Chapter 1: Insiden Catokan
“Astajim, Melooonnnnn ...! Itu kenapose catokan buat ngelem rambut, yey cemplungin ke aeerrr ..?!”
Lengkingan 6,5 oktaf milik Monci sontak membuat Melodi langsung memutar kursi yang ia duduki. Wajahnya kebingungan. Kedua mata bulat besar dengan pupil sewarna lumpur miliknya memandang cemas ke arah Monci yang berjalan dengan langkah-langkah panjang—meski tampak ia tak ingin kehilangan kegemulaiannya—ke tempat Melodi berada.
Sebelah tangan Monci yang menggantung di udara tampak melambai lentik dengan ujung-ujung kuku dicat warna hijau tosca. Mata Monci seolah ingin menelan Melodi hidup-hidup. Bibir berpulas lipstik merah bata itu meruncing dan segera melontarkan kalimat-kalimat yang tak asing lagi di telinga Melodi, selama tiga hari ia bekerja di salon ini.
“Gilingan bambang! Yey nggak bisa ya, kerja yang bengbeng sirkuit aja?”
“Beng ... beng?”
"Benerrrr!" Monci meremas rambut dengan kesal. “Itu catokan mehoonggg ...! Kalalo sampai rusia siap-siap potong gaji!”
“Rusia? Apa?”
“Rusak!”
“Ngg ... sirkuit?”
“Sedikit, Meloonnn! Ihh, memangnya semua kata-kata eke harus yey tanyain dan eke jabarin? Enggak, kan?”
Monci mengangkat catokan yang basah dari dalam wadah kecil berisi air, lantas meletakkannya di atas meja beralas koran yang penuh dengan berikat-ikat rambut extension yang belum selesai dilem ulang.
“Delii ..., sindang sebentar. Tinggalin dulu kerjaan yey! Ini gimana si Melon, kok, bisa ngaco begindang kerjanya? Yey gimana, sih, ngajarinnya?”
Delisa, perempuan 33 tahun, berperawakan kecil dengan potongan rambut bob yang dicat warna mahogany, meninggalkan handuk-handuk yang belum selesai ia bilas.
Tadi, jam tujuh pagi, ada suami istri yang datang ke salon. Sebelumnya, mereka sudah membuat janji dulu dengan Monci karena jam buka salon sebenarnya jam sepuluh pagi. Jadilah jam enam pagi Delisa sudah sampai. Ia membuka gembok-gembok yang mengunci rolling door salon dan mempersiapkan keperluan pagi itu. Monci sendiri baru datang begitu Delisa menelepon.
Pasangan paruh baya itu, si suami, minta rambutnya dicat hitam untuk menutupi uban yang mulai menyubur di sana-sini. Sementara itu, sang istri melakukan perawatan rutin, yaitu rangkaian creambath, facial, dan totok wajah.
Handuk-handuk bekas pemakaian semua aktivitas tersebut teronggok di ember besar, di bawah wastafel. Delisa berniat mencucinya kala salon sepi, tapi insiden Melodi membuatnya harus menghentikan aktivitas cuci-mencuci itu sementara waktu.
"Kerjaan dia, sih, nggak salah, Bos. Nyemplungin catokannya itu, loh, yang salah. Kan, bahaya. Kamu di rumah nggak punya catokan, Mel?" Delisa melirik ke rambut keriting mengembangnya Melodi.
Suara lembut Delisa hampir meninabobokan Melodi, kalau saja ia tak sedang sibuk mengorek-ngorek lubang hidung. Gadis bertubuh semampai itu menjawab cepat, sambil menggosokkan jari bekas mengupilnya ke ujung celana jeans yang ia kenakan, “Enggak, Kak.”
"Iih, apose sih, Melon. Jijay markicay banget, deh!" Monci bergidik melihat apa yang dilakukan Melodi. Kalau gadis itu tadi bermaksud mengelap bekas acara mengupilnya itu ke bawah kursi, Monci sudah pasti akan mendemokan lengkingan suara delapan oktaf.
"Duuhh, pusing eke! Organda yang mewong pasang hair extension bakalan datang sejam lagi. Kerjaan yey juga belum kelar, kan? Cepetan colokin lagi catokannya, semoga aja nggak kenapa-kenapa." Monci mendesah. Melodi menatap culun ke wajah kotak Monci yang riasan wajahnya mulai meluntur, entah karena cuaca panas di luar, meskipun salon itu berpendingin udara, atau karena hati Monci sedang kalap.
“Maaf, Mas. Tadi catokannya ngebul banget. Jadi, aku inisiatif cabut kabelnya dan celupin catokan ke air. Biar nggak kepanasan.”
“Maassss ..?! Sudah berapa kali eke bilang, panggil Kak. Atau yey bolelang ikutan Deli panggil eke Bos!”
Monci mendelik lebih besar sampai-sampai Melodi takut, mata yang dinaungi bulu mata empat belas milimeter russian volume itu akan copot dan menggelinding ke bawah lemari berisi aneka produk salon di sampingnya.
Gadis sembilan belas tahun itu tak mau terpaksa merangkak-rangkak di lantai untuk menemukan mata Mas Monci. Eh, Bos Monci. Delisa membuang muka sambil menahan tawa. Ia tak ingin ketahuan Monci yang bisa tambah mengamuk dan mencipratinya dengan omelan juga.
“Namanya ngelem rambut pekong catokan, memang catokannya harus panasonic award.”
“Panasonic award?”
“Panasss!”
Jadi, lemnya bisa meleleh dan yey tinggal melintir pangkal rambut yang udin kena lem itu pekong jari. Itulah gunanya air, buat basahin jari yey biar tinta melepuh kena lem panas. Ngerti?!"
“Iya, Bos.”
Melodi cepat menjawab sambil mengangguk-angguk walau sebenarnya ia tidak benar-benar paham. Bukan buat merendam catokan juga, ya? Ia menoleh ke arah Delisa dengan mimik wajah bertanya, sambil mengangkat sepasang alis lebatnya.
Delisa membuka mulut, melafalkan kata 'NAN-ti' tanpa suara. Ya, biasanya seusai mendapatkan instruksi dari Delisa maupun Monci, Melodi akan bertanya kembali. Lagi dan lagi. Sampai Monci kesal campur gemas dan melemparkan semua tugas tanya-jawab itu kepada Delisa.
"Jadi, kalau asapnya banyak begitu nggak pa-pa, ya?" tanya Melodi sambil sedikit mendongak karena ia masih duduk di kursi putar, sedangkan Monci berkacak pinggang di hadapannya.
“Yey, kan, tadi udin cabut catokannya karena terlalu panas. Ya, itu udin bengbeng. Nggak perlu sampai segala catokan eke, yey cemplungin ke air.”
Monci mengelus dada bidangnya yang rata. Ia sudah nyaris balik badan saat didengarnya Melodi tertawa pelan, “He he ... ternyata masih ada benernya.”
“Heh, Melon! Kerjaan yey itu benernya cuma sastra persen. Sisanya amburadul. Jengjong senang dulu!”
Monci mengacung-acungkan jari telunjuk di depan hidung Melodi yang seketika mengatupkan mulut kuat-kuat. Namun, kilauan mata Melodi yang seakan penuh muslihat dan hal-hal jahil, membuat Monci berpikir harus bersikap lebih keras lagi kepada gadis berambut merah kecokelatan itu.
“Cyiinn, yey kencengin lagi ngajarin si Melon. Diana harus udin bisa menguasai sepuluh macam keahlian dasar salon dalam waktu seminggu. Salon kita udin kekurangan banyak pegawai, tinggal yey yang bertahan. Si Melon ini mungkin tinta banyak membantu, tapi seenggaknya diana bisa nge-backing yey kalau yey lagi off. Yey paham, kan?”
Delisa yang masih berdiri di samping Melodi mengangguk dan menjawab dengan nada yang diayun lambat, “Pahaaam, Bos.”
Setelah sekali lagi melirik judes ke arah Melodi, Monci kali ini benar-benar berbalik. Ia melangkah gemulai dengan sebelah tangan menggantung di udara, ke arah singgasananya di balik meja kasir.
“Cobaaa ... nyalain catokannya lagi, Mel. Masih bisa dipakai atau enggak.”
Melodi memutar kursinya, kembali menghadap ke meja kecil dengan kaca rias menggantung di dinding di depannya. Catokan tadi masih tergeletak di atas koran, hampir sepenuhnya mengering berkat daya isap koran dan bantuan pendingin ruangan. Ia mencolokkan kembali ujung kabel ke stop kontak sambil menahan napas. Menunggu.
Beberapa saat kemudian, catokan yang permukaannya dipenuhi lem berwarna kehitaman tersebut menghangat. Melodi mendesah lega. Delisa mengangkat jempol dan memberi isyarat agar Melodi segera menyelesaikan pekerjaannya, sementara ia sendiri kembali berkutat dengan handuk-handuk bekas pakai.
Melodi menarik napas panjang. Dua ratus ikat rambut extension ini baru setengahnya ia lem ulang. Jari jempol dan telunjuknya sudah melepuh. Air tak banyak membantu meringankan rasa panas dari lelehan lem.
“Kalau nanti kelaaar, kamu ke warung Teteh ya, Mel!”
Delisa berseru dari belakang wastafel. Tangannya cekatan memeras sisa air di setumpuk handuk yang sudah selesai dibilas. Kegesitannya itu jauh berbeda dengan nada suaranya yang 'kemayu manja minta dijotos', kalau memakai istilah Melodi.
"Ngapain, Kak? Beli makan?" sahut Melodi, sambil terus bekerja menempelkan pangkal ikatan rambut ke dasar catokan panas yang sudah diolesi lem batang.
Melodi mengurai sisa lem lama di rambut dengan bantuan obeng, sampai pangkal rambut pipih melebar, dan terkena lelehan lem baru. Setelah itu, ia segera membasahi jari dan cepat-cepat memelintir pangkal rambut hingga meruncing selagi lem masih panas, lalu meletakkannya di atas koran.
“Bukaann. Tanya si Teteh, bisa nggak dia jadi model facial kamu nanti sore.”
“Hah?!”
Daftar Chapter
Chapter 1: Insiden Catokan
1,181 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!