')">
Progress Membaca 0%

Chapter 5: Menikah

Azizah Noor Qolam 08 Sep 2025 1,361 kata
GRATIS

Fatan tak bisa menyaksikan Safitri mengucapkan dua kalimat syahadat dengan alasan sibuk dengan pekerjaan. Ia terpaksa berbohong pada keluarganya karena ingin memberikan sebuah kejutan. Sebelumnya itu, ada hal yang harus dilakukannya terlebih dulu. 

 

Di sinilah Fatan berada, di sebuah kafe di sekitar Tanah Abang. Ia sedang menunggu seseorang dengan harap-harap cemas. Sebab sulit sekali membuat janji bertemu dengannya lantaran jadwalnya sangat padat.

 Fatan langsung berdiri saat kedua matanya melihat kedatangan seseorang yang baru membuka pintu. Orang itu melihat ke setiap sudut kafe. 

“Om Faris!” Fatan memanggil sambil melambaikan tangan. Orang yang dipanggil Om Faris itu langsung melangkah menuju meja Fatan. 

“Assalamualaikum, Fatan. Bagaimana kabarnya?” tanya Om Faris mengulurkan tangan. Fatan menerima uluran tangannya.

“Alhamdulillah sehat. Bagaimana kabar Om sendiri?” Fatan balik bertanya. 

“Alhamdulillah. Ada apa nih, pengen ketemu sama Om?” tanpa basa-basi Om Faris langsung pada inti pertemuan. Ia duduk di kursi saling berhadapan dengan Fatan.

“Gimana ngomongnya, ya?” Fatan bingung memulai dari mana. Rasa segan membuat apa yang ingin ia bicarakan buyar seketika. 

“Santai aja, Fatan! Jangan tegang gitu!” Om Faris melihat raut wajah Fatan yang berubah tegang.

“Hee, he.” Fatan nyengir menampakan deretan gigi putihnya. “Eh, aku pesankan minuman ya, Om.” 

Fatan memanggil pelayan, seorang pelayan wanita menghampiri dan menyerahkan daftar menu. Om Faris memilih minuman dan juga camilan. Jus mangga dan juga puding coklat yang menjadi pilihannya. Pelayan itu pun mohon diri untuk menyiapkan pesanan. 

“Jadi, ada apa ni?” Om Faris kembali bertanya. 

“Gini, Om. Aku ingin menikahi wanita." Akhirnya, Fatan bisa mengutarakan keinginannya. 

“Wah, sudah move on dari Gendis, nih. Om penasaran siapa yang sudah bisa meluluhkan kutub es ini.” 

“Namanya Safitri. Tepatnya, aku dan keluargaku memanggilnya Safitri.”

Dahi Om Faris berkerut. “Maksudnya gimana?”

“Apa Om Andre pernah mendengar cerita tentang seorang wanita yang kami temukan saat berkemah?” Fatan memancing ingatan Om Faris. 

Om Faris mengingat-ingat. “Oh iya. Andre pernah cerita sama Om.”

“Dan sekarang wanita itu, tinggal bersama keluargaku karena ingatannya hilang. Sampai saat ini ia masih belum ingat,” jelas Fatan.

“Wanita itulah yang ingin Fatan nikahi.”

“Kamu sedang tidak bercanda, ‘kan? Kita nggak tau asal-usul wanita itu bagaimana? Apakah ia sudah menikah atau belum? Kamu sudah pernah lapor polisi?”

Fatan menggelengkan kepala. Ia tak ada niat untuk melaporkan kasus Safitri ke ranah hukum. Dalam diri Safitri ada semacam magnet yang mampu menarik diri Fatan dalam pesona wanita itu. 

“Fatan sudah jatuh cinta sejak pertama kali melihatnya." Fatan mengakui perasaannya. 

“Kamu serius? Jika suatu terjadi saat ingatannya kembali dan kenyataan bahwa ia adalah istri orang, bagaimana?”

“Entahlah Om, aku tidak tahu. Safitri sudah dua bulan tinggal di rumahku. Aku takut, tak bisa mengendalikan diri.” 

Sebenarnya Fatan malu mengutarakan isi hati dan kecemasannya selama ini. Namun, jika ia tak menghalalkan Safitri, lambat Laun akan menjadi fitnah juga. Setidaknya dengan adanya ikatan yang resmi, hal tersebut bisa diredam.

“Lalu, apa yang bisa Om bantu?” tanya Om Faris sambil meneguk jus mangga yang baru di letakan oleh pelayan di hadapannya.

“Om, bisa membantu Fatan untuk mengurus identitas Safitri?”

“Okay. Om bisa bantu kamu? Tapi, hanya satu yang Om takutkan, jika suatu saat ingatan Safitri kembali dan ternyata ia istri orang. Kamu siap untuk melepaskannya?” 

“Insya Allah aku siap Om!” Fatan meyakinkan dirinya, meskipun hatinya gamang. 

“Baiklah. Om akan urus semuanya. Rencana kapan kamu akan menikah?” 

“Minggu depan, gimana Om?” 

“Om akan segera urus semuanya. Nanti biar Om yang jadi wali hakim untuk Safitri. Om akan mengadopsinya ke dinas sosial. Kamu tenang saja, Insya Allah semua beres.” Om Faris melirik jam di pergelangan tangannya. Pukul tiga Sore, ia harus segera pulang. Karena ia akan kedatangan tamu. 

“Apa ada hal yang lain? Om harus segera pulang, akan ada tamu yang ingin bertemu dengan Om.” Om Faris melambaikan tangan pada pelayan caffe, meminta bon pembayaran. Pelayan itu menghampiri sambil menyerahkan secarik kertas.

“Om, biar Fatan yang bayar,” sahut Fatan, ia merogoh dompet yang ada di saku celananya. 

“Enggak apa-apa. Biar Om yang bayar.” Om Faris menyerahkan tiga lembar uang merah.

“Kembaliannya, ambil saja!” 

Fatan merasa tak enak hati, harusnya ia yang membayar makanan Om Faris. Ini malah sebaliknya, Om Faris pamit pulang duluan. Kini tinggal Fatan yang berada di sini. Senyum tak lepas dari bibirnya. Sekarang tinggal membeli cincin untuk melamar Safitri sekaligus memberitahu Umi dan Syahnaz tentang niatnya menikahi Safitri.

Fatan sampai di rumah tepat pukul 08.00 malam. Ia masuk ke dalam tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kedua netra lelaki itu melihat pemandangan yang membuat hatinya membuncah bahagia. Apa sekarang waktu yang tepat untuk mengutarakan niat tulusnya. 

Umi, Safitri dan Syahnaz sedang berkumpul di ruang makan. Topik tentang Islam yang menjadi perbincangan mereka bertiga dan Safitri banyak mengajukan pertanyaan. Umi dan Syahnaz menjelaskan setiap pertanyaan dengan sabar dan rinci. 

Fatan mengucapkan salam dan bergabung dengan tiga bidadari yang sedang asyik berbincang. Serempak mereka menjawab salamnya. Kemudian Fatan mengucapkan selamat kepada Safitri yang telah menjadi muslim seutuhnya. 

Fatan menghela napas. “Mumpung kalian sedang berkumpul di sini. Aku ingin menyampaikan sesuatu!”

“Mau ngomong apa sih, Kak? Kayaknya serius,” tebak Syahnaz. 

“Umi, A-ku ... hmmm, aku ....” Fatan terbata bahkan tak sanggup melanjutkan bicaranya karena rasa gugup yang muncul. 

“Ada apa, Nak?” tanya Umi.

“Aku ... ingin menikahi Safitri,” Fatan mampu juga mengutarakan keinginannya itu. 

“Kamu serius, Nak? Tapi Safitri belum pulih ingatannya?” 

“Umi, tenang saja Om Faris sudah mengurus semuanya. Ia akan mengadopsi Safitri menjadi anak angkatnya.” 

Fatan tahu, Umi sangat khawatir dengan status Safitri karena kondisi ingatan belum kembali. Umi sempat menolak, namun karena keteguhan dan kegigihannya. Akhirnya Umi luluh juga dan merestui niatannya. Kini tinggal menunggu jawaban dari Safitri.

“Bagaimana Safitri? Apa kamu bersedia menjadi istriku?” Jantung Fatan berdetak cepat. Raut wajahnya nampak tegang. 

“Aku-aku-bersedia, Mas.” Safitri menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang merona merah karena malu.

Perlakuan dan perhatian Fatan selama ini menumbuhkan benih-benih cinta di hati Safitri. Ia tak berani mengungkapkan hal tersebut, baginya wanita pantang untuk menyatakan cinta. Lagi pula keluarga Fatan sudah banyak berjasa dalam hidupnya. 

Fatan mendekat lalu merogoh sesuatu dari saku jas. Sebuah kotak beludru ukuran kecil, berwarna merah kini berada di genggaman. Ia membukanya, lalu meraih tangan Safitri. Cincin polos yang di kelilingi permata, Fatan sematkan di jemari manis Safitri. 

Syahnaz terharu, setelah dua tahun ditinggal Gendis. Baru kali ini, Ia melihat sang kakak begitu bahagia. Syahnaz sempat tak setuju karena takut Fatan terluka saat tahu kenyataan yang sebenarnya. Namun, saat melihat kedua netra kakak yang berbinar bahagia, ia pun ikut bahagia.

Waktu bergulir dengan cepat, persiapan demi persiapan sudah hampir rampung. Rumah Fatan sudah dihias begitu indah. Sebagian sanak saudara Umi telah hadir. Mereka menginap di rumah ini, termasuk Om Andre dan Tante Hani. 

Mereka berdua terus saja menggoda Safitri hingga ia tersipu malu. Entah kenapa, saat dekat dengan Safitri, akal sehatnya seakan hilang. Bahkan ia sudah bisa ngegombal. Syahnaz sampai tertawa melihat tingkah lakunya yang seperti bucin.

Hari pernikahan tiba, Om Faris selaku wali hakim dan yang mengurus segala sesuatu mengenai identitas Safitri telah datang sebelum acara dimulai. 

Fatan sudah duduk di depan penghulu, sedangkan Safitri masih di rias di kamarnya bersama Syahnaz dan Umi. Om Faris sudah duduk di dekat penghulu. Meskipun ini adalah ijab kabul yang kedua, tetap saja ia merasa gugup. Keringat mengalir di dahi, beberapa kali ia menghapusnya dengan tisu yang sengaja disimpan di saku jas hitamnya. 

Acara demi acara dimulai dengan khidmat, hingga tiba saat yang dinanti-nanti. Ijab kabul. Om Faris menjabat tangan Fatan lalu mengucapkan kalimat ijab, kemudian langsung disambung dengan kalimat kabul dari Fatan. Hanya satu tarikan napas, Fatan berhasil mengucapkannya dengan lancar.

Para saksi yang hadir di sana langsung berteriak mengatakan kata ‘sah’ lalu dilanjutkan dengan doa keberkahan bagi kedua pasangan yang kini telah resmi menjadi suami istri. Safitri dibantu Umi dan juga Syahnaz, keluar dari kamar dengan menggunakan kebaya putih dibalut hijab yang menutupi mahkotanya sampai ke dada. 

Kedua mata Fatan terpaku pada pengantin wanita yang begitu cantik dengan riasan naturalnya. Akhirnya pria yang terkenal dingin telah melabuhkan hatinya pada sosok wanita yang ia tak tahu asal usulnya. Jika saja ia tak mengabulkan keinginan Umi untuk ikut berkemah, ia tak akan bertemu dengan Safitri. Mungkin inilah yang disebut dengan takdir.

Chapter Sebelumnya
Chapter 5 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Suara Rintihan

2,202 kata

GRATIS

Chapter 2: Berkejaran dengan Waktu

1,200 kata

GRATIS

Chapter 3: Sebuah Nama

1,177 kata

GRATIS

Chapter 4: Pindah Keyakinan

1,246 kata

GRATIS

Chapter 5: Menikah

1,361 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!