Chapter 1: Buta
Di bawah terik matahari, terlihat orang-orang menghadiri pemakaman seorang pengusaha ternama. Ya, Daniel Ananta yang dinyatakan hilang tiga minggu lalu, ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Ia adalah komisaris di sebuah perusahaan tambang batu bara. Kasus kematiannya masih ditangani oleh pihak kepolisian. Berbagai kalangan mengucapkan belasungkawa dan mengirim karangan bunga.
Anak semata wayang Daniel, Galih-lah yang akan mewarisi semua kekayaan milik almarhum. Galih dengan setelan baju dan kacamata hitam berdiri di samping makam. Ia melepas kacamata, lalu menatap makam itu. Tak ada raut sedih yang ia tampakkan karena memang pembawaannya sangat dingin dan kaku. Itu juga yang membuat para perempuan enggan untuk mendekat.
“Pak Galih, saya turut berduka cita atas meninggalnya Pak Daniel,” sahut Pak Kellan, salah satu klien perusahaan. Ia mengulurkan tangan.
“Terima kasih, Pak,” ujar Galih sambil menerima uluran tangan.
“Saya permisi pulang.”
Galih menganggukan kepala. Sepeninggal Pak Kellan, satu per satu pelayat meninggalkan makam. Kini tinggal Galih seorang diri. Senyum sinis menghiasi bibirnya.
“Kak Galih!” panggil seorang wanita dengan gamis hitam.
“Mau apa kamu ke sini?” tanya Galih, menatap tajam.
“Aku ikut bersedih dengan meninggalnya Ayah,” lirih wanita itu.
“Kamu tahu, siapa sumber kematian Ayah dan hancurnya keluargaku?” tanya Galih sambil berjalan ke arah wanita itu. “Semua ini terjadi karena kehadiranmu, Dilara.”
Memori masa lalu berputar di kepala Galih. Pertengkaran hebat antara ayah dan ibunya kembali membuka luka lama yang susah payah ia sembuhkan. Kehadiran Dilara-lah yang sudah membuat kehidupannya yang baik-baik saja menjadi hancur berantakan.
Awalnya Galih dan Dilara hidup bersama seperti kakak-adik pada umumnya sampai Ranti, sang ibu, menemukan surat adopsi atas nama Dilara di laci meja kerja Daniel. Rahasia yang lelaki itu sembunyikan selama delapan tahun terbongkar. Ternyata Dilara bukanlah saudara kandung Galih. Ia diadopsi untuk menggantikan adik Galih yang meninggal setelah lahir karena menelan air ketuban.
Daniel langsung pulang saat mendengar kabar Ranti akan melahirkan dari Mbok Sari. Ia menyuruh Mbok Sari untuk mempersiapkan segala sesuatu. Ia mengendarai mobil dengan kecepatan lumayan tinggi.
Setiba di rumah, Mbok Sari dan Ranti sudah ada di teras rumah. Tanpa banyak bicara, Daniel langsung membopong Ranti dan membaringkannya di dalam mobil. Mbok sari mengikuti dari belakang.
Sampai di rumah sakit, Ranti langsung masuk IGD. Daniel menunggu dengan harap-harap cemas. Karena tidak ada pembukaan lagi, dokter menyarankan untuk operasi cesar. Daniel setuju saja, asal istri dan anaknya selamat.
Setelah operasi selesai, ternyata takdir berkata lain. Bayi tidak bisa diselamatkan. Daniel bingung. Saat Ranti sadar nanti, apa yang harus ia katakan? Tanpa sengaja, ia mendengar percakapan dua perawat yang membicarakan wanita hilang akal, baru saja melahirkan bayi perempuan. Tiba-tiba terbersit dalam pikiran Daniel untuk mengadopsi bayi itu dan merawat ibu si bayi di rumah sakit jiwa.
Setelah semua rahasia terbongkar, Ranti marah besar. Sepanjang apa pun Daniel menjelaskan tentang kronologis adopsi Dilara, Ranti tidak bisa menerima. Ia tetap saja berprasangka kalau sang suami sudah menduakan cinta. Akhirnya, mau tidak mau Daniel menyerahkan Dilara ke panti asuhan karena Ranti tidak ingin melihat anak itu lagi.
Daniel memberi tahu keberadaan ibu Dilara yang ia beri nama Nurma di rumah sakit jiwa. Meski Dilara tinggal di panti asuhan, Daniel tetap memperhatikan kebutuhannya dan sang ibu.
Sejak saat itu, Galih tidak lagi betah di rumah. Dulu rumah adalah surga, kini berubah jadi neraka. Setiap hari ia melihat pertengkaran ayah dan ibu yang makin hari makin menjadi. Karena tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang ayahnya torehkan, sang ibu sakit dan mengembuskan napas terakhir.
Daniel dan Ranti dimakamkan bersebelahan. Galih sempat tidak setuju, tetapi mau bagaimana lagi. Keinginan itu tertulis di surat wasiat Daniel sebelum meninggal.
“Maafkan aku, Kak. Aku mau menje-”
“Jangan panggil aku Kakak! Kamu puas sekarang?” Belum sempat Dilara menyelesaikan perkataan, Galih langsung bicara dengan penuh emosi. “Silakan! Mungkin kamu mau mengucapkan kata-kata terakhir untuk ayah tercintamu. Aku tidak ada waktu untuk itu. Sejak terbongkar rahasia itu, aku sudah menganggap Ayah mati.”
Galih meninggalkan Dilara yang berderai air mata.
***
Bau amis darah tercium menyengat. Pria dengan pakaian dokter sedang mengambil organ-organ penting dalam tubuh seseorang, seperti jantung, hati, ginjal, mata, dan organ lain yang bernilai mahal jika diuangkan. Pria itu melakukan dengan santai, tanpa belas kasihan sama sekali. Ia menculik banyak orang, lalu mengambil organ-organ, mengembalikan mereka ke keluarga dalam keadaan tanpa nyawa. Hati pria itu gelap, tanpa cahaya.
“Dokter Pras, malam ini kita harus terbang ke Singapore. Ada pasien yang akan melakukan transplantasi hati. Kebetulan, hati orang ini cocok dengan pasien itu, Dok,” jelas Adit, perawat yang membantunya.
“Kamu siapkan semuanya. Saya selesaikan ini dulu,” sahut Dokter Pras sambil melanjutkan pekerjaan, menjahit bagian tubuh yang sudah diambil organ.
Dokter Pras sedang serius menyelesaikan pekerjaan ketika dari arah luar terdengar keributan, bahkan suara letusan pistol. Tanpa sempat menyelamatkan diri, empat polisi masuk ke ruangan tempat ia melakukan operasi.
“Kalian berdua jangan bergerak!” titah polisi berperawakan tinggi besar, mengacungkan pistol ke arah Dokter Pras dan perawat.
“Tangkap mereka!”
Dua orang meringkus Dokter Pras karena memberontak, sedangkan satu lagi menangkap perawat. Polisi berperawakan tinggi besar bernama Hartanto melepas masker yang menutup wajah Dokter Pras. Ia terkejut saat melihat wajah dokter itu. Ia tidak bisa bertanya banyak hal. Biar nanti Dokter Pras sendiri yang menjelaskan di kantor polisi. Mereka menggiring Dokter Pras dan perawat untuk masuk ke mobil.
Selama di perjalanan, tidak ada satu pun yang berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Begitu pun dengan Hartanto. Ia tak pernah menyangka kalau Dokter Pras adalah orang yang ia kenal, bahkan sangat dekat.
Setiba di kantor polisi, Dokter Pras langsung diinterogasi. Tidak ada satu pertanyaan pun yang dijawab. Percuma saja menjawab pertanyaan itu karena Dokter Pras yakin kalau ia akan masuk penjara. Polisi sudah menyimpan semua bukti.
Polisi membawa Dokter Pras ke sel tahanan. Sekilas, ia meihat wanita yang mirip sekali dengan Dilara, mengenakan seragam polisi. Tanpa sengaja, pandangan mereka bersirobok.
Tiga minggu ini memang banyak laporan masuk tentang kehilangan anggota keluarga dan ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dengan luka jahitan di beberapa bagian tubuh. Sudah lama polisi menyelidiki kasus ini. Akhirnya, pelaku tertangkap juga.
Berita tertangkapnya pelaku penjualan organ manusia menggemparkan banyak pihak. Mereka tidak menyangka kalau pelakunya adalah orang yang sangat terpandang dan berpengaruh di dunia bisnis. Dokter Pras itu adalah Galih Prasetyo Ananta.
Galih sengaja tidak memberi tahu siapa pun kalau mengambil kuliah kedokteran. Awalnya, ia masuk ke Fakultas Kedokteran karena sang ibu. Ia ingin sekali bisa menolong ibunya yang sedang berjuang melawan derita batin, juga kanker servik yang terus menggerogoti tubuh. Setelah lulus, ia langsung mengambil spesialis bedah agar bisa melakukan operasi. Namun, sebelum lulus, sang ibu sudah lebih dulu diambil pemiliknya.
Niat baik Galih kini berubah. Pak Tamrin mengajak bekerja sama, memperjualbelikan organ manusia. Tugasnya hanya mengambil organ saja. Untuk menculik dan lain-lain ada orang yang ditunjuk langsung oleh Pak Tamrin.
Di sel tahanan, Galih seorang diri. Ia tahu, mulai detik ini semua karir yang dibangun dari nol akan hancur. Tidak ada penyesalan dalam dirinya. Yang terpenting, ia sudah membalas dendam atas sakit hati sang ibu.
“Pak Galih, ada yang ingin bertemu,” ujar Pak Setu sambil membuka pintu sel.
Galih keluar tanpa bertanya, siapa yang ingin bertemu dengannya. Ia mengikuti langkah Pak Setu. Ia terkejut. Di sana ada wanita yang mirip dengan Dilara dan sepasang suami istri. Pak Setu mempersilakan Galih duduk, lalu pergi meninggalkan mereka.
“Dilara? Apa kamu Dilara?” tanya Galih sambil menatap lekat wanita di hadapannya.
“Iya, aku Dilara yang dulu pernah jadi adik yang paling Kakak sayangi,” jawab Dilara. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenapa kamu mau bertemu aku? Rasanya, tak ada yang perlu kita bicarakan,” ucap Galih datar.
“Aku ingin meluruskan kesalahpahaman di antara kita. Perkenalkan, ini ayah dan ibu kandungku. Dulu saat Ibu ditempatkan di rumah sakit jiwa, Ayah Daniel memberinya nama Nurma,” jelas Dilara yang bingung mulai dari mana.
“Dil, biar Ibu saja yang menjelaskan semuanya pada Nak Galih,” sahut ibu Dilara sambil memegang tangannya.
Nurma yang memiliki nama asli Jesi mulai menceritakan awal mula pertemuannya dengan Daniel. Waktu itu usia kandungannya sudah menginjak lima bulan. Jason tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Jesi bingung ke mana harus mencari sang suami, ditambah kondisi sedang hamil besar. Karena sedih yang berlarut-larut, ia kehilangan akal. Ia sering berteriak tidak keruan, memanggil nama sang suami. Ia juga menjelaskan kalau tidak mengenal Daniel sama sekali.
“Jadi, Nak Galih, Pak Daniel tidak pernah selingkuh dengan wanita mana pun. Maafkan Ibu yang baru bisa menjelaskan sekarang. Ibu juga baru sembuh dua bulan lalu saat Mas Jason mengunjungi Ibu. Dilara menceritakan semua tentang Daniel yang membesarkan dan membiayai kami berdua.” Jesi menatap wajah datar Galih. Rasa bersalah muncul di dalam hati.
“Waktu itu ada yang menculik saya. Sampai sekarang, saya tidak tahu siapa mereka. Yang jelas, saya dibawa ke tempat yang sangat jauh. Bertahun-tahun saya berusaha bekerja di negeri orang untuk bisa kembali ke Indonesia. Akhirnya, setelah tabungan terkumpul dan dengan bantuan kedutaan besar Indonesia di sana, saya bisa pulang. Dua bulan lalu saya menemukan Jesi dan Dilara. Maafkan atas kesalahpahaman yang membuat keadaan keluargamu berantakan,” lanjut Jason.
Mendengar penjelasan Jason, Jesi, dan Dilara, seketika Galih menatap kedua tangannya. Air mata tiba-tiba membanjiri pipi. Rasa benci telah membuat hatinya buta, hingga seperti apa pun penjelasan sang ayah, tidak ia gubris sama sekali. Di otak hanya ada rencana untuk melancarkan balas dendam.
Tangan itulah yang sudah menghabisi nyawa ayahnya sendiri. Galih sengaja menyebarkan rumor kalau Daniel hilang dan ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa. Padahal, ia membius sang ayah, lalu membawanya ke tempat ia biasa melakukan pekerjaan. Bahkan, ginjal dan hati Daniel ia jual dengan harga cukup fantastis. Sekarang uang itu telah menjelma jadi satu unit kendaraan mewah.
“Apa Kak Galih yang membunuh Ayah Daniel?” tanya Dilara penasaran karena tak biasanya Galih bersikap seperti itu.
Galih tergugu. “Ayah, maafkan aku yang sudah merenggut nyawa dan tak percaya dengan apa yang kamu katakan. Maafkan aku!”
Dilara tidak kuasa melihat Galih terpuruk. Ia memberanikan diri untuk memeluk dan memberi kekuatan untuknya.
“Kak Galih pasti kuat. Banyak hal yang bisa Kakak lakukan untuk Ayah Daniel. Kakak harus bertobat dan berubah jadi Kak Galih yang dulu aku kenal. Aku rindu Kakak yang dulu.” Dilara berujar lirih.
“Kakak pembunuh. Karena dibutakan dendam, sekarang Kakak kehilangan semuanya. Karir, keluarga, dan empati.”
“Kakak enggak sendiri. Ada aku, Ibu, dan Ayah. Anggap saja kami keluarga Kakak karena Ayah Daniel juga baik padaku. Meski mengembalikan aku ke panti asuhan, Ayah tetap menyekolahkan aku, hingga bisa jadi polisi seperti sekarang ini. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menebus semua kesalahanpahaman yang menimpa keluarga Kakak. Sekarang Kakak jalani apa pun konsekuensi atas perbuatan Kakak.” Dilara mengurai pelukan.
Hati Galih terasa lapang. Dendam yang dulu mengakar di dalam hati, perlahan mulai terlepas. Meskipun rasa bersalah akibat membunuh sang ayah pasti akan terus menghantui, yang terpenting ia memiliki keluarga lain yang mau menerima segala kekurangannya.
Daftar Chapter
Chapter 1: Buta
1,803 kata
Chapter 2: Lunas
1,443 kata
Chapter 3: Ruang Bawah Tanah
1,415 kata
Chapter 4: Diteror Mantan Hantu
1,653 kata
Chapter 5: Semua Salah Kalian
625 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!