')">
Progress Membaca 0%

Chapter 1: Suara Rintihan

Azizah Noor Qolam 29 Aug 2025 2,202 kata
GRATIS

“Ayolah, Kak. Kita pergi berkemah! Kakak tuh butuh refreshing. Jangan ngadepin kertas sama laptop terus. Kakak harus move on,” bujuk Syahnaz. Fatan masih fokus di depan laptop.

“Umi dan keluarga kita juga ada yang ikut kok,” bujuknya lagi. Ia tak akan menyerah, sampai kakaknya setuju untuk ikut. 

Sejak kematian Gendis dan putri kecilnya, Fatan menyibukkan dirinya dengan banyak pekerjaan. Ia Jarang berada di rumah. Terlalu banyak kenangan tentang Gendis hingga ia memilih untuk berlama-lama di kantor. 

Sungguh Syahnaz rindu pada sosok kakaknya yang dulu penuh semangat dan ceria. Tidak dingin bagaikan es seperti sekarang ini. 

“Ah, mungkin kalau Umi yang membujuk, Kak Fatan pasti mau ikut!” gumam Syahnaz yakin. Ia pergi meninggalkan ruangan kerja Fatan. 

Tak berselang setelah Syahnaz pergi. Pintu diketuk dari luar. Pintu perlahan terbuka menampakkan sosok wanita yang telah melahirkannya. 

“Nak, boleh Umi masuk?” Umi membuka pintu sedikit lebar.

Fatan tersenyum lalu menganggukkan kepala. Sejenak ia menghentikan pekerjaannya. Umi menghampirinya, lalu duduk di kursi depan berhadapan dengannya. 

“Nak, sampai kapan kamu akan seperti ini?” tanya Umi lirih. 

Bagi seorang ibu, kebahagiaan anaknya adalah nomor satu. Melihat sikap Fatan yang berubah semenjak ditinggal oleh istri dan anaknya. Membuat ia merasa sedih. Fatan berubah menjadi pendiam dan ia pun lebih suka berlama-lama di kantor dari pada di rumah.

“Entahlah Umi, rasanya sulit bagi Fatan untuk menerima kenyataan pahit ini. Fatan belum bisa membahagiakan Gendis dan bayi mungil kami, Klara.” Netra Fatan menatap dua sosok terkasih yang ada dalam bingkai foto di atas meja kerjanya.

“Gendis, sudah bahagia di sana. Malah ia akan sedih, jika melihat dirimu yang berubah seperti ini. Allah lebih menyayangi Gendis, hingga Gendis harus dipanggil lebil dulu. Masa depanmu masih panjang, Nak,” lirih Umi.

Matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya sakit melihat Fatan begitu rapuh. “Kamu sayang sama Umi, ‘kan?”

Fatan beranjak dari tempat duduknya, lalu ia bersimpuh di depan Umi.

“Fatan sangat menyayangi Umi. Lebih dari menyayangi diri Fatan sendiri. Maafkan Fatan.” Buliran bening berjatuhan dari kedua matanya. Ia menangis di pangkuan wanita yang paling dicintai.

“Umi sakit melihatmu seperti ini! Siang-malam bekerja tanpa kenal waktu. Tidak mau berlama-lama di rumah. Apa kamu tak merindukan umimu ini?” 

“Maafkan Fatan, Umi. Maafkan!”

Fatan semakin tenggelam dalam tangisnya. Keegoisannya, ternyata sudah melukai Umi. Ia terlalu larut dalam kesedihan. Tanpa memikirkan orang-orang terdekat yang rindu dengan sikapnya yang dulu. 

“Pintu maaf Umi, selalu terbuka untukmu.” 

Umi mengelus-elus rambut Fatan yang hitam legam agak ikal. Fatan mendongakkan wajah, menatap wajah teduh Umi. Ia pun memeluk Umi. Tanpa mereka sadari, Syahnaz mengintip di balik pintu. Tangannya menghapus air mata yang hendak jatuh dari sudut matanya.

Sebentar lagi, ia akan melihat sang kakak yang kembali seperti dulu.

“Sekarang, Umi punya satu permintaan. Apa kamu mau mengabulkannya?” Umi melepas pelukan Fatan. 

“Apa itu Umi?” 

“Saudara-saudaramu, Umi dan Syahnaz akan berkemah. Umi mau kamu ikut.”

“Tapi, Umi—” Belum sempat ucapannya selesai. Umi memotongnya.

“Tak ada tapi-tapian. Kamu ambil cuti tiga hari, lalu cepat kemasi barang-barang yang akan kamu bawa. Kali ini, tak ada penolakan!” tegas Umi. “Umi, tunggu di depan!” 

Akhirnya Fatan pun ikut. Umi termasuk wanita yang tegas dan teguh pendirian. Jika ia sudah memerintahkan sesuatu, maka tak ada alasan untuk anak-anaknya menolak. Memang terlihat egois, tetapi Umi melakukannya demi kebaikan mereka. Alasan di balik perintah Umi ini pun agar ia rehat sejenak dari tumpukan berkas yang kadang membuat jenuh. Mungkin memang inilah saatnya untuk me-refresh otaknya. 

Umi keluar dari ruang kerja putranya. Syahnaz yang melihat Umi berjalan ke arah pintu, langsung menghadangnya. Kemudian memberi pelukan.

“Terima kasih, Umi sudah membujuk Kak Fatan? Syahnaz rindu Kak Fatan yang dulu!” 

Tiga buah mobil, memasuki kawasan perkemahan di daerah Cikajang, kabupaten Garut. Setiap mata memandang hanya ada hamparan kebun teh yang menghijau. Membuat mata sejuk dan rileks. Mereka sudah menyewa tempat ini, karena memang sering dipakai anak-anak sekolah untuk berkemah. 

Suasana di Wanagiri, memang cocok sekali untuk berkemah. Jauh dari pemukiman penduduk. Membuat kita benar-benar hidup di alam terbuka, dan bagus untuk melatih ke mandirian. 

Mobil sudah terparkir di lapangan. Saat turun dari mobil, mereka di sambut dengan hawa dingin yang menusuk tulang. Padahal mereka sampai di sini, pukul 01.00 siang. Mungkin karena banyaknya pepohonan dan tanaman teh yang mengeluarkan oksigen. Hingga udara di sini begitu sejuk sekaligus dingin. Syahnaz merapatkan jaketnya. Satu per satu saudaranya, mengeluarkan tenda dari mobil. 

Rencananya, di sini akan didirikan tiga tenda besar dan satu tenda kecil. Tenda besar digunakan untuk tempat tidur wanita, laki-laki, dan satu lagi untuk persediaan pangan dan perlengkapan lainnya, sedangkan tenda kecil khusus untuk yang piket berjaga malam.

“Woy, dokter muda! Bantuin napa? Berat nih tahu!” teriak Joko pada Syahnaz yang sedang menikmati pemandangan. 

“Nggak usah teriak-teriak kali! Telinga aku masih normal,” sungut Syahnaz. “Mana yang mesti aku bawa?” 

“Noh, bawa tenda besar satunya. Terus ikuti aku!” Joko menunjuk sebuah tenda yang ada di samping mobil dengan dagu. Lalu melangkahkan kaki ke lokasi yang akan dibangun tenda. 

Syahnaz mencibir ke arah Joko. “Dasar, Joko Tingkir! Awas aja, kalau sakit nggak bakalan aku periksa!” 

Syahnaz mengambil tenda besar dan berjalan mengikuti Joko. Empat orang membantunya, membangun tenda besar untuk laki-laki, sedangkan Syahnaz dan tiga orang ladies, membangun tenda khusus mereka. Jumlah orang yang berkemah delapan belas orang. Sudah termasuk, Umi, Om Andre dan Tante Hani. Para orangtua, entah ke mana. Mungkin mereka sedang berjalan untuk menghirup udara segar. 

Setelah tenda pria sudah jadi, Fatan duduk di atas sebuah batu. Ia menyunggingkan senyum. Tak menyesal ia mengambil cuti tiga hari dan ikut berkemah. Setidaknya, hatinya sedikit terobati. Joko menghampiri dan menepuk pundaknya. 

“Bro, Lu cape enggak?” Tanpa permisi, ia duduk di samping Fatan. 

Fatan menoleh. “Enggak, emang kenapa?”

“Lu, mau nggak nyari kayu bakar di sekitaran sini atau mungkin menyusuri perkebunan teh. Buat api unggun kita nanti malam.”

“Oh, boleh.” Fatan berdiri sambil membersihkan celana dari debu. 

“Lu berani sendiri, ‘kan? Enggak perlu ditemani?” Joko nyengir. Ia malas jika harus menemani Fatan. 

“Berani, tenang aja!” sahut Fatan,”Lu punya senter enggak?”

“Punya. Sebentar gua ambil dulu di dalam tenda!” Joko berjalan menuju tenda, mengambil senter lalu kembali ke tempat Fatan berada. 

“Nih!” Joko menyerahkan senter, Fatan menerimanya. “Hati-hati ya, Bro!” 

Fatan berjalan sambil mengacungkan jempol. Kakinya tak sengaja menginjak seutas tali, ia memungutnya. Lumayan bisa digunakan untuk mengikat kayu bakar nanti. 

Sepanjang ia berjalan, hamparan kebun teh memanjakan matanya. Sejuk dan damai. Saking menikmati hasil karya Allah yang Maha Kuasa. Tanpa Fatan sadari, ia sudah berjalan jauh. Hingga tiba di sebuah tempat yang di penuhi dengan pohon-pohon tinggi. Ya, ia sampai di hutan. 

Di sana agak gelap, ia menyalakan senter yang dipegang tangan kanan, sedangkan tangan kirinya membawa kayu bakar yang sudah dikumpulkan sepanjang jalan. Fatan terus berjalan, mengikuti kemana kakinya melangkah. 

Sementara itu, di perkemahan. Orang-orang menantinya dengan cemas. Malah Joko dan Om Andre berinisiatif untuk mencari Fatan.

“Tolooong ...!” 

Fatan mendengar suara seseorang meminta tolong. Namun, ia tak tahu dari mana asalnya. Ia menajamkan pendengarannya sambil mencari sumber suara, tetapi suara itu tak terdengar lagi.

“Ah, mungkin aku salah dengar,” gumamnya. Matanya terbelalak saat melihat jam di pergelangan tangannya yang telah menunjukan pukul lima sore. “Wah, sudah sore. Pasti Orang-orang di perkemahan sedang menunggu.”

Fatan berniat untuk balik arah, kembali ke tempat perkemahan. Namun, tiba-tiba suara itu terdengar lagi. Ia mencoba mempertajam pendengarannya lagi. 

“Tool ... tolooong!”

Fatan mencari sumber suara tersebut. 

“Tolooong!” Suara itu terdengar semakin dekat, kini bercampur dengan rintihan kesakitan. Hingga sebuah tangan muncul dari semak-semak, memegang kaki Fatan. 

“Astaghfirullahaladzim.” Fatan terkejut. Ia melepaskan kakinya dari genggaman tangan itu. Karena penasaran, Fatan meletakkan kayu bakar dan mendekati semak-semak. 

Matanya terbelalak, di sana ada seorang wanita denga baju yang terkoyak di mana-mana. Fatan langsung melepas jaket dan menyelimuti tubuh wanita itu, lalu membopongnya. Namun, ia terkejut saat banyak darah yang keluar dari kakinya. Wanita ini harus segera mendapatkan pertolongan. 

Fatan membopongnya dan berjalan dengan cepat. Jalan yang lumayan terjal sedikit mempersulit langkahnya, apalagi dengan cahaya senter yang tidak terlalu terang untuk menerangi jalan lantaran ia selipkan di tangan kiri.

Dari arah depan, Fatan melihat dua buah cahaya. Kedua netra, ia pejamkan karena silau sambil menelisik siapa mereka berdua. Setelah jarak mereka sudah dekat, ternyata mereka adalah Joko dan Om Andre. 

“Astaghfirullah, Fatan siapa yang kamu gendong itu?” Om Andre terkejut, kedua netranya beralih pada cairan warna merah yang menetes di tangan kiri keponakannya itu.”Apa yang terjadi?” 

“Fatan tidak bisa menjelaskan sekarang. Wanita ini harus segera mendapatkan pertolongan.” Fatan mempercepat langkah, bahkan ia sampai lupa pada kayu bakar yang diletakan begitu saja di lokasi di temukannya wanita itu.

Joko tak bersuara, ia syok. Joko dan Om Andre menyoroti jalanan yang mulai gelap dengan senter untuk mempermudah Fatan berjalan. 

Dari kejauhan, tiga tenda yang di dirikan sudah mulai nampak. Untuk penerangan, terpaksa mereka membuat lilin dari minyak kelapa dan tisu. Caranya, minyak kelapa di simpan di piring. Lantas tisu, dipelintir-pelintir agar bagian tengahnya berbentuk muncung. Kemudian di masukkan ke dalam minyak yang ada di piring, dengan membiarkan bagian yang muncung, muncul di permukaan. Setelah itu baru api bisa menyala. Ditambah dengan lampu yang bisa dicas.

Langkah mereka bertiga semakin dekat ke tenda, Fatan berjalan semakin cepat. Ia takut terjadi sesuatu karena wanita ini mengeluarkan darah yang cukup banyak. 

“Syahnaz ... Syahnaz!?” teriak Fatan memanggil adiknya yang seorang dokter. 

Syahnaz keluar dari tenda, diikuti Umi dan Tante Hani. Melihat Fatan menggendong seorang wanita, juga darah yang ada di tangan kirinya. Ia langsung berlari menghampiri sang kakak. 

“Apa yang terjadi? Siapa wanita ini, Kak?” tanya Syahnaz. 

“Jangan banyak bertanya dulu! Lebih baik kamu segera memeriksanya, sepertinya ia sudah kehilangan banyak darah.” 

“Ayo, bawa ke tenda kecil. Peralatan Syahnaz ada di sana!” Fatan berjalan mengikuti Syahnaz. 

Syahnaz membuka tenda, Fatan masuk lalu membaringkan wanita itu di sana. Ia mulai mengeluarkan stetoskop dan alat tensi. Lalu ia memeriksa wanita itu.

Selagi menunggu Syahnaz memeriksa wanita itu, Fatan meninggalkan tenda untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian yang terkena darah.

Denyut nadi wanita itu, melemah. Syahnaz pun mencari daerah mana yang mengeluarkan darah. Hingga ia mengarah ke selangkangan di daerah vagina wanita itu, terlihat sedikit robekan. Syahnaz mengepalkan tangan.

“Biadab!” umpat Syahnaz marah. Ia kaget saat mengetahui bahwa orang yang ditolong kakaknya adalah korban pemerkosaan. Sepertinya pria yang memperkosanya melakukannya dengan brutal. Di bagian wajahnya ada luka lebam dan beberapa luka di tangan dan kaki. Wanita tersebut harus segera mendapatkan pertolongan dari rumah sakit. Syahnaz keluar dari tenda, lalu mencari keberadaan Fatan. 

“Umi, mana Kak Fatan?” Kebetulan Umi berada di dekat tendanya. 

“Fatan sedang mengganti baju di tenda pria. Apa yang terjadi, Nak?” Umi terlihat cemas. 

“Kita harus cepat melarikannya ke rumah sakit atau puskesmas. Syahnaz tidak bisa menghentikan darahnya keluar. Lukanya perlu dijahit. 

Fatan yang melihat Syahnaz dan Umi mengobrol menghampirinya di belakang Joko dan beberapa orang mengikutinya. Mereka ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. 

“Sya, bagaimana?” 

“Cepat siapkan mobil Kak! Kita harus segera membawanya ke rumah sakit atau puskesmas terdekat.”

Tanpa banyak bertanya Fatan berlari ke arah mobil dan memanaskan mesin, sedangkan Syahnaz, Umi dan Tante Hani masuk ke dalam tenda. Tak lama kemudian, Umi keluar lagi dari tenda, meminta Joko untuk mengambilkan baskom yang berisi air hangat dan juga lap. Joko mencari baskom di bagian perlengkapan dapur, lalu menuangkan air termos di tambah air dingin. Jarinya dimasukkan ke dalamnya. Setelah merasa sudah hangat, ia menyambar lap yang tergantung pada sebuah tiang kayu, kemudian memberikannya kepada Umi. 

Umi menerimanya, lalu kembali masuk ke dalam. Ia membersihkan wajah wanita itu dengan lembut. Hingga saat ia menyingkap rambutnya yang tergerai. Netranya tertuju pada dua kalung di lehernya. Kalung berbentuk hati dan salib. 

Setelah bagian wajah dan tangan selesai di bersihkan. Sekarang bagian kaki yang nampak noda darah. Umi merasa ngilu saat melihat, luka robekan yang di maksud Syahnaz. Wanita itu sudah bersih. Dengan perlahan Umi melepas pakaian wanita itu, lalu menggantinya dengan yang bersih dan layak untuk dipakai. Tante Hani hanya menatapnya saja, tak berani melihat secara langsung. 

“Sya, mobil sudah siap!” Fatan menyembulkan kepala di tenda itu.

“Baik, kita berangkat sekarang! Kakak tolong gendong dengan pelan-pelan, ya! Lukanya lumayan parah.” Syahnaz mengintruksikan sang kakak. Meskipun sikapnya terkadang konyol dan pecicilan. Namun, jika ia sudah berhadapan dengan pasien, sikapnya berubah serius dan total dalam melayani para pasiennya. 

Fatan pelan menggendongnya, pakaian wanita itu sudah di ganti. Netra Fatan memindai setiap lekuk wajah pucatnya. Namun, meski telihat pucat, ia tetap cantik. 

Sesampainya di parkiran mobil, Syahnaz sudah duduk di bagian belakang. Fatan sengaja tidak menguncinya. Fatan masuk ke jok belakang, lalu meletakkan kepala wanita itu di pangkuan Syahnaz. Kemudian menutup pintunya.

“Fatan, apa Umi boleh ikut?” Umi berharap diizinkan untuk ikut. 

“Sebaiknya, Umi di sini saja! Biar Fatan dan Syahnaz yang mengurus wanita itu,” ujar Fatan, lalu kedua netranya memandang Om Andre dan Tante Hani yang ada di belakang Umi.

“Om, titip Umi, ya!” pintanya.

“Pasti Fatan. Kamu tenang saja,” jawab Om Andre.

“Terima kasih. Kami pergi dulu," ucap Fatan. 

“Hati-hati. Jika ada apa-apa hubungi Om!” pintanya. 

Fatan menganggukkan kepal, lalu berlari kecil ke arah pintu kemudi. Ia masuk ke dalam dan menyala mesin. Mobil berwarna hitam itu pun melaju meninggalkan hamparan kebun teh.

 

 

 

Chapter Sebelumnya
Chapter 1 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Suara Rintihan

2,202 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 2: Berkejaran dengan Waktu

1,200 kata

GRATIS

Chapter 3: Sebuah Nama

1,177 kata

GRATIS

Chapter 4: Pindah Keyakinan

1,246 kata

GRATIS

Chapter 5: Menikah

1,361 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!