')">
Progress Membaca 0%

Chapter 1: Bab 1

Freddy San 15 Aug 2025 1,292 kata
GRATIS

Kendra dan Maura melangkah di koridor rumah sakit untuk menemui dokter spesialis yang disarankan oleh salah satu teman di kawasan Surabaya Selatan. Ini adalah dokter spesialis kandungan keempat yang pernah mereka temui selama ini setelah tiga dokter sebelumnya gagal total.  

Maura tampak cemas dan beberapa kali meremas jemari Kendra. Mungkin dia butuh tambahan kekuatan, menyiapkan mental untuk mendengar hasil pemeriksaan nanti. 

"Bagaimana kalau ternyata aku ini mandul, Mas?" tanya Maura sembari menghentikan langkah.

"Hush! Ucapan adalah doa. Jangan mengatakan sesuatu yang kamu sendiri nggak mau itu terjadi." Kendra masih tetap menggenggam tangan Maura, berusaha untuk menenangkan. 

"Tapi, aku takut, Mas." Wajah itu makin menunduk. 

"Apa pun yang terjadi, kita hadapi sama-sama, ya." Genggaman tangan pria itu makin erat.

Perempuan itu makhluk halus, tetapi bukan jin. Maksudnya, perasaan mereka halus alias sensitif. Mereka sering kali over thinking, menciptakan rasa sakit serta luka untuk diri sendiri. Sebagai suami, Kendra harus mampu membuat istrinya tenang saat resah dan gelisah melanda. 

Sampailah mereka di depan ruangan yang sudah tidak asing lagi karena tiga hari lalu Kendra dan Maura sudah ke sana. Keduanya diminta datang kembali hari ini untuk mengetahui hasil tes pemeriksaan terhadap kesuburan mereka. 

Kendra melirik sekilas ke arah jam dengan tali kulit berwarna cokelat tua yang melingkar di pergelangan tangannya. Masih kurang lima menit dari jadwal yang telah ditentukan. Sepertinya tidak masalah, pikir pria berambut ikal itu.

“Masuk!” Suara khas Dokter Elkan yang mendayu, terdengar dari balik pintu.

“Selamat siang, Dok.” Kendra menyapa sambil menarik lembut tangan istrinya yang masih tampak ketakutan.

“Wah, datangnya tepat waktu banget, ya. Silakan duduk.” Pria berdagu panjang dengan kacamata besar berbingkai hitam itu memberi tanda dengan tangannya. 

Kacamata super jadul, ternyata masih ada yang memakainya, gumam Kendra di dalam hati. Penampilan Dokter Elkan memang bernuansa vintage, meski usianya tidak tua-tua amat. 

Tanpa membuang waktu, dokter itu langsung menjelaskan tentang hasil pemeriksaan kesuburan Kendra dan Maura. Tidak ada masalah sama sekali dengan kesuburan mereka. Keduanya sama-sama sehat. 

“Jadi, ini murni soal ridho Tuhan saja. Kalian banyak-banyak berdoa. Semoga segera dipercaya untuk merawat amanat berupa anak,” ucap Dokter Elkan sambil mengulurkan dua lembar kertas hasil tes kemarin.  

Kabar itu membuat Kendra dan Maura merasa lega. Maura yang sempat tegang saat berangkat tadi, kini kembali tersenyum. Senyumnya adalah candu bagi Kendra. Sedikit saja perubahan sikap, selalu mengganggu konsentrasinya saat bekerja. Maka dari itu, Kendra ingin selalu membuat istrinya tersenyum.

"Sayang, gimana menurut kamu soal saran dokter tadi?" Kendra mengemudi sambil melirik sang istri yang masih memegangi kertas hasil tes kesuburan mereka.

"Hasil pemeriksaan sudah menyatakan kalau kita berdua ini sehat, Mas. Jadi, menurutku tidak perlu sampai program bayi tabung segala. Aku akan sabar menunggu hingga Allah memberikan amanah itu kepada kita,” jawab Maura dengan tatapan masih terpaku pada kertas yang dia pegang. 

“Tapi, nggak ada salahnya kalau kita berikhtiar, kan? Secara agama juga membolehkan, asal sel sperma itu dari suami yang sah." Kendra mencoba untuk membujuk Maura.

Ini sudah tahun kedua pernikahan mereka. Setahun pertama, Kendra masih bisa bersabar dengan belum adanya tanda-tanda kehamilan. Namun, menginjak tahun kedua, beban moral terasa makin berat. Tidak hanya kewalahan menghadapi pertanyaan kapan punya anak, tetapi juga tuduhan kalau salah satu dari mereka itu pasti mandul.

Tekanan dari keluarga Maura bisa dibilang tidak ada, tetapi tekanan dari keluarga Kendra sangat luar biasa. Ibu Kendra selalu menekan agar mereka bisa segera memiliki keturunan. Bahkan, tidak jarang, ucapan pedas terlontar dari mulut wanita itu hingga menyakiti hati Maura. Tuduhan mandul, istri tidak becus, dan berbagai makian lain acap kali terdengar.  

"Aku tetap ingin cara yang alami, Mas. Allah selalu memberi karunia di waktu yang paling tepat. Kriteria tepat itu sering kali berbeda dengan kriteria kita." Maura tetap bersikukuh dengan pendapatnya. 

“Terus, waktu paling tepatnya itu kapan?” Kendra mendengkus kesal. Dia benar-benar ingin segera punya anak.   

“Ketika kita sudah benar-benar siap, itu salah satu pertanda datangnya waktu yang paling tepat. Kalau sampai sekarang belum juga diberi karunia sedangkan kita sama-sama sehat, mungkin kita perlu introspeksi diri dulu deh, Mas. Ada sesuatu yang salah atau mungkin perlu diperbaiki dari hubungan kita. Atau ... memang ada ketidaksiapan mental dari kita.” Maura menyimpan kertas tadi ke dalam tas.

Maura menyadari kalau Kendra belum sepenuhnya mencintai dirinya. Bisa jadi, itu juga yang jadi alasan Tuhan, kenapa sampai sekarang mereka belum juga dikaruniai keturunan. Maura sangat mencintai Kendra dari awal mereka saling mengenal. Namun, tidak dengan pria itu. Kendra menikahi Maura hanya dengan alasan kenyamanan dan melupakan cinta lama dia.

"Jangan terlalu idealis begitu lah. Kita ini sudah hampir dua tahun nunggu punya momongan." Tatapan Kendra tetap tertuju pada jalanan di depan sana.

"Bagaimana kalau kita tunggu dulu? Jika satu tahun dari sekarang aku belum hamil juga, baru kita lakukan program bayi tabung. Nah, selama satu tahun ini kita maksimalkan berdoa dan ikhtiar secara alami dulu."

"Satu tahun itu lama, Maura! Mana mungkin aku menunggu lagi.” 

"Please, Mas. Ayolah ...." Maura mengatupkan kedua tangan dengan tatapan memelas. 

Kalau sudah seperti ini, Kendra mana bisa melawan. Hatinya pasti akan luluh seketika. Sepasang mata teduh itu mampu meredam segala ricuh di hati Kendra.  

"Oke. Satu tahun, ya." Pria itu mengembuskan napas berat. Sedikit tidak rela, tetapi mau bagaimana lagi? Dia tidak mungkin memaksa.  

"Oke. Makasih ya, Mas. Kita kencengin doanya. Semoga dalam waktu dekat ini, aku bisa segera hamil." Maura tampak bahagia mendengar keputusan suaminya.

"Amin. Selalu, Maura. Mas tidak pernah berhenti berdoa. Berarti ... kita harus lembur ya tiap malam. Kan, harus berikhtiar.” Kendra sengaja menggoda.

Maura hanya tertunduk malu. Wanita dengan hijab lebar itu memang sangat menggemaskan. Meski sudah setahun lebih menikah, dia masih saja malu kalau Kendra membahas soal surga dunia. Sifat mereka memang jauh berbeda. Kendra cenderung blak-blakan mengutarakan segala sesuatu, sementara Maura lebih tertutup, sama seperti caranya berpakaian. 

Maura tidak punya banyak teman. Hanya segelintir saja. Itu pun satu sahabat SMA, satu lagi sahabat kuliah, dan dua teman kerja di kampusnya. Hanya empat orang itu teman dekatnya. Kalau Kendra? Jangan ditanya. Wajar. Karyawan menghabiskan waktunya untuk bekerja, sedangkan para pengusaha seperti Kendra lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menjaring relasi. Apalagi, bisnis yang dijalankan oleh pria itu adalah bidang hospitality. Makin banyak teman, tentu akan makin banyak pelanggan. 

Mereka berkenalan di masa akhir perkuliahan. Tanpa sengaja, Kendra yang sedang memanjakan mata ke sebuah mal, bertemu dengan salah satu teman sejurusan. Dia sedang bersama Maura saat itu. 

Aura kedamaian yang Maura bawa, langsung membuat Kendra terpesona. Cinta pada pandangan pertama? Tidak juga. Sampai saat ini, dia bahkan belum bisa mencintai Maura sedikit pun. Hanya ada rasa nyaman, tenang, dan damai. Itu saja. Tidak lebih. Kendra menikahi Maura memang bukan berdasarkan cinta. Bisa dikata ... butuh me nikah saja. Celakanya, Maura mau-mau saja ketika diajak menikah.   

Setelah sampai di depan rumah dan memastikan Maura masuk, Kendra putar balik dan kembali ke hotel yang sudah dia rintis sejak lulus kuliah. Di sanalah dia menghabiskan banyak waktu. Terkadang, Maura menyusul ke sana, sekadar untuk makan siang bersama.

“Bu Amala di mana?” tanya Kendra pada resepsionis, begitu dia tiba di hotel. 

“Lagi di hall, Pak.”

“Oke. Saya ke sana saja.”

Ada hal yang ingin Kendra bicarakan dengan Bu Amala, General Manager hotel. Setidaknya, mereka bisa berdiskusi sambil memantau persiapan pesta pernikahan nanti malam di hall. Ada anak pejabat yang mengadakan resepsi di aula hotel mereka. Jadi, Bu Amala pasti sangat sibuk.

Baru beberapa langkah menjejakkan kaki di aula, mata Kendra terpaku pada satu sosok yang kini juga tengah menatapnya. Langkah langsung terhenti. Dia mematung bagai arca Dwarapala. 

Oh, my God! teriak Kendra di dalam hati.  

“Alissa?”

Chapter Sebelumnya
Chapter 1 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Bab 1

1,292 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 2: Bincang Mantan

1,169 kata

GRATIS

Chapter 3: Bab 3

1,081 kata

GRATIS

Chapter 4: Malam Seru

1,189 kata

GRATIS

Chapter 5: Tawaran Gila!

1,339 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!