Chapter 5: bab 5
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kampus sudah menjadi medan magnet bagi pelaku bisnis, terutama di bidang kuliner. Banyak sekali warung makan yang tumbuh setiap saat. Hingga kini sudah tak terhitung lagi berapa banyak warung makan yang berada di sekitar kampus yang berlokasi di jalan Parangtritis itu. Seakan-akan warung itu memanjakan mahasiswa yang sedang dilanda kelaparan.
Dari sekian banyak warung yang terdapat di sana, ada satu yang menjadi favorit Arya sejak dia pindah kuliah di kota ini. Menu kesukaannya adalah nasi pecel. Selain rasanya yang enak, tempat itu juga nyaman karena berada di pinggir sawah yang begitu sejuk. Tak heran jika tempat ini sangat ramai dikunjungi para mahasiswa. Selain untuk mengisi perut, mereka juga kerap menjadikan tempat ini buat nongkrong atau berdiskusi.
Saat tengah asyik menikmati nasi pecel yang baru saja datang, Arya sudah diganggu oleh keriuhan tiga mahasiswi yang duduk di meja tak jauh darinya. Mereka menyapa seseorang yang baru datang dengan antuias seperti fans kepada artis pujaannya. Arya pun mencoba melihat siapa gerangan yang datang itu. “Hem, pantas aja.”
Setelah Arya dapat melihat seseorang yang membuat tiga mahasiswi itu heboh, Arya justru semakin terganggu. Bukan oleh keriuhan tiga mahasiswi itu, melainkan sosok lelaki yang datang menggunakan motor ninja tersebut. Sambil menikmati nasi pecel, Arya terus mencoba untuk mengingat sesuatu, hingga akhirnya ingatan itu terjatuh pada satu masa.
Saat itu Arya masih berusia 8 tahun. Dia memiliki tetangga baru yang memiliki anak seusia Arya. Singkat cerita, mereka pun bersahabat. Ke mana-mana mereka selalu bersama. Baik pergi ke sekolah maupun pergi bermain. Setelah 3 tahun bersama, akhirnya mereka pun terpisah kembali karena sahabatnya itu harus ikut kedua orang tuanya yang pindah ke kota kelahirannya. Arya benar-benar kehilangan, saat nomor telpon sahabatnya itu tidak bisa dihubungi lagi.
Arya yakin lelaki itu adalah sahabatnya yang suka mengandalkan kekayaan orang tuanya.
Setelah nasi pecelnya benar-benar habis, Arya beranjak menuju meja di mana Dimas berada, lalu menyapanya meski dengan sedikit ragu. “Kamu Dimas, kan?” terdengar dengan jelas ada nada keraguan saat Arya bertanya kepada lelaki yang sedang menikmati secangkir kopi.
Dimas menoleh ke arah suara. “Iya, aku Dimas,” jawabnya kepada lelaki yang masih asing di matanya.
“Masih kenal gua, kan?” tanya Arya.
Dimas hanya diam. Dia mencoba untuk mengingat siapa gerangan lelaki yang logatnya berubah menjadi bahasa ala anak Jakarta. Siapa orang ini, batinnya.
Arya sangat yakin jika sahabat masa kecilnya ini sudah tak mengenalinya lagi lantaran Arya pun menyadari bahwa banyak perubahan pada dirinya. Penampilan Arya sudah 180 derajad berubah. Jangankan Dimas yang bertahun-tahun tidak bertemu dengan Arya, teman SD yang masih kerap bertemu saja kadang pangling melihat tampilan Arya yang sekarang.
“Sorry, aku bener-bener lupa. Siapa, ya?” tanya Dimas menyerah.
“Gua Arya. Temen lo waktu kecil. Inget?”
“Bentar.” Otaknya memutar kembali nama itu. “Arya Pondok Gede?”
“Iya, bener.”
“Arya yang waktu SD culun itu?”
“Ya, nggak usah diinget culunnya, kali.”
“Ah, nggak mungkin, deh kayaknya,” ucapnya masih tak percaya.
“Lah, masih aja nggak percaya, nih bocah.”
“Beneran kamu Arya?” tanya Dimas sekali lagi.
“Ya, elah. Lo Dimas anaknya Pak Prasetyo, kan? Dan nyokap lo namanya Bu Yuli, kan?”
“Ya, tapi nggak usah bawa-bawa nama orang tua, dong?”
“Ya, biar lo percaya kalau gua beneran Arya.”
“Ah, tai lo, Ar,” ucap Dimas yang akhirnya ketularan menggunakan logat bahasa ala anak Jakarta setelah yakin lelaki di hadapannya ini memang benar Arya, sahabat culunnya. “Eh, ngomong-ngomong gimana ceritanya lo bisa ada di sini?”
“Gua laper. Makanya gua ke sini,” jawab Arya yang sebenarnya tahu bukan jawaban seperti itu yang Dimas maksud.
“Ah, tai, lo. Bukan itu yang gua maksud.” Dimas berhenti sejenak. “Tapi emang bener juga apa yang lo bilang. Gua juga laper, makanya ada di sini.” Dimas pun tertawa kecil.
Setelah beberapa saat, mereka pun melakukan seremoni kecil untuk menyambut pertemuan mereka setelah sekian tahun tak bertemu.
Sambil menikmati kopi, mereka saling bercerita pengalaman hidup yang sudah terlewati sejauh ini. Arya juga tak luput menceritakan bagaimana dia bisa pindah kuliah di kota ini.
“Terus, gimana ceritanya lo bisa berubah keren kayak gini?” Dimas masih saja heran dengan perubahan yang terjadi pada Arya.
Arya kembali bercerita. Sejak kepergian Dimas, dirinya kembali menjadi bahan rundungan teman-temannya karena tak ada yang membelanya. Dari rundungan tersebut, Arya bertekad untuk berubah. Bahkan di kelas enam, dirinya sempat meminta untuk ikut les karate. Dan untuk penampilannya, Arya mencoba untuk mengikuti tren saat duduk di bangku SMA.
“Karate? Jagoan, dong lo sekarang?”
“Nggak juga, sih. Orang gua ikut karate Cuma sampe sabuk kuning doang karena di SMP gua sibuk banget sama ekstrakulikuler lainnya,” tutur Arya.
“Tai, lo. Gua kira udah sabuk item. Udah mau gua jadiin body guard gua tadi, eh ternyata ….”
Arya tertawa mendengar apa yang dikatakan Dimas. “Oh, iya. kalau lo gimana? Kayaknya jadi artis, ya? Tuh, tadi cewek-cewek pada heboh saat lo dateng.”
“Bukan artis, sih. Tapi emang gua banyak fans. Biasa orang ganteng dan tajir kayak gua pasti banyak cewek-cewek pada ngefans.”
“Terserah lo, dah. Urusan yang itu, sepertinya lo emang nggak berubah dari kecil.”
“Ya, habis gimana lagi? Emang kenyataannya kayak gitu, Bro.”
“Banyak pacar, dong?”
“Dulu waktu SMP sama SMA, iya. Gua akui, gua playboy waktu dulu. Secara cewek-cewek yang pada ngrebutin gua. Tapi sekarang enggak, gua udah insaf setelah ketemu sama satu cewek ini.”
“Bisa juga lo insaf. Jadi penasaran sama cewek lo, Dim.”
“Gua belum jadian sama cewek ini.”
“Tai. Gua kira udah jadian. Jadi lo insaf cuma gara-gara cewek yang belum lo dapetin?”
“Ya, gitu, lah.”
“Belum lo tembak, tuh cewek?”
“Gimana mau nembak, gua deketin aja susah. Cewek ini beda, nggak kayak cewek lainnya. Nggak mempan sama harta.”
“Mampus, lo!” ucap Arya mantap. “Jadi penasaran gua sama cewek ini.”
“Jangan penasaran, ntar malah ikutan jadi cinta. Jadi saingan kita.”
“Kagak, lah. Ngapain saingan sama temen sendiri. Kayak nggak ada cewek lain aja. udah gua ngalah aja.”
“Oke, siap. Terus gimana, tuh cerita lo sama si ….” Dimas memikirkan sesuatu. “Si Devi. Kalau nggak salah inget, pas gua mau pindah ke sini, lo ada rencana buat nembak dia pake puisi. Diterima?”
Seketika raut wajah Arya berubah. Dia tak menyangka jiak Dimas masih ingat dan menanyakan hal itu. Buku iyu akhirnya terbuka kembali.
★★★
“Dev, ini buat kamu.” Arya menjulurkan tangannya yang membawa secarik lipatan kertas.
“Apa ini?” tanya Devi.
“Baca aja nanti di rumah.”
Devi meraih lipatan kertas itu. “Nggak boleh dibaca sekarang, ya?"
“Ntar aja di rumah. Ini bentar lagi juga bel berbunyi.”
Benar. Tak lama setelah itu, bel sekolah berbunyi, tanda waktu istirahat telah usai. Mereka harus kemabli masuk kelas.
“Tuh, kan udah bunyi. Kalau gitu aku ke toilet dulu, ya,” pamit Arya. Sedangkan Devi pergi menuju ke kelas.
Tidak seperti biasanya, guru bernana Ratna ternyata sudah lebih dulu berada di dalam kelas. Ketika Devi berjalan menuju ke mejanya, tanpa sengaja dia menjatuhkan lipatan kertas pemberian Arya di dekat meja gurunya. Guru yang terkenal galak yang melihat benda itu jatuh pun memungutnya. Kemudian melihat tulisan yang ada di dalamnya.
“Arya, coba maju ke sini,” perintah Ratna setelah semua murid sudah berada di dalam kelas, termasuk Arya.
Awalnya Arya tidak mengerti mengapa dirinya disuruh maju ke depan. Dengan santai Arya pun berjalan ke depan dan berhenti di dekat meja gurunya.
“Ini kamu yang nulis?” tanya Ratna sambil memperlihatkan kertas itu.
Arya hanya melihat sekilas kertas yang ditunjukkan oleh ibu guru Ratna, tapi sudah cukup membuat dirinya panik. Bagaimana kertas itu bisa ada di tangan Bu Ratna, pikirnya sambil menahan malu.
“Cepat jawab, Arya!”
“I-iya, Bu. Itu saya yang nulis.”
“Puisimu bagus juga. Coba baca yang keras.”
Bagi Arya, kata ‘puisimu bagus’ itu bukanlah sanjungan atas sebegaimana puisi tertulis. Namun, Arya tahu, itu hanyalah kalimat sindiran saja.
“Ayo, cepat!”
“I-iya, Bu.” Dengan terpaksa Arya melakukan apa yang menjadi perintah gurunya.
Arya mulai membuka mulutnya, membaca tulisannya sendiri. Baru dapat satu baris, semua yang ada dalam kelas pun mulai menertawakannya.
Di mejanya, Devi hanya diam dan tertunduk saja. Mungkin ikut merasa malu karena mendengar apa yang tertulis di sana. Selain itu, Devi juga kesal kepada Arya karena telah mengutarakan cinta lewat puisi itu.
★★★
Setelah Arya selesai bercerita panjang lebar perihal yang Dimas tanyakan tadi, dirinya pun ditertawakan oleh sahabat yang baru bertemu kembali itu.
Sepertinya itu lelucon paling lucu yang pernah Dimas dengar. “Terus lo jadian sama Devi?” lanjut Dimas bertanya.
“Ya, kagak, lah. Orang Devi marah ma gua setelah itu,” jawab Arya mantap.
Dimas pun kembali tertawa, bahkan lebih puas. “Lagian aneh-aneh aja, lo. Nembak cewek pake puisi. Anak SD mana tahu sama yang namanya puisi. Kalo lo kasih dia boneka, mungkin Devi bakalan mau nerima. Nerima bonekanya maksudnya.” Dimas lagi-lagi tertawa. “Ah, ternyata sahabat gua udah bucin dari SD.”
Karena kesal, Arya pun seolah-olah menyumpahi Dimas. “Liat aja nanti. Lo bakal ngalamin apa yang gua alamin.”
“Hah? Apa? Maksudnya gua nembak cewek pake puisi, gitu? Nggak akan terjadi, Ar. Mending cari yang lain dari pada harus nembak cewek pake puisi. Malu-maluin aja. Lembek,” ucap Dimas penuh percaya diri.
“Oke, kita lihat aja nanti.”
Daftar Chapter
Chapter 1: Bab 1
1,119 kata
Chapter 2: Bab 2
1,683 kata
Chapter 3: Bab 3
1,359 kata
Chapter 4: Bab 4
1,539 kata
Chapter 5: bab 5
1,613 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!