')">
Progress Membaca 0%

Chapter 1: Rencana Awal.

Garlicc 29 Aug 2025 1,012 kata
GRATIS

“Yakin mau coba ke Singapura untuk program kehamilannya?" 

“Tentu saja, Damara!” Laki-laki berkumis tipis itu menyahut dengan suara yang cukup lantang. Wajahnya menyiratkan rasa tegang membuat Damara refleks langsung memundurkan langkanya ke belakang. 

Wanita dewasa itu kaget dengan respon yang diberikan sang suami. “Tapi, Jarello ….”

Jarello memutar badannya, pekerjannya dia tinggalkan dan memusatkan perhatiannya pada sang istri. “Sayang, kalau sampai tahun depan kamu belum juga hamil, Papa pasti akan memberikan kursi Direktur Utama pada David bukan aku. Aku ngga mau kerja di bawah kepimpinan dia, kamu tahu hal itu `kan?”

Damara menganggukkan kepalanya patah-patah. Jelas dia sangat tahu, bagaimana permusuhan antara saudara sepupu tersebut selama pernikahan mereka yang terjalin 4 tahun ini. Dia bahkan melihat sendiri bagaimana perkelahian keduanya di pernikahan David sendiri, hanya karena topik siapa yang akan duduk di kursi Direktur Utama. “Kalau gitu, kamu punya waktu kapan?” 

“Secepatnya, aku tidak mau menunggu lagi. Hanya anak kandung kitalah yang bisa menyelamatkan kursi itu, kita tidak bisa membiarkannya terlalu lama.” Jarello mengatakan itu dengan menyangga kepalanya dengan satu tangan. “Pergilah, akan aku carikan tanggal untuk minggu besok, setelah itu aku akan memberitahu kamu.”

“Iya, kalau butuh apa-apa aku di kamar ya,” ucap Damara lembut. Beranjak dari sana dengan memeluk punggung sang suami, sejenak Damara merasa tenang. 

Tawaran itu dibalas dengan anggukan kepala dan Damara pergi dari sana. Menutup pintu dengan pelan, di depan pintu dia menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan berat. 

Kehidupan pernikahan adalah sesuatu yang belum pernah Damara pikirkan sewaktu masih berkuliah di Jerman dulu. Perjodohan datang setelah dia lulus dari sana, membawanya dalam kubangan ikatan hidup semati yang merenggut masa mudanya begitu saja. 

Wanita 26 tahun itu memasuki kamar yang ada di lantai yang sama dengan ruang kerja suaminya. Tidur dengan damai, sendiri seperti biasa karena sang suami akan lebih memilih untuk tidur di ruang kerja daripada tidur di kamar. Alasannya selalu sama, di sana hangat dan di sini dingin. Padahal, Damara rela kepanasan karena suhu AC yang terlalu kecil. 

“Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana, dia menginginkan anak tapi selama satu tahun terakhir dia jarang sekali menyentuhku.” Damara bergumam sambil menarik selimut hingga menutupi separuh wajahnya. “Dan sekarang dia mengusulkan untuk melakukan program bayi di luar negeri, entah apa yang tengah dia pikirkan.”

Damara akan jujur, jika dia sama sekali tidak bisa memahami sifat spontan dan tidak terduga dari Jarello. Laki-laki itu selalu melakukan hal yang tidak terlintas dibenaknya, seperti program bayi ini.

Tanpa mengatakan atau mendiskusikan apa pun, Jarello tiba-tiba menetapkan akan melakukan rencananya tersebut dalam waktu dekat. 

Seolah Damara hanya figuran yang harus menerima semua keputusan yang telah diambil.

“Aku mungkin perlu membicarakan ini dengan Ayah, mungkin,” gumam Damara dengan mata yang perlahan tertutup.

Seluruh pikiran dan hatinya kacau balau. Keputusan yang telah diambil Jarello sedikit membuat dia waspada, karena itulah dia membutuhkan lawan bicara yang seimbang, seperi ayahnya. 

Kalender tertera menunjukkan tanggal 21 dengan tinta merah. Damara menghitung hari dengan tangan yang gemetar memegang testpack kehamilan milik yang menunjukkan dua garis di sana. “Demi Tuhan! Aku hamil!”

Jika tidak salah hitung, sudah 3 bulan sejak mereka melakukan program kehamilan di Singapura yang ternyata memberikan hasil yang begitu baik. Damara menelepon suaminya dengan tangisan yang tidak bisa dia cegah, tetapi nyatanya rasa haru yang menumpuk tidak disambut dengan baik. 

“Halo?”

“Jangan telepon, aku masih ada urusan.”

Kemudian sambungan telepon mati begitu saja. Tanpa bisa Damara cegah, air matanya keluar lebih banyak. Mengalir deras dengan rasa sakit yang mencubit rasa bahagianya, telepon terjatuh di atas ranjang dengan tubuh yang merosot terduduk di pinggiran ranjang. 

Ini bukan sesuatu yang baru, Jarello memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Terjadi berulang kali, bahkan sebelum melakukan program kehamilan. Semua itu tidak pernah Damara permasalahkan, tapi kali ini entah kenapa dia tidak bisa menerimanya begitu saja. 

Ini hari adalah kabar yang paling ditunggu setelah 4 tahun pernikahan mereka. Hari di mana seharusnya Jarello menghamburkan rasa bahagia dengan haru setelah sekian lama menunggu bersama Damara, saling memeluk mengucapkan rasa syukur. 

“Sakit sekali rasanya mendengar responnya yang bahkan seperti tidak menginginkan mendengar suaraku, walau hanya sejenak. Mengabaikan kabar bahagia yang ingin aku sampaikan, tapi tidak apa, Sayang. Karena sekarang Mama tidak lagi sendirian, ada kamu di sini dan Mama berjanji akan menjaga kamu dengan sepenuh hati,” ucap Damara dengan napas tersendat sembari mengelus perutnya yang masih rata. 

Kesepiannya selama 4 tahun ini akhirnya terbayarkan, Damara yakin dia bisa berdiri sendiri meskipun tanpa Jarello seperti biasa. Dia akan melakukan segalanya dengan kemauan dan keinginannya sendiri. Meskipun jauh di lubuk hatinya dia sangat menginginkan perhatian Jarello layaknya ibu hamil lainnya. 

Seperti saat ini, ketika dia terbangun di pagi hari. Pukul 6 pagi, tapi Jarello sudah tidak berada di rumah. 

Mera, asisten pribadi yang diberikan oleh ayahnya mengatakan, jika Jarello pergi bahkan sebelum matahari terbit. Pergi dengan tergesa-gesa seolah tengah dikejar dengan sesuatu yang sangat mendesak. 

“Begitu, ya?”

Mera menatap nyonya mudanya dengan tatapan prihatin. “Benar, Nyonya. Tadi niatnya saya mau tanya Tuan mau ke mana pagi-pagi buta, tapi udah pergi aja sebelum menjawab pertanyaan saya.”

Damara menyesap teh herbal yang direkomendasikan oleh temannya pelan. Matanya menatap hamparan taman luas yang menjadi pemandangan dari balkon kamarnya. Wajahnya masih datar dengan pikiran kosong.

“Nyoya, maaf jika saya lancang, tapi apakah Nyonya tidak curiga Tuan—eum ….” Jujur saja, Mera kembali menutup mulutnya, saat Damara menoleh ke arahnya. “Maaf.”

“Tidak apa,” balas Damara. “Aku perlu berbicara dengan ayahku, bisakah kamu menyiapkan mobil setelah aku berkemas?”

Bertemu dengan ayahnya, Mera cukup bergidik mendengar hal tersebut. Sebab, yang dia ketahui ayah dari nyonya mudanya ini adalah seorang gubernur ternama yang terkenal tegas dan menakutkan. “Apakah saya juga perlu ikut?”

“Tentu saja, tapi sebelum itu siapkan beberapa hal terlebih dahulu." Damara tidak ingin berbasa-basi tak jelas. 

“Baik, Nyonya. Saya akan mengusahakan semuanya, apa pun yang Anda butuhkan.”

Mera selalu penasaran tentang satu hal. Perilaku dan sikap Damara selalu membuat dia bingung, terlalu hati-hati dalam mengambil tindakan dan selalu percaya dengan langkah yang diambil. 

Wanita yang tampak kuat, yang bahkan tidak akan bisa Mera bayangkan apa yang akan terjadi ke depannya. Semuanya, tentu saja membuat dia gelisah dan penasaran. 

“Mera, cepat.”

Chapter Sebelumnya
Chapter 1 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: Rencana Awal.

1,012 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 2: Little Candy.

1,091 kata

GRATIS

Chapter 3: Captain Geng!

1,034 kata

GRATIS

Chapter 4: Pencuri!

999 kata

GRATIS

Chapter 5: Sweet Strawberry.

1,026 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!