Chapter 2: Bab 2
Selama tujuh malam berturut-turut, Rumiyati menggelar acara doa bersama untuk Subandi. Warga tetap bersemangat hadir. Selain karena pulang membawa makanan lezat, tuan rumah juga menyelipkan amplop berisi uang ke dalam bingkisan. Lumayan, seratus ribu bisa untuk menambal kebutuhan hidup selama beberapa hari.
“Heh, ini duit halal, nggak? Kalau duit pesugihan, aku ngeri,” ucap Memet lirih, masih di teras rumah Rumiyati.
“Bodo amat! Yang penting duit. Bismillah aja,” jawab warga yang lain. “Kalau kamu nggak mau, sini buat aku aja.”
“Duitnya cepet belikan sesuatu di warung. Inget, pake tangan kiri pas bayar biar sihirnya nggak mempan.” Seorang kakek memberikan nasihat.
Banyak orang bertingkah konyol terkait rumor yang beredar. Mayoritas menerima makanan dengan tangan kiri karena mereka yakin kalau itu adalah salah satu cara untuk menangkal sihir. Tidak banyak yang mau menyantap hidangan di rumah Rumiyati. Mereka memutuskan untuk segera pulang dan membawa bingkisan.
Sebagian warga malah membuang makanan pemberian Rumiyati karena takut ikut-ikutan jadi tumbal. Mereka hanya berani mengambil uang di dalam amplop. Itu pun segera dibelanjakan supaya tidak menyimpannya terlalu lama. Mereka takut celaka.
Sebagian yang lain meletakkan makanan tersebut di lantai, lalu melangkahi tiga kali bolak-balik sembari mengucap deretan mantra penolak balak untuk membuang energi negatif jika memang ada unsur pesugihan dalam makanan tersebut.
Tulak balak, nujum luput, tenung sansaya sirna. Suradira jaya ningrat, lebur dening pangastuti. Setelah melakukan ritual tersebut, baru mereka berani menyantap makanan pemberian Rumiyati.
Bagi warga yang tergolong agamis, mereka membacakan Ayat Kursi dan beberapa doa sebelum mulai menikmati hidangan, baik di rumah Rumiyati maupun yang dibawa pulang.
“Kok, makanan masih banyak, toh?” Rumiyati heran melihat piring-piring yang telah disiapkan sesuai jumlah undangan masih banyak tersisa.
“Kenyang mungkin, Mbak. Jadi, mereka pada nggak mau makan.” Beberapa ibu-ibu yang membantu menjawab singkat, lalu mencoba mengalihkan pembicaraan.
Rumiyati merasa ada sesuatu yang aneh. Warga biasanya sangat bersemangat kalau ada hajatan, makan-makan, baik itu pesta maupun doa bersama seperti ini. Tidak mungkin mereka sengaja makan dulu di rumah. Mereka sudah tahu pasti akan diberi sajian dan pulang membawa berkatan.
Pasti ada yang ndak beres ini, batin wanita berusia dua puluh dua tahun ini.
Setelah semua tamu pulang ke rumah masing-masing, Rumiyati segera memanggil Sundari, pembantunya. “Mbak, ada apa toh, orang-orang kok pada ndak mau makan? Apa masakan kita ndak enak?”
Mendengar pertanyaan sang majikan, Sundari menelan ludah dengan susah payah. “Nganu ... nganu ....”
“Ojo nganu nganu, toh. Ada apa? Pasti Mbak Ndari tahu alasannya,” tembak Rumiyati, melihat gelagat Sundari yang aneh.
Pembantu berusia empat tahun lebih tua dari Rumiyati itu kemudian memberanikan diri untuk menceritakan semua gosip yang beredar, termasuk ketakutan warga akan jadi tumbal untuk pesugihan majikannya tersebut.
“Astaga. Kok, kejam banget mereka sama saya. Saya ini baru saja kehilangan suami, malah digosipkan yang ndak-ndak. Saya selama ini kurang baik apa sama mereka? Saya ndak pernah pelit. Ada yang kesusahan juga ndak pernah mikir panjang untuk membantu. Gini amat mereka sama saya, Mbak!” Rumiyati kesal bercampur kecewa, mendengar penuturan pembantunya.
“Yo wis, yang sabar, Mbak. Saran saya, cepetan nikah lagi aja. Pasti gosip itu bakal hilang kalau Mbak Rum menikah lagi.”
Rumiyati tidak menjawab, hanya memberi tanda dengan tangan, menyuruh pembantu itu untuk pergi. Mana mungkin memikirkan pernikahan, sedangkan tanah kuburan Subandi saja masih belum kering. Namanya juga orang desa. Nikah, dighibah. Cerai, dicibir. Mati pun ... masih saja difitnah.
Tidak mudah menemukan sosok pengganti Subandi. Pria itu satu-satunya cinta yang pernah dia kenal. Laki-laki lain di Telomoyo tidak akan ada yang mampu menyaingi Subandi, baik dari ketampanan, kegagahan, keuletan, kecerdasan maupun latar belakang keluarga yang tidak sembarangan. Akan sulit untuk menggeser posisi Subandi di hati Rumiyati.
Sekarang yang penting fokus ngurusi usaha dulu. Mas Bandi sudah ndak ada. Mau ndak mau, aku sendiri yang harus turun tangan, batin Rumiyati.
Rasa lelah sudah memuncak setelah tujuh hari dirundung duka, sibuk menemui tamu yang melayat, dan persiapan tahlil setiap malam. Janda kembang itu memutuskan untuk segera tidur. Sudah beberapa hari ini dia hanya bisa tidur-tidur ayam. Tak pernah benar-benar terlelap.
Dia tarik selimut tebal hingga menyentuh leher jenjangnya. Desa Telomoyo sangat dingin beberapa hari terakhir.
Bulir-bulir bening lolos tanpa permisi dari sudut mata wanita berambut panjang dan hitam legam itu. Dia teringat Subandi yang biasa memeluk erat dari belakang kala tubuh mereka berhimpitan di atas ranjang. Bukan karena sempit, tetapi itu cara mereka berbagi kasih dan kehangatan.
Rumiyati teringat kali terakhir mereka bersama di ranjang itu. Tidak seperti biasa, Rumiyati yang selalu minta dimanjakan dan diperlakukan dengan sangat lembut serta mesra, malam itu berubah menjadi sangat beringas. Ada desakan yang teramat sangat dari dalam diri, menuntut pelampiasan untuk segera terpuaskan. Hasrat itu tak bisa lagi dibendung.
Bibir Rumiyati dan Subandi saling bertaut, memagut kasar satu sama lain. Sesekali wanita itu menggigit bibir bawah sang suami dengan gemas. Rasanya seperti permen karet, segar dan kenyal. Beberapa kali pria itu meringis, menahan perih. Dia berusaha mengimbangi keganasan Rumiyati malam itu.
Dua manusia dewasa tanpa busana itu makin terhanyut, larut dalam ganasnya gelombang panas yang dari awal dipicu oleh Rumiyati. Erangan telah menjelma menjadi teriakan. Usapan berubah menjadi cengkeraman, remasan, bahkan cakaran di sana sini. Mereka tak ubahnya seperti sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu. Berdua melepas rindu, berpacu bersama hasrat.
Dorongan kuat itu membuat Rumiyati tak cukup hanya satu kali mereguk kenikmatan asmara. Tetesan peluh yang masih belum mengering, menuntut untuk lebih basah lagi. Napas tersengal justru makin menidurkan akal dan membangkitkan gairah nakal.
Subandi sampai kewalahan menuruti hasrat sang istri yang tiba-tiba menggelegak, mendesak untuk terlampiaskan malam itu juga, seolah-olah tidak akan ada kesempatan lain lagi setelah ini. Sembilan kali bercinta, baru Rumiyati bisa tersenyum lega. Sungguh, malam yang teramat panjang bagi mereka berdua.
Sang suami sempat mengeluhkan senjata pribadinya terasa panas seperti terbakar di akhir pendakian cinta mereka.
“Maaf ya, Mas. Apa karena kebanyakan?” Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Rumiyati. Dia merasa sangat bersalah. Namun, dia sungguh tak dapat mengendalikan diri malam itu.
“Ndak papa, Dek. Mungkin masih belum biasa aja main sampe berkali-kali kayak gini. Mas mau membiasakan diri dulu. Semoga aja, ndak tiap hari kamu minta kayak gini,” jawab Subandi sembari tertawa ringan.
Rumiyati tersipu malu. Dia merebahkan kepala dengan manja di atas dada bidang sang suami. Tubuh mereka basah kuyup, bermandikan hujan peluh, dan masih polos tanpa tertutup selembar kain pun. Hawa dingin di Desa Telomoyo tak kuasa memagut tubuh mereka yang terus panas, dibakar bara gairah. Angin seolah menyingkir, tak ingin melawan teriknya mentari hasrat.
“Aku mencintaimu, Mas. Dulu, sekarang, nanti, dan selamanya,” ucap Rumiyati sambil memainkan bulu-bulu halus di perut Subandi.
“Mas juga, Dek. Mati pun mas rela ... demi kamu.”
Masih terngiang jawaban Subandi malam itu. Apakah itu sebuah pertanda? Firasat atau ...? Rumiyati beringsut, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Dia tangkupkan kedua telapak tangan di wajah, menahan tangis. Hanya bulir-bulir getir yang memaksa mengalir dari mata, tanpa suara.
Apakah aku yang menyebabkan Mas Bandi meninggal? Bagaimana kalau memang semua ini teluh, sihir, atau apa pun itu ... karena aku?
Daftar Chapter
Chapter 1: Salahkah aku bersuami?
1,214 kata
Chapter 2: Bab 2
1,192 kata
Chapter 3: bab 3
1,195 kata
Chapter 4: bab 4
1,159 kata
Chapter 5: Bab 5
1,101 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!