Chapter 10: Old Friend
Aku meratapi kebodohanku. Baru kusadari kalau nasib burukku terjadi karena kebodohanku sendiri. Bisa-bisanya aku sampai ditipu dan baru tahu dua hari kemudian. Jelas ini karena kebodohanku!
Aku duduk di teras supermarket, tepat di depan pintunya. Tas berisi barang belanjaanku kubiarkan tergeletak tak bernyawa di sampingku. Kakiku menjulur lemas. Kepalaku menunduk lesu. Mataku menatap tulisan di kaus putihku.
Your future ex-girlfriend.
Ini kalimat yang dulu kupakai buat menyindir Papa.
"Gimana rasanya punya mantan pacar?" Aku menggunakan kaus baruku. Mata Papa membulat lucu waktu membaca kata-kata di kausku.
Papa meletakkan hp-nya di meja cepat. Dia menepuk sofa kosong di sampingnya, memintaku duduk di sana.
Aku menurut. Papa langsung menyambutku dengan pelukan setelah aku duduk. "Rasanya nggak enak." Suaranya terdengar dari atas kepalaku. "Kakak cuma buang-buang waktu dengan pacaran. Mending Kakak sibuk belajar atau melakukan hobi Kakak daripada pacaran."
"Kalau nggak enak, kenapa banyak yang punya mantan pacar, bahkan ada orang yang bangga menyebut jumlah mantan pacarnya yang sampai tiga digit itu?" Aku masih belum paham.
"Punya banyak pacar seharusnya nggak jadi sebuah kebanggan. Itu bukan perlombaan atau prestasi yang layak dipamerkan. Nanti kalau daftar kerja, nggak akan ada perusahaan yang bertanya tentang jumlah mantan pacar Kakak, kok. Nggak ada kantor yang menjadikan syarat jumlah mantan pacar minimum yang harus dimiliki buat diterima bekerja di sana."
Aku tertawa dengan penjelasan asal ini. Papa selalu bisa menjelaskan dengan cara konyol.
Andai Papa masih ada. Sekarang, Papa pasti sedang menertawakan kebodohanku, lalu menasihatiku dengan kalimat konyolnya.
Rasanya pasti jauh lebih menyenangkan kalau Papa masih bisa mengejekku. Aku pasti nggak akan marah kalau itu bisa terjadi sekarang. Sayang, aku paham banget kalau harapanku nggak akan pernah terwujud.
"Vio?" Seseorang menghalangi cahaya matahari di hadapanku.
Aku mendongak, berusaha mencari tahu siapa yang memanggilku. Seorang cewek berdiri menjulang di depanku. Bibir tipisnya tersenyum padaku. "Angel." Aku berdiri begitu sadar siapa dia.
Senyuman Angel semakin lebar. Matanya yang sekarang berwarna abu-abu jadi sedikit menyipit. Kuperhatikan penampilannya yang berubah drastis dari terakhir kali kami bertemu.
Rambut lurusnya yang dulu selalu dikucir ekor kuda, sekarang dipotong pendek dan bergelombang dengan warna abu-abu. Semakin ke ujung rambut, warnanya memudar jadi putih. Penampilannya juga jadi lebih rapi dan menyala.
Aku masih ingat dia selalu ke sekolah memakai jaket kusam yang ritsletingnya sudah hancur dan sobek bagian lengannya, jauh berbeda dengan sekarang. Celana super pendek dan tank top merah berenda membalut tubuhnya. Sepatu boot hitam dengan hak yang nggak terlalu tinggi melindungi kakinya.
Angel memelukku yang masih kaget dengan perubahannya. "Vio apa kabar? Ya, ampun. Gue kangen banget sama Vio." Dia melepaskan pelukannya.
Dari jarak dekat begini aku bisa mencium aroma tubuhnya yang wangi mawar. Ini juga beda banget dengan Angel yang dulu. Memang aromanya masih sama-sama mawar, tapi aroma Angel yang dulu cuma berasal dar sabun batangan. Sekarang, Angel beraroma mawar segar yang memunculkan kesan mahal dan mewah.
"Baik." Aku menjawab dengan singkat. Rasanya masih nggak percaya Angel berpenampilan seperti ini. "Lo beda banget."
Angel merentangkan kedua tangannya sebentar. Alisnya juga naik sesaat. "Hidup gue berubah. Sekarang, gue nggak sengsara lagi, Vio."
Bisa nggak kesengsaraan berpindah orang? Mungkin saja kesialan yang terjadi di hidup Angel berubah ke hidupku.
Dulu, Angel sering diejek karena bapaknya cuma tukang becak yang sering mangkal di depan gang dekat sekolah. Hidup mereka sangat sederhana— kalau nggak mau disebut miskin. Tanpa beasiswa, Angel nggak akan bisa menyelesaikan sekolahnya.
Aku cukup dekat dengan Angel. Kami sering menghabiskan jam istirahat di dalam kelas sambil makan bekal yang kubawa atau makanan yang kubeli di kantin. Tapi, setelah pengumuman kelulusan, dia menghilang. Nomor teleponnya nggak bisa aku hubungi. Rumah kecilnya juga nggak ditempati lagi. Dia bahkan nggak datang di acara perpisahan. Angel lenyap di telan bumi.
"Eh, mampir ke tempat gue, yuk! Sekarang, gue ngekos di dekat sini. Kita ngobrol bentar. Gue traktir pizza favorit lo, deh." Angel berharap banget aku menerima ajakannya.
"Tapi—"
"Nggak ada penolakan! Gue beliin es cendol kesukaan lo juga. Lo mau minum apa aja, gue traktir kali ini." Angel mulai memaksaku. "Please, Vio. Sekali aja biarin gue bales kebaikan lo."
Aku luluh dengan permintaannya, terutama dengan janjinya yang akan membelikanku es cendol. Bayangan cendol yang berenang di kolam santan bercampur dengan cairan gula jawa dan es batu yang banyak, nggak pernah sanggup kutolak. Dingin dan manisnya saja sudah bisa kurasakan cuma dengan mendengar namanya begini. Pasti enak banget menghabiskan berliter-liter es cendol di cuaca panas seperti sekarang.
Angel memintaku mengikutinya. Aku naik motor, sedangkan dia naik mobil. Mobil merah yang dinaikinya bertuliskan HR-V di bagian belakang dengan plat nomor cantik, B 1 TCH.
Aku masih terus takjub dengan perubahan Angel. Mobil siapa yang dibawanya ini? Waktu SMA dulu, dia memang naik mobil. Tapi, mobilnya cuma angkot, bukan mobil pribadi. Itu juga kalau jam berangkat sekolahnya nggak bareng dengan jam dinas bapaknya.
Sepuluh menit kemudian, mobil Angel masuk ke halaman rumah besar bertingkat dua. Dari luar rumah ini kesannya minimalis dengan dominan warna hitam dan putih. Ada garasi cukup besar yang sekarang nyaris kosong, hanya ada dua mobil dan tiga motor. Walau nggak banyak, masih ada pepohonan yang membuat rumah sedikit adem.
Ruang tamunya juga masih bernuansa hitam dan putih. Kursi kayu dengan bantalan hitam berada tepat di tengah ruangan mengelilingi meja kayu berbentuk lingkaran. Di sudut ruangan ada rak yang diisi dengan aneka tanaman hias.
Angel membawaku masuk lebih dalam. Kami melewati kolam renang terbuka di bagian samping rumah. Memang bukan kolam renang yang luas banget, tapi biru airnya terlihat segar. Di sekeliling kolam juga banyak ditanami pohon yang semakin membuat suasana sejuk.
Angel terus membawaku naik ke lantai dua. Hanya ada lorong dengan pintu-pintu kamar tertutup di kanan dan kirinya di lantai ini. Kamar Angel ada di sisi kiri, pintu kedua.
"Ayo masuk." Angel mempersilakanku begitu berhasil membuka kunci.
Aroma mawar yang mirip dengan bau tubuhnya langsung menguar saat aku masuk kamarnya yang luas banget. Kamar ini bahkan lebih luas dari kamarku.
Kasur tebal dan besar dengan bedcover putih menjadi perabot paling mencolok di sini. Lemari dengan pintu geser diletakkan di samping pintu kamar mandi berhadapan dengan kasur. Meja belajar yang dipenuhi kertas ada di sisi lain, bersebelahan dengan kulkas dua pintu. Dindingnya nyaris kosong, hanya ada AC dan lukisan. Di lukisan itu ada dua lingkaran yang saling bertindihan, satu berwarna pink dan yang lain hitam.
Aku duduk di kasurnya yang empuk, mengamati setiap sudut kamar. Kamar ini terlalu sederhana dan kosong, tapi nyaman.
Angel membuka kulkas, memastikan ada sesuatu yang bisa kami makan. "Baru ada soda, nggak apa-apa, ya? Bentar gue pesan cendol paling enak buat lo." Dia memberikan soda kaleng padaku, lalu sibuk dengan hp-nya.
Aku cuma bisa tersenyum padanya. Semua yang Angel miliki masih membuatku kaget dan nggak percaya.
Kenapa sekarang dia bisa hidup mewah? Kamar kosnya ini nggak mungkin mampu dibayar bapaknya, kecuali kalau Angel tiba-tiba tahu ternyata bapak yang selama ini merawatnya cuma bapak angkat. Bapak kandungnya ternyata orang kaya yang sengaja menitipkan anak tunggalnya, biar nggak jadi anak manja.
"Ngapain tadi lo bengong di emperan gitu? Untung aja lo nggak sampai kesurupan." Angel tertawa.
Aku lega suaranya masih sama. Kekayaannya nggak mengubah cara dia tertawa. Saat tertawa, matanya selalu terpejam dengan lubang hidung yang membesar dan mengecil bergantian.
"Lo nggak ditemenin Papa?" tanya Angel tiba-tiba.
Aku menatapnya sendu. Saat mendengar ada yang menanyakan Papa, ternyata masih menyesakkan. Rasanya rindu banget sama pria menyebalkan itu. Ternyata lebih menyenangkan kalau Papa terus menempel ke mana pun aku pergi daripada sama sekali nggak pernah melihatnya lagi begini.
"Papa udah pergi," kataku pelan. Aku memaksakan senyum pada Angel, yang ternyata malah menambah sesak.
Mata Angel membelalak. "Innalillahi. Sori, Vi. Gue nggak tahu."
Aku menggeleng. "Nggak apa-apa, Jel."
Kali ini mata Angel menatapku lembut. Tangannya mengusap punggungku. "Pasti berat banget, ya?"
Aku mengembuskan napas berat. "Berat banget, Jel. Hidup gue berantakan dalam waktu singkat."
Angel nggak mencelaku sama sekali. Dia nggak menganggapku manja atau terlalu lemah dalam menghadapi cobaan. Yang Angel lakukan cuma diam sambil terus menatapku lembut. Sekarang, tangannya menggenggam tanganku.
"Mama sakit. Sekarang, Mama cuma diam tanpa punya harapan hidup lagi. Gue yang mengurus keluarga. Gue yang bertanggung jawab dengan keluarga. Gue harus cari duit buat menghidupi keluarga. Rumah gue bahkan terancam disita bank. Gue nggak tahu harus cari duit ke mana lagi. Gue udah coba kerja, tapi dipecat. Gue juga coba dagang, tapi nggak laku. Parahnya, baru aja gue tahu kalau habis ditipu orang." Akhirnya aku menceritakan semua bebanku pada Angel. Aku nggak peduli kalau kalimatku nggak bisa dipahami. Rasanya terlalu sesak dada ini.
"Gue bisa bantu lo." Angel berkata dengan semangat.
Aku menatapnya bingung. "Gimana caranya? Gue butuh duit puluhan juta buat bayar cicilan rumah, Jel."
Angel tersenyum. Nggak ada keraguan di wajahnya.
Aku sedikit kesal dengan rasa percaya dirinya itu. Dia berbeda jauh dengan Angel yang kukenal dulu. Nggak ada Angel pemalu yang sederhana. Dia menjelma jadi gadis penuh percaya diri dengan segala kemewahannya.
"Lo lihat gue sekarang? Gue punya mobil baru yang udah lunas. Gue nggak harus mikirin cicilan apa pun. Walau cuma tinggal di kos, tapi lihat kamar gue. Sebodoh-bodohnya lo, pasti paham biaya sewa kamar ini nggak murah. Lihat perubahan gue, Vi!" Angel berdiri tegap menatapku angkuh. "Nggak ada orang yang bisa menghina gue lagi sekarang. Gue kaya."
"Iya. Lo berubah banget. Gue sempat nggak kenal waktu lihat lo tadi."
"Lo harus jadi kayak gue, Vi!" Angel menggenggam pundakku. Genggamannya cukup kuat sampai membuatku sakit.
"Memangnya lo kerja apa sampai bisa punya banyak duit begini, Jel?" Aku penasaran banget.
Apa mungkin dia memelihara tuyul? Katanya, tuyul bisa mencuri uang. Mungkin tuyul milik Angel pintar mengambil uang di ATM.
Apa jangan-jangan ternyata Angel ini babi ngepet? Kemampuannya baru diketahui waktu umurnya genap tujuh belas tahun. Pantas saja dia menghilang setelah kelulusan. Dia pasti langsung menaikkan kemampuan ngepetnya itu. Sekarang, dia sudah berhasil mencapai level tinggi. Dalam waktu singkat, Angel bisa meraup banyak uang.
Kalau nggak, bisa jadi dia melakukan ritual pesugihan lainnya yang butuh tumbal orang paling disayang. Cuma itu cara cepat mendapatkan uang dalam waktu singkat, kan?
Aku merinding membayangkan semua kemungkinan yang dilakukan Angel agar cepat kaya. Nggak mungkin aku melakukan itu semua.
Angel merebahkan dirinya di kasur dengan kedua tangan terentang. Matanya menatap langit-langit kamarnya. "Gue jadi sugar babby."
Daftar Chapter
Chapter 1: Dream Come True
1,723 kata
Chapter 2: Sad Story
933 kata
Chapter 3: Deep Sleep
1,079 kata
Chapter 4: Tears
910 kata
Chapter 5: Funeral
1,160 kata
Chapter 6: New Normal
1,661 kata
Chapter 7: New Job
1,829 kata
Chapter 8: Fired
1,677 kata
Chapter 9: New Bussiness
1,771 kata
Chapter 10: Old Friend
1,679 kata
Chapter 11: Sugar Baby Wanna be
2,078 kata
Chapter 12: Mission Failed
1,611 kata
Chapter 13: Confiscated
1,576 kata
Chapter 14: Separation
1,694 kata
Chapter 15: Independent Day
1,622 kata
Chapter 16: The End of The Struggle
1,451 kata
Chapter 17: Former Sugar Daddy Candidate
1,411 kata
Chapter 18: New Room
1,203 kata
Chapter 19: Grumpy Oldman
1,341 kata
Chapter 20: Goodnight
1,419 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!