')">
Progress Membaca 0%

Chapter 4: Perjalanan Panjang

Aulia Hasna Kamila 16 Sep 2025 796 kata
GRATIS

Rian yang sejak tadi sibuk membereskan peralatan menoleh ke arah Rey. “Besok katanya ada upacara pembukaan. Setelah itu baru kegiatan lomba, jelajah, sama pentas seni. Kita harus siap.”

            Rey mengangguk, matanya memandangi bendera kecil kontingen mereka yang berkibar pelan di depan tenda. Ada rasa bangga yang mengalir. Meski baru awal, meski hanya sekadar tenda pertama, perjalanan ini seperti menandai awal sesuatu yang besar.

            Suara musik terdengar dari kejauhan – beberapa kontingen sudah mulai bernyanyi, memetik dan menabuh gitar, bahkan ada yang bertepuk tangan ramai-ramai. Rey melirik ke arah barisan tenda lain, matanya menangkap sekilas kelompok putri dari kontingen tetangga yang sedang duduk melingkar. Mereka tampak asyik berbincang, kadang meledak dalam tawa kecil.

            Rey mendengus pelan, mencoba menahan senyum. “Sepertinya seru sekali kalau kita bisa kenalan dengan mereka,” gumamnya.

            Yoga yang mendengar itu langsung menyikut lengan Rey. “Wah, wah … baru juga tenda berdiri, sudah melirik tetangga? Jangan bilang tujuan ikut Jambore ini sebenarnya bukan buat lomba.”

“Bukan gitu,” Rey menahan tawa. “Tapi … masa iya kita cuma berkutat dengan tenda sendiri? Bukannya Jambore ini tempat untuk berteman dari seluruh Indonesia?”

Rian tersenyum, matanya menyipit nakal. “Alasan yang sangat … mulia. Tapi ya, ada benarnya juga.”

            Guntur yang sudah setengah tertidur tiba-tiba bersuara, “Kalau besok kita kalah lomba gara-gara kamu sibuk cari perhatian, Rey, aku bakal lempar kamu ke kolam.”

Mereka semua tertawa terbahak, suara tawa yang lepas dan tulus, membaur dengan suara malam.

            Namun di balik canda itu, Rey menyimpan semangat yang berbeda. Jambore ini bukan hanya tentang tenda, lomba, atau baris-berbaris. Ada rasa penasaran yang tumbuh – tentang orang-orang baru yang akan ditemuinya, tentang cerita-cerita yang akan terbentuk, dan mungkin juga … tentang perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

            Malam semakin larut. Setelah makan malam sederhana dengan bekal mi instan dan sarden kalengan, mereka berbaring di dalam tenda. Suasana hening, hanya sesekali terdengar dengkuran Guntur yang cepat sekali terlelap. Rey menatap langit-langit tenda yang bergoyang tertiup angin, lalu menutup mata dengan senyum tipis.

“Besok akan jadi hari yang panjang,” bisiknya dalam hati.

            Dan di luar sana, suara jangkrik terus bernyanyi, seakan menyambut awal dari sebuah kisah yang belum mereka ketahui ujungnya.

            Udara pagi di bumi perkemahan terasa berbeda. Segar, lembap, bercampur dengan aroma tanah basah yang baru saja disentuh embun malam. Lapangan luas yang penuh dengan tenda berwarna-warni seolah menjadi kota kecil yang baru lahir, dihuni oleh ribuan pramuka dari berbagai daerah. Dari kejauhan, terdengar suara peluit bersahutan, riuh tawa, hingga suara kayu beradu saat beberapa regu mencoba mendirikan tiang bendera dengan keahlian yang … tidak selalu berjalan mulus.

            Bagi Arga, Rey, dan Yoga, hari itu adalah permulaan sebenarnya dari petualangan mereka di jambore. Malam sebelumnya mereka sudah sampai dengan rombongan, mendirikan tenda di tengah keributan khas pramuka: ada yang salah pasang tali, ada yang tenda roboh tiga kali, ada juga yang sibuk berdebat soal arah mata angin padahal kompas entah ke mana.

Kini, setelah semua berdiri tegak – atau setidaknya cukup mirip dengan tenda, mereka bisa bernapas lega.

“Duh, akhirnya jadi juga nih tenda, setelah kena angin ribut tadi malam. Aku kira bakal tidur di tanah semalaman,” keluh Rian sambil mengelap keringat dengan seragam pramukanya yang sudah mulai kusut.

“Kalau sampai tidur di tanah, kamu pasti jadi umpan nyamuk,” sahut Arga, tertawa kecil. Ia duduk di pintu tenda, memandang ke sekeliling. “Eh, tapi jujur ya, suasananya keren banget. Lihat tuh, tenda sejauh mata memandang. Kayak festival.”

            Yoga, yang dari tadi sibuk memperbaiki simpul tali yang masih longgar, menimpali, “Festival sih festival, tapi ingat tujuan kita. Jangan sampai kebablasan main-main.”

            Rey langsung menyenggol lengan Yoga. “Iya, iya, ketua regu kita memang paling serius. Tapi ngaku aja, Yog. Kau juga penasaran kan sama kontingen cewek sebelah sana? Dari tadi aku lihat matamu sering lirik-lirik.”

Yoga tersedak ludahnya sendiri. “Heh, jangan fitnah. Aku cuma … memastikan kondisi sekitar aman.”

“Ah, alasan,” Arga ikut menggoda. “Tapi kalau dipikir-pikir, memang menarik juga sih. Kita kan baru pertama kali jambore nasional. Kesempatan ketemu banyak orang, bahkan bisa jadi ---”

“Jodoh?” sela Rey cepat.

Arga tertawa terbahak-bahak, sementara Yoga hanya geleng-geleng, meski pipinya terlihat agak memerah. 

Daftar Chapter

Chapter 1: Persiapan Jambore

790 kata

GRATIS

Chapter 2: Perjalanan Kita Berawal dari S...

773 kata

GRATIS

Chapter 3: Tenda Pertama

662 kata

GRATIS

Chapter 4: Perjalanan Panjang

796 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 5: Kisah Besar

807 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!