')">
Progress Membaca 0%

Chapter 4: Caraku tertawa seolah tak pernah rapuh,

Freddy San 15 Aug 2025 1,240 kata
GRATIS

Caraku tertawa seolah tak pernah rapuh,

caraku tersenyum seolah tak pernah takut,

caraku berjalan seolah tak pernah jatuh,

caraku memandang dunia yang seolah sempurna.

*****

“Astaga, Bik.” Kala tertawa terbahak-bahak sekaligus malu karena ternyata si pembantu mereka mendengar adegan layak sensor yang dia lakukan dengan Lady semalam di ruang tengah.

“Emang, kalau boleh tahu, uang sewa rahimnya berapa, sih, Den?” Bik Maneh memasang tampang serius.

“Sewa kos?” Kala sengaja menggoda pembantunya yang rada usil ini.

“Ih, Den Kala, mah. Seriusan ini Bibik, teh.” Bik Maneh mencoba mencubit lengan sang majikan karena gemas. Bukan hanya karena kalimat yang dilontarkan oleh Kala, tetapi memang bulu-bulu halus di lengan pria itu sungguh menggoda mata.

“Eits, nggak kena. Kenapa memangnya? Bik Maneh punya kandidat yang mau disewa rahimnya?” Kala balik bertanya sambil menghindari cubitan.

“Ya, saya kan sudah terbukti bisa hamil, lahiran juga lancar, kuat, sehat. Bibik aja atuh, Den. Lumayan, uangnya bisa dipake buat beli sawah di kampung,” jawab Bik Maneh sambil menunjukkan lengan. Lengan gempal dengan tubuh seperti ikan buntal. 

“Hahaha, ya ampun. Jangan, Bik. Nanti nggak ada yang masakin kita kalau Bik Maneh hamil dan melahirkan. Lagian, kami sudah sepakat, nggak mau wanita yang disewa rahimnya bertemu dengan bayi kami setelah lahiran nanti. Kami maunya, wanita itu benar-benar putus hubungan sama sekali dengan bayi kami.” Kala memberikan alasan yang tentu saja tidak sepenuhnya benar.

Tidak mungkin bagi Kala untuk mengatakan bahwa salah satu syarat wanita yang disewa sebagai surrogate mother adalah harus cantik, seperti kemauan sang istri. Bik Maneh bukan tidak cantik, tetapi mungkin belum memenuhi standar Lady.

“Ayolah, Den. Habis melahirkan, saya langsung berhenti kerja, urus sawah aja di kampung. Bibik janji, deh. Bibik nggak bakal ke sini-sini lagi.” Bik Maneh coba merayu.

“Maaf, Bik. Semalam, kami sudah dapat orangnya. Tinggal susun perjanjian aja.” Kala terpaksa sedikit berbohong untuk menghentikan niatan Bik Maneh menawarkan rahim.

“Cepet amat, Den? Beneran, udah dapet?” Wanita itu menatap kecewa.

“Beneran, Bik. Masa saya bohong, sih. Kami memang gerak cepat. Saya pengen segera punya anak, begitu juga dengan Lady.  Kami sendiri merasa lebih nyaman bekerja sama dengan orang yang sama sekali tidak tahu siapa kami dan kehidupan kami, Bik. Selesai urusan, ya, sudah,” lanjut Kala.

Bik Maneh tidak menjawab. Ia pura-pura sibuk mencuci piring sambil cemberut. Melihat itu, Kala memilih kembali ke kamar dan bersiap untuk berangkat ke kantor.

Tiba di kantor, Kala menjelaskan semua rencana sewa rahim pada Pandu, sekretaris pribadinya.

“Jelas, kan? Jadi segera minta tim legal untuk menyiapkan perjanjian yang paling aman dan kamu ... segera selidiki tentang Embun. Jangan terlalu banyak membuang waktu. Kita sambil coba untuk mencari kandidat cadangan yang kurang lebih fisik maupun sikapnya, mirip dengan gadis itu,” kata Kala.

“Siap, Pak. Sekarang juga saya akan menemui tim legal. Tentang gadis itu, saya minta waktu maksimal lima hari untuk mengumpulkan informasi.”

“Tiga hari. Lima hari terlalu lama, Pandu,” tukas Kala.

“Saya usahakan, Pak.” Pandu menjawab sembari menganggukkan kepala kemudian segera meninggalkan ruangan pimpinan perusahaan tersebut, menuju ke ruangan tim legal di lantai empat belas. Ruang para direksi dan komisaris berada di lantai tiga puluh, lantai tertinggi dari gedung yang diberi nama Shakala Tower ini.

Semoga gadis itu memenuhi syarat dan bersedia menjadi surrogate mother. Kala berharap dalam hati. Tak berapa lama, ia sudah terlarut dalam pekerjaannya.

Sementara di tempat lain, Lady nampak sedang menikmati sarapan bersama teman-temannya setelah berolahraga bersama. Para nyonya muda yang sudah hidup bergelimangan harta dan lebih banyak foya-foya. Wajar, dengan keuangan mapan yang sudah mereka raih, bahkan dari lahir. 

“Gue nggak bisa lama-lama, ya. Ada urusan penting,” kata Lady.

“Tumben, pagi-pagi lo sibuk?” tanya Carmel, sahabatnya.

“Iya, mo konsul sama Dokter Broto,” jawab Lady.

“Dokter Broto, spesialis kandungan itu? Eh, lo hamil?” tanya Carmel lagi.

“Lagi mo program. Doain, ya.” Lady menjawab sambil melempar seutas senyuman. 

“Gue duluan ya. Bye all,” pamitnya sembari melambaikan tangan.

“Bye. Hati-hati,” kata teman-temannya hampir serempak.

Lady berjalan menuju ke kasir untuk membayar, baru melangkah ke mobil yang diparkir di depan warung. Tempat makan ini memang bukan untuk kalangan seperti mereka. Namun, apa daya. Sepagi ini, belum ada restoran buka di sekitar gelanggang olahraga. Karena itu, warung ini menjadi langganan bagi banyak orang yang melakukan olahraga pagi di sini.

Lady mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang, kembali ke rumahnya. Dia berniat untuk mandi terlebih dahulu, baru ke rumah sakit untuk menemui Dokter Broto yang kebetulan sudah ia kenal sejak kuliah dulu. 

Mereka berdua masih satu almamater di National University of Singapore, tetapi berbeda jurusan. Lady mempelajari Business Management sedangkan laki-laki itu, tentu saja kedokteran.

Lady mengenal lelaki itu dari Celine, teman satu jurusan sekaligus sahabat terdekat selama kuliah. Celine adalah pacar Broto ketika mereka semester tiga. Tak berapa lama setelah Broto berkenalan dengan Lady, mereka putus karena laki-laki jatuh cinta pada Lady. 

Tentu saja Celine tidak tahu mengenai alasan itu karena Broto memang sengaja menyimpan rapat-rapat. Ia hanya mengatakan bahwa lebih nyaman menganggap Celine sebagai teman biasa, tidak lebih. Beruntung, gadis itu bisa menerima dengan santai dan tidak menjadi masalah yang berkepanjangan. Sementara Lady sendiri selalu menolak ketika Broto menyatakan cinta padanya. Berkali-kali, bahkan hingga mereka lulus kuliah. 

Pria itu memang bersih, tubuh cukup ideal, keluarga berada, cerdas, dan masih banyak lagi kelebihan yang dia miliki. Namun, profesi dokter bukanlah sesuatu yang menarik bagi Lady. Ia berpikir untuk mencari suami seorang pelaku bisnis. Dengan demikian, perusahaan keluarga dapat dikelola dan dikembangkan bersama.

Selain itu, Lady tidak ingin terjatuh pada situasi percintaan yang rumit. Bagi dia, tidak perlu pacaran. Menikah dengan kriteria tepat, jauh lebih menjanjikan dari sekadar kisah cinta penuh romansa, cemburu, perselingkuhan, dan hal-hal basi lainnya. 

Menikah adalah sebuah kesepakatan dalam satu fase hidup manusia. Kalau menemukan yang satu visi misi, saling memenuhi kriteria, juga standar satu sama lain, itu sudah cukup. Kenyamanan menjalani hubungan sebagai life partner, partner dalam menjalani kehidupan, jauh lebih bisa diterima oleh Lady dibandingkan konsep cinta-cintaan yang tidak logis.

Ditambah lagi, Broto adalah mantan kekasih Celine, teman dia sendiri. Pasti akan sangat tidak nyaman jika mereka kemudian jadian. Belum lagi kesalahpahaman yang mungkin terjadi dan gosip-gosip miring yang akan datang menerpa. So damn complicated! Orang pasti akan mengira dia berselingkuh dengan Broto, makan teman, mengkhianati sahabat sendiri, dan berbagai tudingan lain yang pasti sangat menyakitkan untuk didengar. 

Tak berapa lama setelah lulus kuliah, Broto akhirnya menikahi seorang gadis satu profesi. Namun, tetap saja, Lady satu-satunya wanita yang bertahta dalam ruang utama di hati laki-laki itu.

[Jadi jam sepuluh, kan, Broto?] Lady mengirimkan pesan singkat melalui telepon genggamnya.

[Ay ay, my Lady. Sudah gue kosongin jadwal buat lo, kok.]

Broto membalas dengan perasaan yang mulai tidak menentu. Sejak semalam, Lady sudah menghubunginya untuk mengajak bertemu. Walau ini adalah pertemuan antara dokter dan pasien, tetap saja hati pria itu menjadi tidak tenang. Jantung seolah kehilangan irama dalam detakan, yang biasanya slow pop menjadi house remix.

Broto bahkan sudah piktor duluan. Sebagai seorang dokter spesialis kandungan, ia sudah biasa melihat organ wanita dalam berbagai variasi bentuk dan warna. Namun, apakah ia sanggup melihat milik Lady? Membayangkannya saja sudah membuat keringat deras mengucur dan napas terengah-engah. Lalu bagaimana kalau ia harus menyaksikan di depan mata dan berjarak hanya beberapa jengkal dari wajah dia?

You can do it, Broto. Profesional please, batinnya menyemangati diri sendiri.

Daftar Chapter

Chapter 1: Tak bicara bukan berarti tak a...

1,101 kata

GRATIS

Chapter 2: Perbedaan membuat kita saling...

1,251 kata

GRATIS

Chapter 3: Aku pernah sederas hujan,

1,064 kata

GRATIS

Chapter 4: Caraku tertawa seolah tak pern...

1,240 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 5: Jika memang kau datang untukku

1,202 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!