Chapter 2: Bincang Mantan
Jantung Kendra tiba-tiba berdegup lebih kencang, mulai kehilangan irama. Tidak mungkin lagi dia menghindar dari aula. Alissa dan Bu Amala sudah telanjur melihat kedatangannya. Dia mengatur napas yang tidak beraturan, lalu mendekati tempat mereka berdiri. Kendra berusaha untuk terlihat tenang dan seolah tidak ada apa-apa.
Ada binar di sepasang mata cantik Alissa. Mata indah yang dulu pernah mengaramkan Kendra hingga tidak ingin pergi lagi dari dasarnya. Sosok perempuan yang sampai detik ini tidak pernah tergantikan oleh siapa pun di hatinya, termasuk Maura.
"Sudah sampai mana persiapannya, Bu?" tanya Kendra yang berusaha untuk menghilangkan rasa canggung.
"Hampir selesai kok, Pak. Oh, ya. Kenalkan, ini owner WO-nya, Bu Alissa." Bu Amala melirik ke arah Alissa, memberi kode untuk berkenalan dengan Kendra.
"Oh, kami sudah saling kenal kok, Bu." Kendra mengulurkan tangan ke arah Alissa.
"Apa kabar? Nggak nyangka ya, kita bisa ketemu di sini," imbuh pria itu sambil tersenyum.
"Yang lebih nggak nyangka lagi itu aku, dong. Kamu ternyata pemilik hotel sebesar ini!" Mata itu makin berbinar ketika membalas uluran tangan Kendra.
"Biasa saja. Aku sudah merintisnya sejak lama." Kendra melempar senyum andalan. Senyum dengan lubang pipi di sebelah kanan yang kata orang sangat menarik bagi kaum perempuan.
Melihat Kendra dan Alissa saling bernostalgia, Bu Amala melempar pandangannya ke arah lain. Dia tidak mau tahu dengan urusan pribadi bosnya itu.
"Eh, minta nomor kamu, dong! Kayaknya kita bisa terus jadi partner bisnis ke depannya." Alissa mengeluarkan ponsel, lalu jarinya dengan lincah menyentuh satu per satu tombol angka, sesuai yang disebutkan oleh Kendra.
Selesai. Dia masukkan kembali ponsel dengan hardcase berwarna emas itu ke saku blazer. Dia kemudian pamit untuk berkoordinasi dengan karyawan yang bertugas mendekor hall ini. Sesekali Kendra dan Alissa saling mencuri pandang sembari beraktivitas. Kendra berdiskusi dengan Bu Amala dan Alissa sibuk mengawasi karyawannya. Setidaknya, pertemuan ini membuka kenangan yang telah lama terkubur setelah perpisahan mereka saat itu. Momen paling menyakitkan ketika cinta terpaksa putus, padahal hati masih saling bertaut. Berbeda keyakinan, membuat mereka tak bisa bersama.
"Bu Amala, saya kembali ke ruangan dulu, ya. Kalau ada apa-apa, kabari saya," kata Kendra setelah berbincang sekitar lima belas menit.
"Baik, Pak. Silakan." Wanita berusia hampir lima puluh tahun itu mengangguk dengan hormat.
Kendra sempat melambaikan tangan sekilas ke arah Alissa sebelum dia melangkah, menuju ke ruangan kerjanya. Kebetulan, saat itu Alissa juga sedang menatap ke arahnya.
Belum sempat duduk di kursi kerja, ponsel di saku celana Kendra bergetar. Pria itu memang tidak pernah menyalakan suara telepon genggamnya. Paling hanya diatur getar saja. Kadang malah dibisukan total, tanpa suara dan tanpa getar sama sekali.
Sebuah pesan masuk dari Alissa.
[Pak owner hotel, bisa kita ngobrol-ngobrol sebentar di resto? Aku tunggu, ya.]
Foto dia sedang duduk di restoran hotel, menyusul tak lama kemudian. Tanpa pikir panjang, langsung saja Kendra menemui dia di restoran lantai tiga. Tampak wanita cantik berbalut busana serba hitam itu duduk di dekat dinding kaca yang langsung mengarah ke bagian depan hotel.
"Hai, ada apa, Al?" tanya Kendra, berusaha untuk tampil sebiasa mungkin.
"Canggung banget, sih. Kita ini kan udah kenal lama. Duduk dululah yang santai. Ada yang mau aku omongin sama kamu." Alissa malah tertawa ringan. Rupanya, canggung yang berusaha Kendra tutupi, tetap saja terlihat di mata dia.
Ah, sial! rutuk Kendra di dalam hati. Dia terpaksa memenuhi permintaan Alissa dan duduk di hadapan wanita itu sambil berdeham satu kali untuk mengusir kikuk.
"Gimana kabar istri kamu? Baik? Tinggal di mana sekarang? Oh, iya, anak kamu udah berapa sekarang?" Wanita itu langsung memberondong dengan banyak pertanyaan, begitu Kendra duduk di hadapannya.
"Alhamdulillah, kabar istriku baik. Tapi, Tuhan belum mempercayakan anak pada pernikahanku dengan Maura."
Seketika, mata Alisa berbinar mendengar jawaban Kendra. Meski sangat tipis, Kendra tetap bisa menangkap senyum simpul itu di bibirnya. Dia bahagia?
"Oh, gitu. Maaf, ya. Aku nggak tahu."
Ucapan itu mestinya bernada duka. Setidaknya, menunjukkan turut bersimpati atas rezeki Kendra dan Maura yang tertunda. Namun, kenapa Kendra merasa kalau ada secarik bahagia dalam kalimat Alissa?
"Nggak apa-apa. Kamu sendiri ... sudah punya anak berapa?" Kendra gantian bertanya sambil mengangkat tangan untuk memanggil salah satu karyawan.
"Jangankan anak, nikah aja aku belum." Jemari lentik itu menutupi bibir merah merekah yang mengeluarkan suara tawa manja. Warna merah yang terlihat sangat kontras dengan kulit wajah putih mulus milik Alissa. Perempuan itu sedang menertawakan diri sendiri.
“Saya minta teh leci sama pisang goreng keju, ya,” ucap Kendra ketika pelayan restoran menghampiri meja mereka.
“Baik, Pak. Mohon ditunggu.” Gadis berseragam serba hitam dengan celemek merah marun itu kemudian menjauh.
“Perempuan secantik kamu, belum menikah? Kenapa? Jangan bilang kalau nggak laku, ya. Aku nggak bakal percaya.” Kendra menatap dagu runcing milik Alissa lekat-lekat.
Dagu Alissa adalah hal terindah ketiga yang Kendra suka setelah mata dan bibirnya. Berikutnya, ada rambut panjang hitam legam, leher jenjang, pucuk hidungnya yang runcing, jemari lentik.
Ah, ternyata aku masih menyukai semua yang ada di dirimu, Al. Nyaris tanpa cela, puji Kendra di dalam hati.
Kelopak mata yang tidak simetris, sebelah kiri lebih sipit satu milimeter dibandingkan yang kanan, justru membuat Alissa tampil unik. Dia memang berbeda dari kebanyakan manusia. Bagi wanita itu, kelebihan adalah kecantikan, sedangkan kekurangan adalah keunikan. Dia mampu memoles semua sisi itu dengan sangat baik hingga berpadu sempurna. Tidak mungkin kalau tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya.
“Gimana aku bisa nikah, kalau kamu masih jadi satu-satunya pria yang ada di hati?”
Singkat, tetapi jawaban Alissa mampu membuat Kendra tercekat. Lidahnya langsung kelu, tak mampu lagi berkata-kata. Selama beberapa jenak, hening membungkam bahasa dan merajai mereka berdua. Alissa terlalu terus terang dengan perasaannya.
"By the way, Maura mandulkah?” tanya bidadari di depan Kendra, terkesan penuh harap.
“Tidak. Dia sehat. Tuhan masih meminta kami untuk bersabar. Itu saja,” jawab Kendra sambil memulas senyum terpaksa.
“Kalau kamu mau, aku bisa jadi ibu dari anak-anakmu, kok."
"Maksudmu?" Bukan pura-pura, Kendra benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan Alissa.
"Kenapa kamu nggak cerai aja sama Maura, lalu cari wanita lain yang bisa kasih kamu anak. Aku, misalnya." Dia mengedikkan bahu.
"Nggak perlu. Kami ini sama-sama sehat, kok. Mungkin, waktunya saja yang belum tepat. Kalau nggak ada yang perlu diobrolin lagi, aku kembali ke kantor, ya." Kendra bersiap untuk berdiri.
"Eh, maaf, maaf." Alissa langsung menahan.
Kendra kembali duduk. Kebetulan, teh leci pesanannya juga barusan datang. Dia berharap kalau sikap tadi cukup untuk membuat Alissa jera agar tidak bicara yang aneh-aneh lagi, terutama tentang Maura.
Mereka berbincang cukup lama, hampir dua jam. Di sela-sela perbincangan, Alissa selalu menyelipkan kisah masa lalu. Sepertinya, cinta lama itu memang belum sepenuhnya usai. Ada bahagia saat mengenang dan ada haru yang membuat senyum kembali terkembang. Sungguh, sangat membuai dan melenakan.
Kendra tersudut pada satu kesimpulan yang dia terus mencoba ingkar, tetapi sukar. Alissa masih sangat membuatnya nyaman. Mau tidak mau, dia harus mengakui itu.
Daftar Chapter
Chapter 1: Bab 1
1,292 kata
Chapter 2: Bincang Mantan
1,169 kata
Chapter 3: Bab 3
1,081 kata
Chapter 4: Malam Seru
1,189 kata
Chapter 5: Tawaran Gila!
1,339 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!