')">
Progress Membaca 0%

Chapter 5: Kisah Besar

Aulia Hasna Kamila 16 Sep 2025 807 kata
GRATIS

Siang itu, setelah apel pembukaan, mereka duduk bertiga di bawah pohon pinus. Angin sepoi-sepoi membuat suasana sedikit sejuk, meski matahari tetap terasa menyengat.

            Rey mulai membuka pembicaraan yang lebih serius. “Eh, kalian pernah mikir nggak, apa sih yang paling kalian harapkan dari jambore ini?”

            Yoga menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku sih jelas. Aku ingin regu kita bisa kompak, disiplin, dan dikenal sebagai salah satu regu terbaik. Minimal kita pulang dengan kebanggaan.”

“Seperti piala?” Dika menimpali.

“Ya, semacam itulah. Pengalaman juga berharga, tapi kalau bisa diukir dengan prestasi kan lebih keren.”

Arga mengangguk, lalu menoleh ke Rey. “Kalau kau?”

            Rey tersenyum lebar, nyaris seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah. “Aku pengen punya pengalaman nggak terlupakan. Bisa kenal teman baru dari berbagai daerah. Kalau bisa, ya … siapa tahu dapat kenangan manis juga. Misalnya, ada cewek yang inget sama aku sampai pulang nanti.”

Yoga mendesah, “Astaga, selalu soal cewek.”

Arga tertawa mendengarnya. “Kalau aku … mungkin kombinasi kalian berdua. Aku pengen tim kita solid, tapi juga nggak mau kaku banget. Kita harus punya cerita lucu buat dikenang. Bayangin nanti kita udah dewasa, bisa cerita: ‘Hei, dulu di jambore, tenda kita pernah roboh gara-gara salah pasang simpul.’ Itu kan seru.”

Mereka terdiam sejenak, membiarkan bayangan-bayangan masa depan berputar di kepala.

Tak lama kemudian, terdengar suara riuh dari arah tenda putri. Seperti insting, Danu langsung berdiri. “Eh, ayo kita ke sana. Siapa tahu ada yang butuh bantuan.”

Yoga mengernyit. “Butuh bantuan apa? Kayaknya mereka lebih jago mendirikan tenda daripada kita.”

Benar saja. Saat mereka mendekat, regu putri itu tampak sangat cekatan: ada yang mengikat simpul dengan cepat, ada yang mengatur formasi tiang bendera, bahkan ada yang sudah sibuk merapikan peralatan.

Rian sempat ternganga. “Wow … mereka pro banget. Kita tadi setengah mati buat satu tenda, mereka bisa bikin kayak miniatur perkemahan.”

Salah satu dari regu putri menoleh, senyum ramah. “Kalian dari kontingen mana?”

Arga yang biasanya tenang, tiba-tiba merasa gugup. “E-eh, dari Jawa Tengah. Kalian?”

“Sulawesi Selatan,” jawab gadis itu. Senyumnya masih menempel.

Yoga mencoba tetap tegas. “Salam pramuka.”

“Salam pramuka!” jawab mereka serempak, penuh semangat.

            Interaksi singkat itu mungkin terlihat sederhana, tapi bagi ketiga pemuda ini, rasanya seperti pencapaian besar. Rey sudah menepuk-nepuk bahu Arga. “Nah, kan. Baru juga hari pertama, udah ada kenalan. Tunggu aja, aku yakin nanti kita bisa bikin lingkaran persahabatan yang lebih luas lagi.”

            Yoga mendesah lagi, tapi kali ini lebih halus. Dalam hatinya, ia tak bisa memungkiri bahwa ia juga merasa sedikit bersemangat.

            Malam itu, bumi perkemahan berubah suasana. Ribuan lampu senter menyala, suara obrolan terdengar dari segala arah, dan api unggun mulai berkobar di beberapa titik. Udara dingin mulai menusuk, membuat mereka semua merapatkan jaket pramuka.

            Arga duduk bersila di depan tenda, menatap langit. “Lihat tuh, bintang-bintangnya banyak banget. Rasanya kayak semua mata di langit lagi mantau kita.”

Yoga ikut menengadah. “Iya. Jadi inget pepatah: di bawah langit yang sama, kita semua bersaudara.”

            Rian, yang sibuk mengunyah roti isi, malah menimpali dengan ringan, “Atau bisa juga: di bawah langit yang sama, ada kemungkinan jodoh kita lagi ngeliatin bintang yang sama.”

Arga dan Yoga kompak melemparkan daun kering ke arahnya. “Dasar kamu, Yan.”

            Namun, obrolan ringan itu justru membuat malam pertama terasa hangat. Ada harapan besar, ada rasa penasaran, dan ada semangat yang membuncah.

            Saat semuanya mulai terlelap, suara serangga malam menjadi latar alami. Di dalam tenda, mereka bertiga sudah masuk ke sleeping bag masing-masing.

“Eh, sebelum tidur, aku mau bilang sesuatu,” ujar Arga pelan.

“Apaan?” sahut Dika setengah mengantuk.

“Aku senang banget kita bisa ke sini bareng. Entah nanti kita dapet pengalaman pahit, lucu, atau indah… aku yakin ini bakal jadi salah satu kenangan terbaik kita.”

Hening sejenak, lalu Yoga menjawab, “Aku setuju.”

            Rey mengangkat tangan dari dalam sleeping bag, meski tak terlihat jelas. “Aku juga setuju. Dan siapa tahu, di akhir nanti, ada cewek yang nangis karena nggak mau aku pulang.”

Tawa mereka kembali pecah, sebelum akhirnya perlahan digantikan dengkuran kecil.

            Malam itu, bumi perkemahan menyimpan ribuan harapan. Ada yang sederhana, ada yang besar, ada yang mungkin konyol. Tapi bagi mereka, semuanya terasa sama berharganya. Perjalanan panjang mereka baru saja dimulai.

Chapter Sebelumnya
Chapter 5 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Persiapan Jambore

790 kata

GRATIS

Chapter 2: Perjalanan Kita Berawal dari S...

773 kata

GRATIS

Chapter 3: Tenda Pertama

662 kata

GRATIS

Chapter 4: Perjalanan Panjang

796 kata

GRATIS

Chapter 5: Kisah Besar

807 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!