Chapter 4: Pindah Keyakinan
Safitri sudah dua bulan tinggal bersama keluarga Fatan. Hatinya merasa tenang dan damai karena berada di tengah-tengah keluarga yang taat beribadah. Setiap hari Umi selalu melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman umat Islam.
Agama yang Safitri anut berbedadengan Umi. Sebab pada saat ia ditemukan, di lehernya ada kalung salib dan sebuah liontin. Karena keberadaan kalung salib itulah ia pasti beragama Kristen.
Selama dua bulan, tak ada siapa pun yang mencari keberadaan Safitri. Ia juga belum bisa mengingat apa-apa. Pertama kali, ia menginjakkan kaki di rumah ini. Umi menyambut kedatangannya dengan wajah cerah dan penuh kebahagiaan. Perempuan paruh baya itu tak pernah menganggapnya sebagai beban atau orang asing. Malah sebaliknya, ia diperlakukan seperti anak kandung Umi sendiri.
Safitri duduk di meja rias sambil menyisir rambut panjangnya. Untuk sementara, ia menempati sebuah kamar di dekat ruang tamu.
Umi datang ke kamar Safitri dengan membawa paper bag yang berisi pakaian. Ia sengaja membelikan beberapa pakaian baru untuk Safitri dan pakaian yang sudah lama tak dipakai lagi oleh Syahnaz. Namun, masih layak dipakai. Kehadiran Safitri merupakan anugerah baginya karena ia hanya tinggal berdua dengan putranya, Fatan. Sedangkan, Syahnaz memilih indekos di dekat rumah sakit tempatnya bekerja agar mempermudah jika sewaktu-waktu ada pasien yang melakukan operasi secara mendadak.
Adzan magrib berkumandang, Safitri mendengarkannya dengan khitmad. Lantunan indah dari speaker masjid, membuatnya terhanyut. Hingga dari kedua matanya keluar bulir-bulir bening. Ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa didefinisikan dengan kata-kata. Ia menggapai tongkat, lalu berjalan keluar kamar menuju sebuah ruangan yang Umi jadikan tempat beribadah.
Sampai di ruangan itu, Safitri tak langsung masuk. Ia berdiri di ambang pintu. Menunggu hingga Umi menyelesaikan ibadah Salat Magrib. Andai matanya bisa melihat, ia ingin tahu, bagaimana cara Umi beribadah dan seperti apa kitab yang selalu Umi baca setiap hari?
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” Umi mengakhiri Salat Magrib dengan mengucap salam dan menoleh ke kiri dan ke kanan. Tanpa menyadari kehadiran Safitri, ia langsung membaca dzikir.
Selesai dzikir saat Umi akan mengambil Al-Quran. Ia merasa ada yang berdiri di ambang pintu. Matanya menoleh ke arah sana. Ternyata benar dugaannya, Safitri berdiri di sana. Ia mengambil Al-Quran dan melangkah mendekati Safitri.
“Fitri, kenapa berdiri saja di sana? Ayo masuk!” ajak Umi sambil menghampiri Safitri dan menuntunnya untuk duduk bersamanya.
“Terima kasih, Umi,” lirih Safitri.
“Sejak kapan kamu berdiri di sana?” tanya Umi basa-basi
“Dari sejak Umi salat," aku Safitri.
“Padahal, kamu langsung masuk saja tadi. Sebentar Umi tadarus dulu!”
Umi membuka Al-Quran, membaca surat Ar-Rahman. Sebuah Surat yang membahas tentang nikmat yang Allah SWT berikan kepada makhkuk-Nya. Dari mulai penciptaan manusia hingga penciptaan alam semesta, seperti matahari dan bulan yang beredar melalui porosnya, langit yang tinggi, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan banyak lagi.
Betapa kasih sayang Allah begitu indah tertuang dalam kalam-Nya. Hingga tak mampu kita menghitungnya satu per satu. Jadi tugas manusia hanyalah selalu bersyukur dan tidak mendustakan segala yang Allah takdirkan dalam hidup kita.
“Fabiayyi aalaaai rabbikumaa tukadz-dzibaan.” Setiap Umi mengulang ayat ini, air mata
mengalir. Ia terisak. Selama ini, Ia merasa masih kurang bersyukur dan ikhlas.
Surat inilah yang membuat Umi kuat saat sang suami menceraikannya dan memilih menikah dengan istri bekas adiknya. Masih banyak nikmat yang Allah SWT berikan untuknya. Mungkin ia ingin menaikkan derajatnya dengan cara memberikan suaminya pada wanita lain. Sakit memang, tetapi ia harus menerima kenyataan dan belajar untuk mengikhlaskan semuanya.
Tak hanya Umi yang berurai air mata. Safitri yang berada di sampingnya pun ikut menitikan air mata. Umi melanjutkan bacaan dengan suara agak serak.
“Shadaqallahuladzim.” Umi menyudahi bacaan dan menutup Al-Quran. Ia menghapus air mata dengan kedua tangannya. Lalu netranya menatap Safitri yang ikut menghapus air matanya juga.
“Kenapa kamu menangis?”
“Umi ... Umi ....” Lidah Safitri tiba-tiba kelu. Tak bisa melanjutkan perkataannya.
“Ada apa, Nak?” tanya Umi cemas. “Bicaralah!”
Umi memeluk Safitri sambil membelai rambut panjang hitamnya. Safitri belum bisa berkata, tangisnya tumpah di pelukan Umi. Islam telah mengajarkannya banyak hal dan juga membuat hatinya selalu damai. Ia sudah yakin untuk berpindah agama dan menjadi bagian dari keluarga ini seutuhnya.
Tangis Safitri mulai mereda. “Umi ... aku ingin masuk Islam. Ajari aku tentang Islam!”
Hati Safitri merasa lega. Akhirnya, hal yang ingin ia utarakan lolos juga. Umi yang mendengar pengakuan Safitri, lalu membingkai wajahnya dengan kedua tangan Umi sambil meyakinkan dirinya bahwa ia tak salah dengar.
“Iya, Umi. Aku ingin masuk Islam.” Sorot mata Safitri, meyakinkan Umi. Jika ia sedang tidak bercanda. Umi seketika memeluk erat tubuh Safitri dan menciumi kepalanya.
“Alhamdulillah, Umi senang mendengarnya!”
“Umi, bisa membimbing aku untuk masuk Islam?” tanya Safitri memohon.
“Tentu, besok kita temui Ustadz Zaki! Beliau yang akan membimbingmu.”
Safitri dan Umi saling berpelukan. Tak Mereka sadari sepasang mata sedang memperhatikan mereka berdua dari balik pintu sambil mengulum senyum.
Setelah rutinitas pagi hari selesai, Umi menyuruh Safitri untuk mengenakan gamis dan rambut indahnya di tutupi hijab warna yang senada dengan gamis. Aura kecantikan Safitri terlihat semakin memancar. Setelah Umi memberitahu Syahnaz tentang keinginan Safitri masuk Islam. Syahnaz bergegas pulang, ia ingin menjadi saksi pengucapan kalimat syahadat Safitri.
“Kak Fitri cantik sekali. Sayang Kak Fatan nggak bisa hadir. Ia ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Kalau ia ngeliat Kak Fitri secantik ini, aku yakin ia bakalan langsung jatuh cinta.” Syahnaz mengagumi wajah cantik natural Safitri. Tanpa polesan apa pun ia sudah cantik, apalagi kalau dirias pasti akan makin cantik.
Umi merapikan hijab Safitri. “Sudah selesai! Ayo, kita berangkat ke masjid sekarang!”
Syahnaz mengapit lengan kanan Safitri dan lengan sebelah kirinya diapit oleh Umi. Perlahan Safitri menarik napas dan menghembuskannya. Rasa gugupnya sedikit berkurang. Hatinya sudah benar-benar mantap untuk memeluk agama yang membuat hatinya damai.
Masjid Attaqwa, pukul setengah enam sudah dipenuhi oleh warga yang ingin menjadi saksi, seseorang yang akan masuk Islam. Umi, Syahnaz dan Safitri tiba di masjid. Umi langsung memperkenalkan Safitri pada teman-teman pengajian, sebagian ada yang menanyakan asal-usul Safitri, Umi menjawab seadanya saja.
Muadzin mulai mengumandangkan adzan. Semua warga mulai bersiap-siap melaksanakan salat magrib. Syahnaz dan Umi mengenakan mukena, Safitri pun mengenakan mukena. Namun, ia hanya duduk di samping. Ia tak tahu bagaimana gerakan salat.
Suasana masjid, seketika hening. Hanya suara imam yang terdengar membaca surat Al-fatihah dan surat pendek. Safitri menyimak bacaan dengan mata yang berkaca-kaca. Ayat yang dibaca imam seakan merasuk ke dalam hatinya. Menariknya untuk selalu ingin mendengarkan.
Imam mengakhiri salat dengan mengucap salam. Setelah selesai mereka tak langsung pulang, tetapi berdzikir dulu. Kemudian usai berdzikir, Imam memberi pengumuman agar para jamaah jangan dulu meninggalkan masjid. Ia meminta mereka untuk menjadi saksi Safitri memeluk Islam.
Imam meminta satu buah meja untuk di letakkan di depan, lalu Ia memanggil Safitri yang ditemani Umi dan Syahnaz untuk duduk berhadapan dengannya.
Dengan mengucapkan basmalah, imam mulai mengajukan beberapa pertanyaan tentang niat Safitri masuk Islam. Apakah ada tekanan? Atau paksaan agar ia memeluk agama Islam. Safitri menggelengkan kepala, niatnya murni dari lubuk hatinya yang paling dalam.
“Nak, Safitri ikuti ucapan bapak, ya!” titah sang imam pada Safitri.
“Asyhaduallaillahaillallah.” Imam mulai membimbing Safitri untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.
“Asyhadu ...allaailaha ... illallah,” lirih Safitri terbata-bata. Sebelumnya, Umi sudah mengajarinya untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat.
“Wa asyhadu anna muhammadarrasulullah.”
“Wa ... asyhadu ...anna ... muhammadarrasulullah.”
“Alhamdulillah, saudari Safitri. Kini kamu resmi menjadi Muslim,” ucap Imam terharu.
Umi dan Syahnaz memeluk Safitri bergantian. Safitri menangis, sedangkan para jamaah berteriak mengucapkan takbir. Hati Safitri terasa ringan. Ia bagaikan terlahir kembali tanpa celah noda dan dosa. Dalam hati ia akan berusaha untuk menjadi seorang Muslim yang taat.
Daftar Chapter
Chapter 1: Suara Rintihan
2,202 kata
Chapter 2: Berkejaran dengan Waktu
1,200 kata
Chapter 3: Sebuah Nama
1,177 kata
Chapter 4: Pindah Keyakinan
1,246 kata
Chapter 5: Menikah
1,361 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!