')">
Progress Membaca 0%

Chapter 5: Tawaran Gila!

Freddy San 15 Aug 2025 1,339 kata
GRATIS

Mata Kendra masih terasa lengket, tetapi kesadaran sudah memaksa untuk segera bangun. Tubuhnya menggeliat pelan, lalu mata yang masih terasa berat, mencoba untuk mengintip sedikit ke arah nakas di sebelah kanan ranjang. Kendra meraih jam beker. 

Masih pukul tiga pagi, ujarnya di dalam hati.

Maura masih terlelap di tengah remang suasana kamar karena lampu yang hanya menyala sebagian. Kendra tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala, sedangkan Maura justru sebaliknya. Wanita itu tidak suka gelap. Jalan tengahnya, ya mereka memilih untuk menyalakan sebagian lampu, yang jauh dari ranjang tentunya. 

Kedua mata pria itu berusaha untuk melawan gelap. Untuk beberapa jenak, dia memindai ke arah perempuan yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajah bulat, mata belok, pipi chubby, rambut ikal. Ah, semua yang ada di diri Maura sangat berkebalikan dengan kriteria wanita idaman Kendra. 

Dia lebih suka perempuan berwajah oval dan berpipi tirus, apalagi kalau dagunya runcing seperti milik Alissa. Wanita akan terlihat sangat memesona kalau dia berambut lurus, panjang, dan hitam legam seperti Alissa. Apalagi kalau mata wanita itu tegas, agak menyipit, pasti akan terlihat makin seksi. Lagi-lagi, itu semua ada di diri Alissa. 

Astaga! Kenapa dia lagi yang muncul di kepala? Aku nggak bermaksud untuk membanding-bandingkan Alissa dengan Maura. Aku hanya ...

Kendra memukul pelan kepalanya sendiri, berusaha untuk menghalau pikiran jahat dari dalam sana. Dia tidak boleh membandingkan istrinya dengan wanita lain, apalagi dengan mantan. Sangat tidak elok!  

Kendra memutuskan untuk beranjak dari pembaringan. Dia berharap, bayangan sang mantan bisa terhadang, luntur bersama air wudu yang membasuhnya. Kendra merasa kalau dirinya hanyalah manusia biasa, tempat salah dan segala dosa, juga mudah tergoda, apalagi godaan wanita.

Bertemu dengan Alissa bukanlah kesengajaan Kendra. Sudah pasti ada campur tangan Tuhan di dalamnya. Entah itu sebagai wujud ujian baginya atau memang Allah punya rencana lain untuk Kendra. Dia hanya bisa berdoa dan meminta yang terbaik untuk hidupnya dan orang-orang yang dia sayangi. Maura, sudah pasti Kendra menyayanginya, meskipun bukan cinta. 

Kendra pun masih menyayangi Alissa, bahkan sangat mencintainya. Namun, dia tidak mau sampai terjebak dalam jeratan cinta terlarang, apalagi kalau sampai mengorbankan perasaan Maura dan memporakporandakan rumah tangga yang selama ini telah mereka bangun. Semua itu tidaklah sebanding dengan kenikmatan yang dia dapat dari terlampiaskannya gairah yang terpendam kepada Alissa. 

Kendra menyadari bahwa Maura telah menemaninya dari awal merintis usaha hingga sukses seperti sekarang ini. Sang istri tidak hanya membantu dengan kemampuan, tetapi juga dengan segenap doa. Itu tidak kalah penting sebagai bentuk dukungan moral. Belum lagi modal yang sepenuhnya ditanggung oleh kedua orang tua Maura. Jelas, Kendra merasa sangat berutang budi.

“Jagalah rumah tangga kami, ya Allah. Kuatkan iman serta hadirkan malaikat kecil sebagai perekat keluarga kami,” lirih Kendra di sujud terakhir salat malamnya.       

Setelah mencurahkan semua resah kepada Sang Pemilik Cinta, hati Kendra terasa lebih lega. Keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah yang selama ini dia perjuangkan, tak mungkin dia sendiri yang merusaknya. Keputusan Kendra sudah bulat, sebulat tahu yang digoreng dadakan. Dia tidak akan berurusan lagi dengan Alissa. 

Kendra bergegas mengambil ponsel yang sempat dia lempar ke sofa sebelum pergi ke kamar tadi malam. Benar saja, Alissa mengirim banyak pesan dan ngotot ingin kembali bersama. Dia ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Ya, setelah tahu Kendra dan Maura belum punya keturunan, dia memaksa untuk masuk di antara mereka. 

Kendra tidak mau meladeninya lagi. Blokir menjadi langkah terakhir yang dia ambil. 

“Maafkan aku, Al,” ucap Kendra pelan.    

Azan subuh berkumandang. Kendra membangunkan Maura dengan lembut. Satu kecupan di kening, mampu membuat wanita itu terbangun dan langsung memeluk suami tercinta. 

“Kok, tumben Mas sudah bangun duluan?” Maura melerai pelukan. 

“Sekali-sekali Mas yang membangunkan kamu, boleh, dong.”

“Oh, boleh banget, Mas.” Maura tersenyum. 

Hari ini Kendra sengaja tidak pergi ke hotel. Dia memutuskan untuk bersantai di rumah saja bersama Maura. Ada sedikit rasa bersalah, seolah dia telah mengkhianati sang istri karena berjumpa dan sibuk berbalas pesan dengan Alissa semalam. Ya, meskipun mereka tidak melakukan hal-hal di luar batas kewajaran.  

Niat hati ingin berduaan seharian bersama Maura, tetapi Bu Amala tiba-tiba menelepon dan meminta Kendra untuk segera datang. Alissa benar-benar keras kepala. Dia nekat meminta Bu Amala agar Kendra mau menemuinya. Pekerjaan menjadi alasan.  

Jika tidak ditemui, Bu Amala pasti akan merasa curiga. Jadi, Kendra berpikir kalau lebih baik dia temui Alissa, sekalian menjelaskan langsung kepadanya bahwa mereka tidak akan pernah bisa bersama sampai kapan pun. Semoga masalah bisa selesai sampai di sini, pikir Kendra. 

Dia terpaksa harus berbohong kepada Maura dengan mengatakan kalau ada meeting dadakan. Meskipun berat, Maura masih mau mengerti dan membiarkan suaminya pergi. Padahal, dia sedang menyiapkan santap siang untuk mereka berdua. 

“Maafkan aku, Maura,” ucap Kendra tulus.  

Untuk menebus rasa kecewa istrinya, saat pergi, Kendra sengaja membisikkan kata mesra di telinga. “I love you, Maura.” 

Maura tersipu malu. Kendra memang jarang sekali mengatakan kalimat seperti itu kepadanya. Kali ini dia ingin menghapus kesedihan di wajah istrinya.

Setelah memarkir mobil, Kendra langsung melangkah menuju ke restoran. Masih di tempat yang sama seperti kemarin, Alissa sudah menunggu di sana. Seketika, wajah wanita itu tampak berseri melihat kedatangan sosok yang dia puja datang mendekat ke arahnya. 

“Kamu ini benar-benar nekat, ya!” Kendra menatap marah sambil menghempaskan tubuh ke kursi di depan Alissa. 

“Kalau nggak nekat, aku nggak bakal bisa ketemu sama kamu!” tegas wanita itu. 

“Oke. To the point saja. Ada apa?” Kendra kehilangan kesabaran.

“Aku serius, Ken. Aku mau jadi mualaf, asalkan kamu yang membimbing. Sebagai suami, tentunya,” ucap Alissa, tanpa keraguan sama sekali.

“Gila kamu! Agama itu bukan untuk dipermainkan, Al. Kamu mau pindah agama cuma gara-gara pengin jadi istriku? Picik sekali pemikiranmu itu!” Rahang Kendra sampai bergetar, saking marahnya mendengar ucapan nekat Alissa. 

Dulu, mereka berpisah memang gara-gara perbedaan agama. Tidak ada masalah yang lain. Hanya itu saja. Perbedaan mendasar yang sampai kapan pun akan mustahil untuk bisa disatukan, kecuali salah satu dari mereka ada yang mau mengalah dan berpindah. Namun, mereka sama-sama bergembing. Tidak ada yang berpindah, menyeberang ke lintasan lainnya. Yang ada, mereka malah memutuskan untuk berpisah dan sepakat untuk tidak berkomunikasi sama sekali.  

“Ceraikan saja istri mandulmu itu, lalu kita menikah. Kalau memang kamu nggak bisa, aku bersedia jadi istri kedua.” Alissa menatap tajam ke arah Kendra.

“Astaghfirullah, Al. Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan? Kenapa kamu jadi membabi buta begini, sih? Sadar, Al. Kamu itu cantik, sukses, dan mandiri. Pasti banyak laki-laki yang jatuh cinta sama kamu!” tegas Kendra lagi.  

Pria itu berusaha untuk tetap tegar. Dia tidak boleh tergoda. Tujuan dia datang ke hotel dan menemui Alissa adalah untuk mengakhiri semuanya. Bukan untuk kembali kepadanya, apalagi sampai menceraikan Maura. Tidak akan pernah, pikir Kendra.  

“Tapi, aku maunya kamu.” Alissa mulai merajuk dan menunjukkan sikap manjanya. 

“Terlambat! Aku sudah jadi milik Maura. Kamu sendiri yang waktu itu menolak ketika aku minta untuk pindah agama!” Kendra makin emosi. 

“Aku belum cukup dewasa saat itu. Sekarang situasinya kan berbeda. Aku berhak untuk mengambil keputusan sendiri tentang hidupku, termasuk agama apa yang akan aku pilih.” Alissa masih saja bersikukuh. 

“Cukup! Hentikan kegilaan ini! Jangan ganggu aku lagi!” Kendra meninggalkan Alissa dengan perasaan campur aduk.

Hasrat hati ingin merengkuh, tetapi akal terus saja menghalangi. Gairah terus memaksa untuk menerima, tetapi logika terus saja menentang. Perdebatan paling menyakitkan adalah berdebat dengan diri sendiri.

“Aku nggak bakal nyerah! Lihat saja nanti!” teriak Alissa tanpa malu.

Dasar sial! Dia memang sudah gila! Kendra menggeram marah sambil menatap tajam ke arah Alissa. Dia merasa malu karena kini semua orang bergantian melihat ke arah mereka.

Alissa berdiri tegak dan tetap menatap tajam ke arah punggung Kendra yang kemudian menghilang di balik dinding restoran. Dia harus bisa mendapatkan Kendra, bagaimanapun caranya.    

Chapter Sebelumnya
Chapter 5 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Bab 1

1,292 kata

GRATIS

Chapter 2: Bincang Mantan

1,169 kata

GRATIS

Chapter 3: Bab 3

1,081 kata

GRATIS

Chapter 4: Malam Seru

1,189 kata

GRATIS

Chapter 5: Tawaran Gila!

1,339 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!