')">
Progress Membaca 0%

Chapter 1: Persiapan Jambore

Aulia Hasna Kamila 16 Sep 2025 790 kata
GRATIS

"Ini koper siapa?" Teriak Pak Tarno, sambil menunjuk koper besar di hadapannya. "Mau Jambore atau pindah planet?"

            Rey  meringis, menatap koper besar di depannya yang sudah hampir meledak karena berisi barang-barang yang bahkan ia sendiri tidak yakin perlu dibawa. Sepatu lapangan, sandal jepit, baju ganti, seragam pramuka, kaus cadangan, senter, baterai cadangan, bahkan sebuah kipas kecil portabel yang diselundupkan oleh adiknya ke dalam koper.

“Kau serius mau bawa semua ini, Rey?” tanya Bima, sahabatnya yang sedari tadi duduk di depan kelas sambil mengunyah keripik. “Kita mau ke Jambore Nasional, bukan pindahan rumah.”

            Rey mendengus. “Hei, siapa tahu kita butuh kipas. Kalau tenda panas, kau mau apa? Masak kipas pake daun kelapa?”

“Kalau perlu, aku kipasin pakai daun pisang. Lebih tradisional.” Bima terkekeh, lalu langsung menutup mulutnya ketika Rey melemparkan gelas plastik bekas Aq*a ke arah wajahnya.

            Belum sempat balas, pintu kelas terbuka. Andre, yang terkenal paling santai di antara mereka, muncul dengan ransel kecil di punggungnya. “Aku sudah siap. Barang-barangku cuma ini.”

Rey dan Bima kompak menoleh.

“Itu doang?” seru Rey.

“Ya. Bawa yang penting aja. Seragam, sleeping bag, piring kaleng, sama sendok.” Andre mengangkat bahu seolah itu sudah cukup.

            Rey menepuk kening. “Astaga, nanti kalau kau sakit kepala di sana? Obat? Jas hujan? Pakaian cadangan?”

“Kalau sakit kepala, aku tidur. Kalau hujan, aku tidur. Kalau bajuku basah, aku tidur lagi.” Andre menjawab dengan wajah datar.

            Bima tertawa sampai hampir tersedak keripik. Rey menghela napas panjang. Baru persiapan saja sudah terasa seperti perang. Bagaimana nanti kalau mereka benar-benar sudah sampai di lokasi Jambore Nasional?

            Truk besar yang disiapkan untuk mengangkut perlengkapan kontingen mulai terisi perlahan. Kotak logistik, alat masak, tumpukan sleeping bag, bahkan jerigen air naik satu per satu. Suasana di halaman sekolah – yang menjadi titik kumpul sebelum berangkat – semakin ramai.

            Rey berdiri di samping tumpukan tas ransel, menatap teman-temannya yang sibuk. Rian masih saja ngotot membawa gitar.

“Serius, Yan? Gitar itu bisa makan tempat satu dus logistik. Mau kamu simpan di mana? Di kepala Kak Arif?” Rey menggeleng sambil menahan tawa.

            Rian menjawab santai, “Bro, jambore itu bukan cuma soal survival. Ini juga soal style. Bayangin malam api unggun, aku main gitar, cewek-cewek dari kontingen lain melirik. Boom! Selesai urusan.”

“Yang ada gitar kamu kebakar karena dilempar ke api unggun,” timpal Aldi dengan nada serius, tapi matanya jelas-jelas penuh godaan ingin menertawakan Rian.

            Rey menahan senyum, tapi dalam hati ia cukup mengakui satu hal: Rian memang punya ide gila, meski sering kali lebih bikin repot.

            Di sisi lain, para kakak pembina sibuk mencatat daftar barang bawaan dan jumlah peserta. Suara peluit sesekali terdengar, memanggil mereka untuk baris. Rey, Rian, dan Aldi bergegas masuk ke barisan, berdiri rapi meski wajah masing-masing masih menyimpan cengiran.

“Kalian siap?” tanya Kak Arif, pembina paling ditakuti sekaligus dihormati di gudep mereka.

“Siap, Kak!” jawab serentak semua peserta, meski sebagian suara terdengar lebih seperti setengah menguap.

            Rey melirik sekeliling. Ada sekitar dua puluh orang dari sekolahnya yang ikut. Sebagian besar wajahnya sudah ia kenal – teman seangkatan, adik kelas, juga beberapa kakak kelas yang memang dipilih. Tapi di balik rasa kebersamaan itu, ada sesuatu yang menggelitik pikirannya.

            Ia tahu jambore ini akan penuh kejutan. Entah kenapa, hatinya merasa perjalanan kali ini bukan sekadar pasang tenda atau lomba-lomba antar kontingen. Ada sesuatu yang menunggu, sesuatu yang bahkan belum bisa ia bayangkan.

            Begitu semua perlengkapan dinaikkan, peserta diminta masuk ke dalam bus. Rey dan Aldi duduk bersebelahan, sementara Rian sibuk mencari posisi strategis.

“Kenapa milih depan?” tanya Rey saat melihat Rian dengan sigap menempati bangku dekat pintu.

“Biar gampang turun duluan. Kalau ada kontingen cewek yang perlu dibantu angkat barang, aku yang pertama nyelonong. Gentleman, bro.”

Aldi menepuk jidatnya sendiri. “Astaga. Ni orang niat jambore buat cari cewek atau buat lomba sih?”

“Dua-duanya. Multitasking.”

            Tawa pun pecah di dalam bus. Bahkan beberapa peserta lain yang mendengar percakapan mereka ikut menahan geli. 

Chapter Sebelumnya
Chapter 1 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Persiapan Jambore

790 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 2: Perjalanan Kita Berawal dari S...

773 kata

GRATIS

Chapter 3: Tenda Pertama

662 kata

GRATIS

Chapter 4: Perjalanan Panjang

796 kata

GRATIS

Chapter 5: Kisah Besar

807 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!