')">
Progress Membaca 0%

Chapter 7: Bayangan Tersembunyi

Japa Lili 23 Aug 2025 1,269 kata
GRATIS

Hatiku terjerat dalam kebimbangan yang kian meruncing, seperti kabut pekat yang enggan sirna. Udara malam menusuk hingga ke tulang, tapi dinginnya tak sebanding dengan pusaran rasa yang bergolak di dalam jiwa. Arka masih berdiri di hadapanku dengan tatapan yang seakan menyingkap tirai pikiranku. Ia seolah menyelami rahasia yang ingin ku simpan rapat.

 

“Leza,” suaranya lirih tetap terdengar tegas. “Kamu jangan panik dulu. Kita harus pastikan Raka benar-benar aman.”

Aku menoleh ke arah Raka yang terbaring. Napasnya terlalu teratur, seolah menyembunyikan rahasia di balik setiap helanya. Wajah pucat, peluh halus berkilat di pelipis. Seperti ada hal yang tak biasa di sana. Aku merasakan sesuatu yang terlampau rapi, seperti kisah yang sengaja ditulis tanpa cela.

 

“Kenapa aku merasa ini semua seperti sudah diskenariokan?” gumamku pelan, nyaris hanya untuk diriku sendiri.

 

Maya yang sejak tadi panik akhirnya meledak. “Leza! Jangan ngomong sembarangan! Kamu lihat sendiri kalau Raka lemas kayak gini?!” Suaranya bergetar, matanya merah menahan tangis.

 

Aku menggigit bibir perlahan. “Aku nggak bilang dia pura-pura, May. Cuma … semuanya terasa aneh.”

 

Arka menunduk sejenak, lalu menatapku lagi. “Aneh gimana maksudmu?”

 

Aku menahan napas sejenak, kemudian lembut menghembuskan. Sebenarnya aku sendiri bingung harus jujur atau tidak kepada mereka. “Napasnya … stabil. Pucatnya juga nggak seperti orang yang pingsan tiba-tiba. Seolah dia memang menyiapkan dirinya untuk terlihat sakit.”

 

Maya menepis dengan kasar. “Kamu keterlaluan! Raka nggak mungkin bohong soal kesehatan!”

 

Arka tiba-tiba menyentuh bahu Maya untuk menenangkan. “May, tunggu dulu. Leza bukan bilang Raka bohong. Dia itu cuma merasa ada yang janggal. Aku juga ngerasain hal yang sama."

 

Aku menatap Arka dengan kaget. “Kamu juga?”

 

Dia hanya mengangguk pelan.

 

Maya menoleh dengan gusar. “Kalian berdua kenapa sih? Saat kayak gini malah nuduh-nuduh nggak jelas! Yang penting sekarang bawa Raka ke rumah sakit. Titik!”

 

Aku mendekati Raka, menggenggam tangannya yang dingin. Ada denyut halus yang justru membuatku merinding. “Raka …” bisikku. "Kalau ini hanya permainan, aku benar-benar nggak ngerti kenapa kamu harus sejauh ini.”

 

Kelopak mata Raka bergerak pelan, seperti mendengar. Tapi tetap terpejam rapat.

 

Arka jongkok di sisi lain dan menatap wajah Raka lama sekali. Terlalu lama hingga aku teringat pesan misterius itu lagi.

“Perhatikan siapa yang menatapmu paling lama. Di situlah jawabannya.”

 

Aku menoleh ke Arka, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat suara. “Arka … bolehkah aku duduk di depan bersamamu? Aku … aku bisa lebih tenang kalau begitu, dan lebih mudah memantau Raka.”

Arka menatapku sesaat, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah. Aku yang nyetir. Maya, temani Raka di belakang, jangan biarkan dia banyak bergerak.”

Maya langsung mengangguk cepat, wajahnya penuh cemas. “Iya. Ayo, jangan buang waktu lagi, Raka. Kita harus cepat ke rumah sakit.”

Aku tersenyum tipis, menarik napas dalam-dalam sebelum pindah ke kursi depan. Duduk di samping Arka, aku bisa merasakan detak jantungku sedikit lebih tenang, meski kekhawatiran untuk Raka tetap menghimpit dada. Sesekali aku menoleh ke belakang, memastikan Maya masih menenangkan Raka dengan lembut.

 

---

Mobil melaju menembus malam dengan jalanan kampus semakin sepi. Hanya lampu jalan yang redup menemani secara bergantian menyapu wajah kami dengan cahaya oranye yang sesekali pecah oleh bayangan pepohonan. Suara mesin mendengung stabil. Meski di dalam mobil, ketegangan membuat udara serasa lebih sesak.

Aku duduk di kursi depan dengan tubuh tegak, tak bisa menutupi kegelisahan. Tanganku meremas ujung pakaian, sementara pandanganku bolak-balik antara jalan di depan dan spion tengah. Dari sanalah aku bisa melihat Maya memangku kepala Raka dengan hati-hati, jari-jarinya terus bergerak mengusap kening dan pipi Raka dengan tisu.

“Raka, bertahan ya … tetap jaga kesadaran,” ucap Maya berulang kali. Aku jelas bisa mendengar nada suara Maya yang gemetar. Maya semakin khawatir, seakan jika ia berhenti bicara, napas Raka akan berhenti pula.

Sesekali aku menengok, tapi lebih sering mengamati mereka lewat pantulan spion. Maya tampak begitu dekat, begitu protektif, hingga aku merasakan sesuatu yang tak bisa aku jelaskan. Bukan iri, bukan cemburu, tapi ada rasa yang menekan dadaku. Baru kali ini aku merasa seakan terpisah dari dunia mereka berdua. 

Ketika tatapanku terlalu lama tertuju ke arah itu, Maya mendongak. Sekejap saja, mata kami bertemu di spion. Ada sorot tajam, cepat tapi jelas, seperti ia ingin mengatakan agar aku jangan ikut campur terlalu jauh. Aku terperangah dan dengan buru-buru mengalihkan pandangan ke jalanan.

Arka tiba-tiba bersuara, nadanya datar namun menohok. “Leza, apa kamu masih merasa ini permainan?”

Aku terkejut. Suaranya membuatku menoleh spontan. “Aku … nggak tahu,” kataku dengan lidah kelu. “Tapi ada sesuatu yang nggak masuk akal. Semuanya terlalu aneh dan terlalu kebetulan.”

Maya langsung menimpali, nadanya terdengar kasar karena panik. “Sudah, Leza. Jangan bahas itu lagi. Fokus aja biar Raka cepat ditangani.” Maya menunduk, menepuk-nepuk lengan Raka. Aku bisa merasakan nada kesalnya lebih ditujukan padaku, seolah keberadaanku di depan bersama Arka membuatnya gelisah.

Namun, Arka tak berhenti dan suaranya tetap terkontrol. Setiap kata bagai pukulan ke dalam qolbu. “Justru kalau kita nggak cari tahu, dia bisa makin jauh terjebak dalam apa pun yang dia sembunyikan.”

Aku menoleh cepat, menatap wajah Arka di sampingku. Garis rahangnya tegas diterpa cahaya lampu jalan, matanya lurus menembus malam. “Jadi kamu juga yakin jika dia menyembunyikan sesuatu?” tanyaku, tak bisa menahan nada tinggi dalam suaraku.

Hening. Mobil hanya diisi suara mesin yang stabil dan tarikan napas tak beraturan dari Raka. Maya semakin resah, memeluk tubuh Raka lebih erat, seakan khawatir pembicaraan ini akan merobek rahasia yang selama ini ia jaga bersama Raka.

Arka akhirnya menjawab, pelan tapi tegas, “Aku nggak bilang yakin. Tapi aku tahu jika Raka punya sisi yang dia nggak pernah tunjukkan ke siapa pun.”

Jantungku berdegup kencang. “Sisi apa?”

Arka melirikku sebentar, lalu kembali fokus ke jalan. “Kalau aku ceritakan sekarang, kamu mungkin nggak akan percaya, dan aku nggak mau kamu benci dia tanpa alasan yang jelas.”

Kata-katanya membuat dadaku makin sesak. Rasa ingin tahu dan rasa takut bercampur jadi satu.

Dari belakang, Maya bersuara ketus, hampir memotong. “Cukup! Jangan bikin drama sekarang! Kita udah cukup pusing!” Suaranya keras, tapi aku tahu itu bukan sekadar karena panik. Ada sesuatu di nadanya yang seperti tidak suka melihat percakapan serius itu terjadi hanya antara aku dan Arka, sementara ia terpinggirkan.

Aku terdiam, menatap lurus ke jalan.  Lampu-lampu kota yang makin jarang seolah berlarian ke belakang. Di balik ketakutan, ada rasa penasaran yang menyala semakin kuat. Seperti rasa yang tak bisa kupadamkan meski Maya mencoba mematikannya dengan teguran.

Di kursi belakang, Maya menunduk lagi pada Raka, berbisik dengan nada penuh kepemilikan. “Aku di sini, Rak. Aku nggak akan ninggalin kamu.” Kalimat itu seperti panah kecil yang menusuk. Aku tahu maksudnya untuk menguatkan Raka. Entah kenapa, aku merasa itu juga ditujukan padaku.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin keras aku menahan, semakin bergolak pertanyaan di kepalaku. Apa sebenarnya yang Raka sembunyikan? Terus kenapa juga Arka terdengar seolah tahu jawaban? 

Mobil terus melaju menembus gelap, membelah sunyi yang menggantung di sepanjang jalan kampus. Lampu-lampu jalan hanya menjadi bayangan singkat yang berganti cepat di kaca jendela, seakan dunia di luar ikut berlari tapi tak memberi jawaban.

Aku duduk diam disampingnya. Tubuhku kaku, pikiranku kacau. Kata-kata Arka barusan masih menggantung, menekan dada dengan beban yang tak terlihat. Maya di belakang berulang kali memanggil nama Raka, suaranya bergetar antara cemas dan takut. Aku ingin ikut menenangkannya, tapi justru hatiku sendiri tak tenang.

Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada yang menahan di tenggorokan. Suasana dalam mobil makin sesak, bukan hanya karena kondisi Raka, tapi juga karena pertanyaan yang terus berputar di kepalaku, tentang apa yang sebenarnya disembunyikan? Kenapa seolah ada dinding yang dipasang rapat antara kami dan kebenaran?

Aku memejamkan mata sejenak, berharap tenang, tapi yang kudapat justru semakin banyak bayangan yang tak bisa kuabaikan. Malam ini terasa panjang dan aku tahu jika jawaban yang kucari mungkin tidak akan mudah didapatkan.

Chapter Sebelumnya
Chapter 7 dari 7
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Ruang Bagi Rasa

1,043 kata

GRATIS

Chapter 2: Meredam Kegelisahan

1,023 kata

GRATIS

Chapter 3: Momen Hangat Terganggu

1,176 kata

GRATIS

Chapter 4: Tatapan Penuh Tanya

1,153 kata

GRATIS

Chapter 5: Dinginnya Malam

1,044 kata

GRATIS

Chapter 6: Menatap Lama

1,346 kata

GRATIS

Chapter 7: Bayangan Tersembunyi

1,269 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!