyi menyimpan rahasia yang belum terungkap. Kini aku terperangkap antara harapan dan ketakutan dan menunggu jawaban yang mungkin akan mengubah segalanya.
Tiba-tiba ponsel Maya berbunyi. “Aku pergi untuk angkat telepon dulu.” Maya bergegas menjauh dari kita. Wajahnya tampak tegang, seperti menyembunyikan sesuatu.
Aku menatap Arka, mencoba membaca apa yang dirasakan di matanya. “Ada apa, ya?” bisikku pelan.
Arka menghela napas, matanya masih mengikuti Maya yang semakin jauh. “Entahlah, aku juga merasa ada yang tak beres.”
Suasana menjadi hening sejenak, hanya suara langkah Maya yang menjauh terdengar samar. Aku merasakan kegelisahan yang sulit dijelaskan, seolah ada sesuatu yang akan segera terungkap.
Aku menatap Arka, mencoba menahan rasa penasaran yang semakin menggelayut. “Haruskah kita mengejarnya?” tanyaku ragu.
Arka menggeleng pelan. “Tidak, mungkin dia butuh waktu sendiri. Tapi aku akan tetap di sini dan kita tunggu Maya sebentar lagi."
Aku mengangguk, tapi hatiku tetap tak tenang. Suasana menjadi sunyi, hanya terdengar detak jantungku yang berdentam pelan.
Arka menatapku dengan mata penuh perhatian. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut.
Aku menghela napas, mencoba mengusir kegelisahan yang merayap. “Aku tidak tahu, ada sesuatu yang aneh. Maya terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.”
Arka mengangguk pelan, menatap ke arah Maya yang semakin tak terlihat. “Kadang kita tidak bisa membaca apa yang orang lain rasakan, tapi aku yakin dia akan memberitahu kita saat waktunya tiba.”
Aku mencoba tersenyum, meski perasaan was-was masih menggelayut di dalam dada.
Aku dan Arka saling berpandangan, menunggu kata-kata yang akan mengubah suasana di antara kami.
Di tengah keremangan malam, aku dan Arka menunggu Maya yang tak kunjung datang. Tatapan kami bertemu sekali lagi. Ada sebuah percikan yang tak terucap, mengisi ruang hening dengan janji dan keraguan secara bersamaan. Aku merasakan detak jantung yang berpacu, bukan hanya karena misteri yang mengintai, tapi juga karena kehadirannya yang tak bisa aku abaikan.
“Arka, kenapa kamu masih menatapku seperti itu?”
Daftar Chapter
Chapter 1: Ruang Bagi Rasa
1,043 kata
Chapter 2: Meredam Kegelisahan
1,023 kata
Chapter 3: Momen Hangat Terganggu
1,176 kata
Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya
1,153 kata
Chapter 5: Dinginnya Malam
1,044 kata
Chapter 6: Menatap Lama
1,346 kata
Chapter 7: Bayangan Tersembunyi
1,269 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!