Chapter 5: Bab 5
Rumiyati mendengarkan dengan saksama semua petunjuk dari manusia hebat di hadapannya itu. Mbah Siman menjelaskan bahwa keadaan Subandi baik-baik saja. Dia berpesan agar Rumiyati menjaga kesehatan, tidak boleh sedih terus-menerus. Hari keempat puluh nanti, baru dia akan benar-benar pergi. Sampai hari itu tiba, Subandi masih akan terus mengikuti Rumiyati.
Mbah Siman menghela napas panjang, lantas menjeda penjelasannya. Kematian Subandi adalah awal atau pertanda bahwa kutukan itu akan segera datang. Jadi, Rumiyati harus berhati-hati.
“Lalu, saya harus gimana untuk bisa lepas dari kutukan itu, Mbah? Tolong bantu saya, Mbah.” Rumiyati menyeka pipi yang basah. Sekarang, bukan kematian sang suami yang jadi fokus utama, tetapi masa depan dia. Dia tidak ingin berakhir mengenaskan, seperti yang dijelaskan oleh Mbah Siman tadi.
Untuk apa dia punya banyak harta kalau sakit-sakitan? Terlebih lagi, harta tersebut akan habis, seperti kata Mbah Siman. PAsti habis untuk berobat. Sendirian? Sekarang saja sudah terjadi. Apa pun harus dia lakukan untuk bisa menolak balak atau kutukan ini.
Mbah Siman memejamkan mata selama beberapa jenak. Mulut kembali berkomat-kamit seperti tadi. Bandot mengusap lembut punggung Rumiyati yang terus menatap ke arah Mbah Siman dengan penuh ketegangan.
“Sabar. Pasti ada jalan. Mbah Siman ini terkenal tokcer ewer-ewer. Bukan kaleng-kaleng,” bisik Bandot sangat lirih, takut mengganggu konsentrasi Mbah Siman.
“Untung kamu ngajak ke sini, Ndot. Matur suwon tenan, yo. Kalau ndak, bisa bahaya hidupku ini, Ndot.” Rumiyati menyentuh paha kiri Bandot, membuat darah mengalir lebih deras ke area rahasia di antara kedua kaki lelaki tersebut.
Bandot tersenyum sembari memaksakan diri meneguk ludah. Entah mengapa, celana longgar yang dia kenakan tiba-tiba menjadi sesak. Seketika celananya penuh dengan sesuatu yang memadat dan mengeras.
“Ada dua syarat yang harus panjenengan lakukan.” Mbah Siman rupanya sudah mendapatkan wangsit. “Pertama, ganti nama supaya setan pemberi kutukan itu tidak bisa lagi memberikan energi negatifnya ke panjenengan. Ibarat rumah, ganti alamat, begitu.”
Rumiyati langsung bingung. Ganti nama? Nama dia saja hanya satu kata. Apa harus ganti Ruminah? Rukanah? Terus, orang-orang nanti bagaimana? Apa mereka tidak bertanya-tanya, kenapa tiba-tiba Rumiyati ganti nama?
“Ganti nama jadi Rumi aja, Mbak. Nggak usah repot-repot. Lebih keren pula.” Bandot yang melihat Rumiyati bingung, memberikan sedikit saran.
Wanita itu menatap ke arah Mbah Siman, lalu berkata, “Boleh gitu, Mbah?”
“Ya nggak papa. Panjenengan cukup selamatan bubur merah lima piring, diniati ganti nama. Terus bubur itu kasih ke orang. Dimakan sama siapa, terserah. Yang penting harus habis, nggak boleh nyisa sedikit pun,” tegas Mbah Siman.
Rumiyati bernapas lega. Tidak terlalu aneh jika nantinya mengharuskan orang-orang untuk memanggil dia dengan nama Rumi. Tidak terlalu jauh dari nama asli dia, juga terdengar lebih keren seperti orang kota. Nama yang lebih modern daripada Rumiyati.
Rumi merasa bungah. Syarat yang harus dia lakukan ternyata tidak sulit, malah memberikan dampak lebih baik bagi dirinya. Dia lalu menanyakan, kapan waktu yang baik untuk melakukan selamatan.
Mbah Siman menjawab bahwa itu terserah Rumiyati saja. Lebih cepat, tentu akan lebih baik supaya kutukan bisa segera berakhir. Besok juga tidak masalah, siang ataupun malam.
Janda kembang yang memesona itu pun mengangguk dengan penuh semangat. Dia girang sekali. Dalam hati, dia terus memuji kesaktian Mbah Siman, juga syarat-syarat yang tidak terlalu sulit untuk dipenuhi.
“Lalu, syarat kedua apa, Mbah?” Rumiyati teringat ucapan si kakek ini di awal tadi bahwa ada dua syarat yang harus dia penuhi untuk tulak balak.
“Panjenengan harus menikah dengan pria yang memiliki tanda toh merah di punggungnya, persis di bawah leher. Temukan dia, maka kutukan itu akan musnah. Toh Loji, kalau kata orang Jawa zaman dulu.” Kali ini, nada bicara Mbah Siman terdengar lebih tegas daripada tadi. Mungkin dia bermaksud menguatkan dan memberikan penekanan pada penjelasan yang diberikan.
Rumiyati tertegun. Bagaimana dia bisa menemukan pria dengan tanda seperti itu? Apakah dia harus memata-matai semua laki-laki di sekitarnya atau mengintip mereka yang sedang mandi di sungai? Syarat kedua ini rupanya sangat sulit untuk dipenuhi.
Rumiyati menghela napas berat. Baru saja dia kegirangan karena syarat pertama dinilai sangat mudah untuk dilakukan. Sekarang dia harus terhempas pada kenyataan pahit bahwa persyaratan kedua sangatlah sulit. Bahkan, bisa jadi mustahil untuk bisa menemukan lelaki dengan tanda lahir seperti itu di dunia ini.
“Panjenengan nggak usah bingung. Orangnya ada di sini, kok.” Mbah Siman tersenyum penuh arti.
Rumiyati bertukar pandang dengan Bandot yang juga memasang wajah kebingungan. Mereka sama-sama tidak mengerti maksud si kakek tersebut.
“Maksudnya ... Mbah Siman punya tanda lahir itu?” Rumiyati langsung berpikiran negatif.
Bisa saja Mbah Siman ini punya maksud tertentu terhadap dirinya. Dia sudah sering mendengar soal dukun cabul yang ujung-ujungnya malah mengincar pasien sendiri. Kalau tidak memaksa nikah, ya sekadar bercinta dengannya.
Dih, amit-amit. Rumiyati menepis pikiran buruknya sendiri. Dia merasa jijik, tidak sanggup membayangkan kalau dirinya harus bercinta dengan Mbah Siman yang sudah bau tanah, apalagi kalau sampai menikah. Setiap malam tidur bersama dan ....
“Lah, yo nggak, toh. Mbah nggak punya tanda lahir seperti itu.” Mbah Siman tertawa, terkekeh-kekeh sampai keluar air mata di sudut kelopaknya. Dia tahu kalau Rumiyati sudah berburuk sangka.
Rumiyati dan Bandot kembali saling bertukar pandang. Bukankah hanya ada mereka bertiga di tempat ini? Atau mungkin, ada anak, cucu atau tetangga Mbah Siman yang punya tanda lahir itu? Bandot mengedikkan bahu sebagai tanda bahwa dia juga tidak mengerti maksud perkataan kakek di depannya itu.
“Buka baju kamu, Ndot.” Mbah Siman tegas memberi perintah setelah menghapus lelehan air dari sudut mata dan tawa mulai mereda.
“Lah, kenapa aku disuruh buka baju toh, Mbah. Dingin ini, lho. Malu juga ada Mbak Rum di sini,” tolak Bandot yang tampak sangat terkejut dengan perintah si mbah.
“Wis, toh. Lakukan saja. Nanti kamu tahu sendiri.” Mbah Siman mendelik dengan kelopak mata keriputnya.
Bandot menatap malu ke arah Rumiyati. Pandangan itu memiliki dua arti. Pertama, dia meminta persetujuan pada perempuan itu untuk melepas kaus atau kedua, dia meminta dukungan agar tidak perlu membukanya.
Rumi malah membalas tatapan Bandot itu dengan anggukan kepala, seolah-olah dia mendukung perintah Mbah Siman. Dengan menahan rasa jengah, pemuda tersebut membuka jaket dan kaus yang dia kenakan. Mbah Siman meminta dia menunjukkan punggung ke arah Rumiyati. Mbah Siman kemudian berdiri, lantas menempelkan jari telunjuknya, persis di perbatasan leher dan punggung Bandot.
“Ndot ... itu ....” Mata Rumiyati langsung terbelalak.
Daftar Chapter
Chapter 1: Salahkah aku bersuami?
1,214 kata
Chapter 2: Bab 2
1,192 kata
Chapter 3: bab 3
1,195 kata
Chapter 4: bab 4
1,159 kata
Chapter 5: Bab 5
1,101 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!