')">
Progress Membaca 0%

Chapter 4: Bab 4

Deni Herly 15 Aug 2025 1,539 kata
GRATIS

Mobil Ayu melaju pelan melintasi Alun-alun Kidul lalu mengarah ke selatan. Setelah sampai di Plengkung Gading. Mobil Ayu belok ke kanan menuju Pojok Beteng Kulon. Dari sana, mobil kemudian belok lagi ke jalan Bantul. Mobil itu melaju lurus hingga perempatan Kasongan, Ayu membelokkan mobilnya ke arah barat menuju desa Gedongan, Bangun Jiwo.

“Ini kita sebenernya mau ke mana, to? Kok. Blusukan gini?” tanya Ing saat mobil Ayu beluk memasuki perkampungan yang masih asing baginya.

“Nanti juga tahu,” jawab Ayu masih merahasiakannya. Karena jika diberi tahu, sudah bisa dipastikan sahabatnya ini akan meminta putar balik secara paksa atau turun lalu memesan ojek online untuk pulang. Bisa gagal rencana ini nantinya, batin Ayu.

“Nggak biasanya kamu main rahasia gini? Biasanya kalau mau ke mana-mana juga bilang. Yu.”

“Kali ini biar surprise.”

“Tahu, kan kalau ulang tahunku udah lewat beberapa bulan lalu?”

“Iya, tahu. Kan, aku dateng juga ke acara makan-makan di rumahmu.”

“Terus kenapa sekarang kasih surprise gini?”

“Emangnya cuma ulang tahun aja yang pakai surprise gitu?”

★★★

“Udah dateng?” tanya Dimas lagi kepada temannya. Dari gerak-geriknya, Dimas terlihat sangat tidak sabar menanti satu orang itu.

“Belum,” jawab Andi sambil makan daging yang baru saja masak sebagai steak oleh koki itu.

“Ya, udah. Nanti kalau udah dateng kabari, ya. Aku mau ke kamar mandi dulu, arep ngising,” ucap Dimas santai. 

Asu, ngrusak selera makan aja.”

Sorry, Bro. Dilanjut makannya.” Dimas pun pergi meninggalkan temannya yang bernama Andi. “Tak ngising sek.”

★★★

Di halaman rumah yang jika dilihat lebih mirip villa itu, Ayu berhenti dan memarkirkan mobilnya. Di sana sudah ada beberapa mobil yang terparkir dengan rapi.

“Ini rumah siapa, Yu?” tanya Ing. “Eh, tapi ini rumah apa villa, sih?” Ing seolah-olah tidak yakin dengan kata ‘rumah’ yang tadi sempet terlontar dari mulutnya.

“Udah, ayo masuk dulu. Ntar juga tahu.”

“Dari tadi jawabnya gitu terus, ntar juga tahu, ntar juga tahu. Nggak ada jawaban lain apa?”

“Ya, udah aku ganti jawabannya.” Kemudian Ayu mendekatkan wajahnya ke wajah Jingga. “Mengko rak yo ngerti.”

“Halah, podo wae bin sama aja, Yu,” ucap Ing dengan nada kesal. Dia pun akhirnya terpaksa mengikuti langkah sahabatnya yang sudah terlihat memasuki halaman bangunan yang belum dia ketahui.

Setiap jejak langkah yang tercipta membuat rasa penasaran di dirinya semakin bertambah saja. Rasa penasaran yang akhirnya terhapus perlahan setelah Ing melihat sekumpulan anak muda yang sedang asyik menikmati suasana di sana. Ing mengenali beberapa dari mereka. Benar, mereka adalah anak-anak yang sering dia lihat di kampusnya. Namun, Ing belum bisa menyimpulkan bagunan ini, apakah benar rumah atau memang villa yang sengaja disewa untuk acara ini.

“Jangan bilang di sini ada Dimas,” ucap Ing kepada Ayu yang wajahnya sudah bercahaya karena melihat banyak makanan di depannya.

“Berharap ada Dimas, ya di sini?” balas Ayu. “Diem-diem kangen, ya?”

“Apaan, sih, Yu? Jadi bener di sini ada Dimas? Atau jangan-jangan ini rumah ….”

“Lagian kalau pun ada, nggak papa, kan?” ucap Ayu santai dan tubuhnya langsung ikut bergerak mengikuti irama musik DJ. 

Ada sesuatu yang seolah-olah membenarkan semua pertanyaan Ing. “Ah, kamu, Yu.”

“Udah santai aja. Nikmatin aja pesatanya. Aku yakin dia nggak bakalan macem-macem sama kamu. Tenang ada aku di sini.”

“Aku yakin kalau dia nggak bakal macem-macem, tapi kamu tahu sendiri, kan kalau aku males banget ketemu dengan orang yang nyebelin banget kayak dia.”

“Jangan bilang gitu. Sebel-sebel, nanti malah jatuh cinta baru tahu rasa kamu. Ingat, benci itu awal dari cinta.”

“Idih, amit-amit jabang bayi.” Lantas Ing memukul-mukul pelan kepalanya sendiri dengan kepalan tangan sebagai mitos atau kebiasaan agar perkataan itu tidak terjadi. 

★★★

“Halo, Bro. Gebetanmu dateng, nih,” suara Andi melalui sambungan telepon.

“Oke, siap. Ntar aku ke sana. Nanggung, nih. Taiku masih panjang,” balas Dimas yang memang suka bawa ponsel ke toilet untuk menemaninya dengan game.

“Ah, bener-bener ni orang. Nggak tahu orang lagi makan malah ngomongin tai. Ngrusak selera aja.”

“Perasaan dari tadi makan terus.”

“Tadi masih appetizer, Bro.”

Appetizer makan daging.”

“Mumpung ada, Bro.”

“Mau tambah lauk nggak, nih?”

Asu.”

“Haha.”

★★★

Ing lebih memilih untuk menyendiri di bangku taman yang berada paling jauh dari keramaian dari pada bergabung dengan yang lain dan berharap tidak ada Dimas di acara ini. 

“Wow, so beautiful,” takjub Ing setelah melihat apa yang terlihat di depan matanya itu. Pilihannya tepat. Dari bangku taman yang kini dia duduki, terlihat hamparan sawah yang begitu memanjakan mata. Keindahan yang begitu sempurna oleh sinar bulan purnama yang menyirami. Mungkin ini alasan mengapa bangku ini ada di sini, pikirnya yang terus mengagumi keindahan ini.

Kini Ing sangat menikmati tempat ini. Seakan-akan keriuhan acara itu lenyap seketika. Bahkan dia tak menyadari bahwa ada seseorang yang sudah berdiri di sampingnya. 

“Bagus, kan pemandangannya?” Kalimat itu mengejutkan Ing, sekaligus menyadarkan dirinya bahwa di sampingnya sudah ada lelaki yang tak diharapkan kehadirannya. Andai Dimas tak menyapanya, mungkin sampai nanti tidak akan menyadarinya. 

“Eh, kamu, Dim,” ucap Ing basa-basi. 

“Nggak ikut gabung sama yang lain di sana?” tanya Dimas kemudian.

“Nggak. Lebih nyaman di sini.” Satu kalimat yang akhirnya Ing sesali. Dia berpikir bahwa tak seharusnya kata-kata itu terlontar dari mulutnya.

“Kamu benar. Di sini sangat nyaman. Aku juga suka duduk di sini waktu sore. Kamu boleh, kok dateng ke rumahku kapan aja, terus duduk-duduk di sini sambil menimkati pemandangan yang indah seperti ini. Nanti pasti aku temani.”

“Eh, maksud aku untuk saat ini. Nyaman. Soalnya di sana terlalu bising buatku. Jadi nyaman di sini,” ucap Ing sekenanya.

“Sejak kapan musik seperti itu terlalu bising buatmu?” Dimas tahu bahwa sebenarnya Ing sedang salah tingkah. “Oh, iya. aku boleh duduk di sini juga, kan?”

Hal yang tak pernah Ing harapkan, akhirnya terjadi juga. “Boleh, silakan,” jawab Jingga yang tak mungkin melarang pemilik tempat ini untuk duduk di sini. Namun, dalam pikirannya, dia terus mencari alasan dan waktu yang tepat untuk bisa segera meninggalkan tempat yang kini tak seperti sebelumnya.

Bukan seperti selayaknya sepasang kekasih atau seorang teman yang sedang berbincang, tetapi di bangku itu justru terdengar seperti dua orang yang sedang melakukan sesi wawancara. Percakapan antara Dimas dan Ing tak lebih dari tanya-jawab seperlunya saja.

Ing tak lagi dapat menikmati pemandangan indah yang tadi sempat dia kagumi keberadaannya. 

“Oh, ternyata mojok di sini kalian berdua. Pantas aja aku cariin dari tadi nggak ketemu. Ah, ternyata. Ya, udah kalau gitu aku balik lagi ke sana. Maaf udah mengganggu quality time kalian berdua,” ucap Ayu yang tiba-tiba ada di sana.

Jelas kalimat itu membuat Ing merasa kesal. “Apaan, sih, Yu?”

“Nggak usah salah tingkah gitu kali, Say. Santai saja. Ya, nggak, Dim?”

“Makin ngawur aja kamu, Yu. Udah, ah, aku mau ambil minuman dulu.” Ing langsung beranjak pergi menuju meja prasmanan di mana tersedia banyak macam minuman. Mulai dari air putih sampai yang beralkohol juga ada.

“Lah, malah aku yang ditinggal di sini,” ucap Ayu yang akhirnya duduk juga di sebelah Dimas. “Gimana tadi, Dim?”

“Apanya?” tanya Dimas balik.

“Nembak Ing.”

“Belum.” 

“Lah. Kirain udah ditembak, tuh orang. Secara tempat udah roantis begini. Duduk cuma berduaan, masih aja belum ditembak. Terus ngapain aja dari tadi di sini?”

“Lah, kamunya keburu dateng.”

“Oh,” ucap Ayu tanpa merasa bersalah sedikitpun.

★★★

Ing mulai paham dengan acara yang dibuat oleh Dimas setelah sejak datang sampai saat ini tidak ada acara yang berarti selain hanya saling ngobrol satu sama lain. Semua orang yang ada hanya makan dan minum sepuasnya tanpa ada aturan yang berarti. “Dasar pamer.”

Maka Ing memutar otak untuk membuat Dimas tak melanjutkan apa yang dikatakan ketika dia sebelumnya berkata. “Ing, aku boleh ngomong sesuatu, nggak?”

Bertanya soal waktu yang akhirnya dipilih Ing meski sebenarnya tak masuk akal. “Eh, iya. Sekarang udah jam berapa, Dim?”

Dimas meraih ponselnya dan melihat waktu yang tertera di sana. “Sembilan lebih dikit, Ing. Kenapa emangnya?”

“Nggak papa, udah malam, aku harus pulang.”

Dimas mengerutkan dahinya. “Sejak kapan anak teater jam sembilan dibilang udah malem? Biasanya kalau latihan juga sampai tengah malem.”

“Ya … itu beda lagi,” ucap Ing. “Enjoy your party, Dim.” Tanpa banyak kata lagi, Ing segera pergi meninggalkan Dimas lalu menuju ke tempat Ayu berada.

Kali ini Ayu tidak bisa menolak ajakan pulang dari Ing. Ancaman Ing berhasil membuat Ayu menuruti apa yang dimau. Ayu takut jika Jingga pulang sendiri. Bukan karena apa-apa, tapi karena dia takut jika ibunya Ing marah melihat anaknya pulang sendiri, sedangkan perginya tadi dijemput.

Daftar Chapter

Chapter 1: Bab 1

1,119 kata

GRATIS

Chapter 2: Bab 2

1,683 kata

GRATIS

Chapter 3: Bab 3

1,359 kata

GRATIS

Chapter 4: Bab 4

1,539 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 5: bab 5

1,613 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!