Chapter 1: Salahkah aku bersuami?
Salahkah aku bersuami?
Atau memang harus sendiri?
***
Rumah Rumiyati biasanya lengang, tapi kini tampak ramai, penuh sesak orang berebut untuk datang melayat. Berebut? Ya. Semua orang di Desa Telomoyo penasaran dengan kematian Subandi yang sangat mendadak. Kemarin masih terlihat sehat-sehat saja bahkan masih sempat salat Magrib berjemaah di masjid kampung.
Banyak yang berspekulasi dengan mengatakan bahwa Subandi kena angin duduk. Sebagian lain beranggapan, pasti serangan jantung telah merenggut nyawa pengantin baru itu. Karena setahu warga, dua hal itu sering menjadi pemicu kebanyakan orang meninggal dadakan.
Rumiyati masih terduduk lesu, terisak di samping jasad Subandi, sang suami. Mereka baru menikah empat puluh hari lalu, belum lama. Para tetangga menatap penuh iba pada wanita itu, tapi juga penasaran.
Selamat datang di zona janda. Apa pun yang dilakukan nanti akan selalu jadi bahan gunjingan. Yang benar jadi salah, yang salah akan makin dipandang salah.
Hidup Rumiyati selama ini begitu sempurna. Setidaknya demikian anggapan banyak orang di Telomoyo. Mewarisi sawah yang luas, kebun karet, dan peternakan sapi dari sang ayah, ditambah dengan wajah cantik, tubuh tinggi langsing berlekuk indah, tutur kata lembut, kemudian menikah dengan Subandi, pemuda idola di desanya.
Subandi adalah anak seorang pemilik pabrik selep padi, sekaligus kepala desa di Telomoyo. Pemuda tampan, gagah, keluarga terpandang, walau hanya lulusan SMA. Banyak gadis yang mengincar dan mencoba tebar pesona. Namun, hati pria itu hanya milik Rumiyati seorang.
Mereka memang sudah dekat sejak kecil. Cinta pertama bagi keduanya, tak pernah lekang oleh waktu, bahkan terus bertumbuh, utuh, dan seluruh. Pria serta wanita lain datang mendekat, sama sekali tak menggoyahkan tekad untuk maju terus sampai akad.
Ayah Rumiyati terkenal sebagai orang paling kaya di Telomoyo. Sayang, dia meninggal tiga bulan menjelang pernikahan putri tunggal. Subandi kemudian membantu gadis itu mengelola semua usaha.
Pertimbangan itu pula yang membuat Rumiyati yakin untuk mempercepat pernikahan mereka. Kemampuan Subandi mengelola usaha, ketampanan, kesetiaan, dan tentu cinta tulus yang pria itu berikan, tidak perlu diragukan lagi.
Subandi kumbang desa, berpasangan dengan Rumiyati, bunga tercantik di Telomoyo. Sungguh pasangan sempurna, ibarat takdir tanpa cela dari Maha Dewata. Semua orang pasti setuju dengan pendapat itu.
Pernikahan digelar selama tiga hari tiga malam. Berbagai hiburan ditampilkan setiap malam sampai dini hari menjelang. Dari wayang kulit, ketoprak, campur sari, ronggeng, bahkan hingga dangdut tak ketinggalan. Mereka berdua memang bukan berasal dari keluarga sembarangan. Gengsi kalau pesta biasa saja.
Semua warga menyambut hajat tersebut dengan gembira. Selain mendapat hiburan gratis, mereka juga bisa menikmati berbagai hidangan yang disajikan, sepanjang hari. Pesta dari sultan Telomoyo!
Rumah tangga Rumiyati bersama suami juga baik-baik saja. Mereka selalu terlihat mesra, seperti laiknya pengantin baru. Tak pernah sedikit pun ada guratan kesal, muram, atau masam. Binar bahagia memang selalu terpancar, membuat banyak orang iri melihat kesempurnaan cinta dan kehidupan mereka. Tampan cantik, kaya, rukun, bahagia.
Takdir tak dapat disangka, malang juga tak bisa dikira. Kesempurnaan itu kini berbalik menjadi petaka. Subandi meninggal tiba-tiba.
Sulastri, ibu Rumiyati, mendampingi anak semata wayang yang tengah linglung. Semua urusan pemakaman diserahkan pada orang tua Subandi.
Ratusan orang ikut mengantar jenazah hingga semua proses pemakaman selesai. Rumiyati masih bersimpuh sembari mengusap nisan Subandi. Mendung seolah hadir untuk melengkapi duka janda kembang itu.
“Sayang banget, ndak sempet lihat anunya si Bandi yang kata orang-orang jadi biru,” celetuk salah satu warga.
“Iyo. Aku iki yo penasaran, pengen ngerti. Sial, wis keburu dipocongi. Telat,” sesal seorang bapak-bapak.
Rupanya, mereka semua berkumpul bukan sebatas penasaran dengan kematian mendadak Subandi, tapi juga karena isu yang tersebar dengan cepat bahwa kemaluan pria itu membiru. Lebam, seperti orang teraniaya.
Gosip menyebar dari salah satu warga yang ikut memandikan jenazah. Memang dia sangat terkejut ketika melihat kemaluan Subandi berwarna biru gelap. Beberapa orang sempat usul untuk melapor pada pihak kepolisian, siapa tahu pria itu meninggal karena dianiaya.
Ayah Subandi yang ikut memandikan jenazah, mencegah warga untuk bertindak lebih jauh. Dia tidak rela jika jasad Subandi harus diautopsi, dibuka dan dibongkar seperti ayam di pasar. Pria paruh baya itu mengatakan bahwa mungkin saja Subandi bercinta semalaman dengan Rumiyati sebelum meninggal. Itu sebabnya, kemaluan dia membiru ketika meninggal.
“Namanya juga habis dipakai kerja keras. Mungkin pembuluh darah masih tegang,” dalih ayah Subandi. Entah teori dari mana, tapi semua orang manggut-manggut mengiakan.
Alasan cukup masuk akal bagi warga desa yang awam akan pendidikan dan pengetahuan tentang kesehatan. Mereka tidak berani membantah. Bagaimanapun, ayah Subandi sangat disegani di desa tersebut. Terlebih lagi, ini anaknya sendiri. Kalau orang tua tidak mau jasad si anak diautopsi, warga juga merasa tidak punya hak untuk memaksa. Namun, tetap saja mereka kasak-kusuk di belakang.
Tidak butuh waktu lama untuk rumor itu tersebar ke seluruh penjuru desa. Dalam hitungan menit, semua orang sudah ramai membicarakan.
Berbagai asumsi terus bermunculan. Fakta bahwa kemaluan Subandi berwarna biru lebam, menunjang gosip bahwa dia terkena serangan jantung karena terlalu dipaksa untuk berhubungan badan. Sebagian warga menuduh Rumiyati menderita kelainan s*ksual, hipers*ks, sehingga memaksa sang suami untuk terus melayani.
Gosip lain mengatakan bahwa Subandi mungkin kena teluh dari para pesaing. Laki-laki mana tidak mengincar Rumiyati? Barisan penggemar wanita itu, mungkin bisa sepanjang satu kilometer jika dikumpulkan. Bisa juga barisan sakit hati para pemuja Subandi sendiri yang mengirimkan teluh karena kecewa melihat pemuda tampan itu memilih menikah dengan Rumiyati. .
Beberapa orang bahkan dengan keji mengatakan bahwa Subandi menjadi tumbal untuk pesugihan keluarga Rumiyati. Dulu, ayah wanita tersebut memang terbilang sangat singkat mengubah nasib, dari seorang fakir miskin menjadi pria kaya raya. Seolah uang tinggal cetak sendiri di belakang rumah.
Berbagai cerita mistis mulai beredar. Warga juga membuat daftar nama orang-orang yang dicurigai telah mengirim teluh pada Subandi. Mereka terlihat jauh lebih sibuk dibandingkan keluarga yang ditinggalkan.
Malam itu, seperti pada umumnya di desa ketika ada warga meninggal, mereka berkumpul untuk berdoa bersama selepas salat Isya. Rumiyati ikut membaca Surat Yasin dari ruang tengah, sementara bapak-bapak di ruang tamu dan teras rumah yang luas.
Rumiyati mencoba tegar sepeninggal suami tercinta. Hidup menjanda di usia muda, tentu bukan hal yang dia impikan. Ocehan miring pasti akan segera tertuju padanya. Janda kembang, sebuah titel berat di tengah masyarakat, apalagi cantik dan kaya.
“Ada sesuatu yang perlu bapak sampaikan, Rum,” ucap Banar, mertua Rumiyati, setelah semua warga pulang.
“Wonten nopo*1, Pak?” Rumiyati dengan mata masih sembab, menatap ke arah Banar.
“Jangan kaget ya, Nduk. Bapak tadi pas mandiin suamimu, kok kemaluannya biru, toh. Tadi warga sempet heboh mau lapor polisi, tapi berhasil bapak cegah. Ndak rela kalau badan Bandi diedel-edel koyo pitik.*2”
“Loh, kok bisa biru toh, Pak?” Rumiyati terperanjat. Dia masih terpukul dengan kematian sang suami, sekarang harus mendengar sebuah kenyataan yang lebih mengejutkan lagi.
“Bapak juga ndak tahu kenapa, Nduk. Wis, diikhlasin aja, yo. Banyak-banyak berdoa, kirimi Yasin sama Al Fatihah. Semoga Bandi bisa tenang di alam sana. Kamu ndak usah dengerin gosip dan rumor yang pasti santer di luaran sana, Nduk.”
Rumiyati tertunduk lesu. Entah cobaan apa lagi akan menyambut nanti. Kematian suami, disusul rumor tentang jasad yang tidak normal, status sebagai janda kembang, lengkap sudah.
- Ada apa
- Dibongkar-bongkar seperti ayam
Daftar Chapter
Chapter 1: Salahkah aku bersuami?
1,214 kata
Chapter 2: Bab 2
1,192 kata
Chapter 3: bab 3
1,195 kata
Chapter 4: bab 4
1,159 kata
Chapter 5: Bab 5
1,101 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!