Chapter 9: New Bussiness
Ternyata cari duit itu susah. Tapi, kok bisa ada orang yang kekayaannya sampai bingung mau dihabiskan buat apa, sih? Kok, aku nggak bisa langsung dapat duit seperti orang lain? Artis di medsos yang cuma mengoceh dan bertingkah aneh saja bisa cepat menghasilkan uang jutaan. Kenapa aku nggak bisa?
Jangankan dapat duit, aku malah harus keluar duit buat mengganti kerusakan laptop akibat kecerobohanku. Masih beruntung Mbak Erika memberikan uang pesangon dan nggak minta aku mengganti perabotan yang sudah kurusak.
Aku pengin jadi Mbak Erika yang masih muda dan punya bisnis. Tapi, enaknya aku dagang apa? Aku nggak punya ide memulai bisnis dengan modal minim, tapi bisa cepat menghasilkan keuntungan. Nggak mungkin aku bisnis ganja karena belum tahu pemasok ganja yang amanah di mana. Kalau nekat, bukannya untung, aku malah buntung. Bisa-bisa aku salah mengenali pemasok ganja yang ternyata polisi, yang sedang dalam misi penyamaran. Belum berhasil melunasi utang, aku harus meringkuk di tahanan.
"Jualan baju aja. Fashion never die!" Baru saja aku minta saran pada Aya. Dengan semangat dia langsung menjelaskan tentang bisnis pakaian yang menurutnya menjanjikan. "Semua orang hidup butuh pakaian, Vi, apalagi cewek. Kita kaum yang mudah tergoda dengan kecantikan. Lihat cewek lain pakai baju cakep dikit langsung pengin, nggak peduli bentuk tubuh kita berbeda. Baju itu dipakai si anu bikin kelihatan seksi, tapi ternyata dipakai kita malah kayak orang gila. Habis itu baru kita nyesel sampai dibawa mati."
Penjelasan Aya masuk akal. Tanpa pikir panjang aku langsung berburu pakaian murah yang menurutku bagus. Aku memborong aneka bentuk pakaian secara online. Sambil menunggu barang datang, aku membuat akun di beberapa market place dan media sosial. Semua dengan nama yang sama, Viona Fashion Shop.
Dalam waktu dua hari rumahku dipenuhi baju baru yang lucu-lucu. Aku saja gemas dengan semua pakaian ini. Aki pengin rasanya memiliki semuanya. Sayang, aku cuma bisa mencobanya, bergaya di depan cermin besar di kamarku, berfoto, lalu melipatnya kembali tanpa pernah bisa memiliki.
Semua foto yang kuambil langsung kupasang di akun market place-ku. Aku hanya mengedit foto-foto itu dengan memotong bagian kepalaku saja. Aku nggak cukup percaya diri kalau wajahku dilihat banyak orang nanti. Jangan sampai ada calon pembeli yang tertarik dengan baju yang kujual, tapi membatalkan niatnya karena melihat wajahku yang nggak menarik ini.
Ternyata, berdagang juga nggak mudah. Semangat bisnisku semakin lama semakin menurun. Sudah tiga hari toko online-ku buka, tapi nggak ada satu pun pembeli yang berminat. Kerjaanku cuma online dari akun satu ke akun market place yang lain. Mataku sampai pedih akibat terlalu lama melihat layar hp.
Akhirnya, sebuah notifikasi pesan masuk muncul setelah empat hari aku mulai aktif di medsos sebagai penjual online. Ada calon pembeli yang menghubungiku. Tanpa mau membuat calon pembeli ini menunggu lama, aku langsung membalas pesannya. Aku harus melayaninya dengan baik.
* Dressnya masih banyak, Sis?
- Masih, Sis.
* Nggak laku, ya, Sis?
- Iya, nih, Sis. Belum ada yang laku.
* Coba banyakin sedekah, Sis. Dagangan Sis nggak laku pasti karena kurang sedekah.
- Eh? Gitu, ya, Sis?
* Iya. Cobain aja sedekah dulu. Jangan lupa juga subscribe akun YouTube aku, Gamers Montok, ya.
- Kalau udah subscribe bisa laku jualanku, Sis?
* Ya, belum, Sis. Sis harus like semua videoku dulu. Aku baru saja posting video baru, tutorial bermain ular tangga.
- Kalau udah aku like semua video, bisa laku jualanku, Sis?
* Ya, nggak tau. Kan, bukan aku yang beli jualannya, Sis.
Rasanya aku pengin bakar rumah. Sayang, aku masih ingat kalau rumah ini nyaris disita bank. Aku nggak mau urusan dengan bank semakin runyam. Masalah ini saja sudah sukses bikin aku nyaris nggak tidur tiap malam.
Kemarin ada dua pria datang ke rumah. Badan mereka tinggi besar dengan perut mirip BayMax, hanya saja salah satunya punya kumis tebal mengerikan. Wajah mereka nggak seimut BayMax. Suara mereka berat dan serak, mungkin karena terlalu banyak merokok. Aroma asap rokok bercampur parfum memuakkan tercium jelas dari tubuh mereka. Kedatangan mereka buat menanyakan pembayaran cicilan rumah yang sudah waktunya kubayar.
"Saya sedang mengurus asuransi, Pak. Beri saya waktu sampai asuransi bisa cair." Aku memohon dengan perasaan takut. Tubuh mereka terlalu besar. Tenaga mereka pasti juga besar.
Aku bisa langsung meninggal kalau dua pria besar ini menghajarku. Jangan sampai aku membuat mereka murka. Jadi, aku harus bersikap baik dengan mereka.
Beruntung, akhirnya mereka berbaik hati memberiku waktu. Secepat mungkin aku harus mengurus asuransi dan menyelesaikan teror ini.
Rencananya, hari ini aku akan ke kantor asuransi buat memberikan berkas yang mereka minta. Semua berkas akhirnya berhasil kulengkapi, setelah berhari-hari aku bolak-balik kantor asuransi, kantor polisi, dan pom bensin buat isi bensin.
Kebetulan jadwal kuliah hari ini ditiadakan. Satu dosen beralasan ada urusan ke luar kota, sedangkan satu dosen lagi sedang sakit.
Boleh nggak aku merasa sedikit bersyukur dengan musibah yang dialami orang lain? Berkat sakitnya dosenku ini, aku jadi bisa mengurus masalahku sendiri. Aku terselamatkan dengan penderitaan orang lain. Aku boleh sedikit bahagia, kan?
Aku baru sampai di sekolah Kara waktu hp-ku berbunyi. Getarannya cukup membuat pahaku geli. Kara langsung berlari masuk kelas begitu turun dari motor. Aku menunda keberangkatan ke kantor asuransi sebentar untuk mengecek hp. Ini mungkin info penting soal kuliah. Mungkin saja dosenku yang sakit memaksakan diri hadir dan mengajar demi sebuah pengabdian. Kalau ini benar terjadi, aku jadi sedih. Aku sedih karena dedikasih tinggi seorang dosen.
Mataku membulat sempurna saat membaca pesan masuk dari orang nggak kukenal. Akhirnya, aku mendapatkan calon pembeli. Dia langsung bertanya soal warna dan ukuran melalui instagram online shop-ku.
Nama akun calon pembeliku lucu: Nananinu. Foto profilnya cuma gambar bunga bangkai yang gampang dicari di google. Aku berusaha melayaninya dengan baik, nggak peduli siapa pun namanya dan apa foto profilnya. Nggak lama, dia benar-benar melakukan pesanan.
Aku membaca pesanannya. Tiga buah dress berbeda motif dan ukuran, satu celana kulot warna hitam, satu gamis polos warna pink, dan satu tunik warna biru. Semuanya berjumlah enam buah.
Tanpa pikir panjang, aku memutar arah motorku. Aku nyaris ditabrak mobil saat berbelok. Berulang kali aku mengucapkan maaf, sebelum kabur meninggalkan pengemudi mobil merah polkadot yang melotot tanpa mengatakan apa pun itu.
Aku harus pulang sekarang. Ada enam pakaian yang harus kubungkus dan dikirim hari ini juga. Tapi, aku harus mampir ke atm dulu. Aku sudah kehabisan uang tunai.
Rasanya nyesek banget melihat sisa saldo di rekening. Saldonya nggak bertambah, malah berkurang banyak. Nominalnya sekarang semakin jauh dari jumlah cicilan beserta bunga dan denda yang harus kubayar secepatnya.
Sampai di rumah, pembeli itu sudah menunjukkan bukti pembayaran padaku. Aku sampai histeris melihat nominal angka yang tertera di kertas itu. Lebih dari enam ratus ribu menjadi milikku sekarang. Mak Oci sampai kaget, mengira aku kesurupan.
Aku mengabaikan Mak Oci. Kubiarkan dia asyik masak sambil mendendangkan tembang lawas yang mendayu-dayu, entah apa judulnya. Mungkin sebenarnya lagu itu bagus, tapi Mak Oci berhasil merusaknya dengan suaranya yang sumbang. Biarkan Mak Oci dan lagu menyesakkan itu. Ada tugas yang harus segera kulaksanakan sekarang.
Dengan susah payah aku membungkus enam pakaian sesuai pesanan. Ternyata membungkus juga butuh keterampilan khusus. Hasil karyaku kali ini buruk banget. Kertas cokelat yang kugunakan sebagai pembungkus sama sekali nggak rapi lipatannya. Selotip yang menyelimuti di bagian luar juga berantakan.
"Aku harus belajar membungkus lebih sering lagi," janjiku pada diri sendiri.
Masih dengan euforia yang membuatku bersemangat hari ini, aku mengirimkan paket itu melalui jasa pengiriman yang telah kami sepakati. Nggak peduli tempat agen pengiriman ini cukup jauh dari rumahku, aku tetap bersemangat ke sana. Hampir setengah jam kutempuh dengan naik motor di bawah sengatan matahari yang ceria banget hari ini. Aku tersenyum lega saat berhasil sampai.
Alamat tujuan paket ini cukup jauh, di kabupaten Trenggalek. Nama daerah ini terlalu asing di telingaku. Katanya, ini termasuk kabupaten yang ada di Jawa Timur, jauh banget dari Jakarta. Kata mbak petugas yang melayaniku, mungkin paket ini baru bisa sampai dalam waktu dua hari.
Aku langsung memberikan foto resi yang dipegang mbak petugas, yang mengurus paket milikku itu, kepada pembeli pertamaku. Mbak petugas itu tersenyum kaku waktu kuambil fotonya. Aku harus benar-benar meyakinkan pembeli pertamaku bahwa aku nggak menipu. Mbak petugas itu sebagai jaminan bahwa aku jujur.
Semangatku buat berjualan jadi meningkat sekarang. Pembeli pertama biasanya membuka jalan keberuntungan. Sebentar lagi, aku sukses sebagai pebisnis muda dengan omset puluhan juta.
Tapi, keberuntungan masih malas bertemu denganku. Dua hari selanjutnya aku belum mendapatkan pembeli lagi. Jualanku nggak laku. Tumpukan pakaian baru yang masih bau pabrik itu menumpuk di sudut kamarku.
"Kasihan kalian belum jelas nasibnya. Kalian pasti sedih banget nggak ada yang mau mengadopsi kalian," kataku pada tumpukan baju itu. Mereka diam, nggak menjawab atau merespons dengan gerakan.
"Sabar, ya. Aku pasti bisa cariin kalian pemilik yang sayang sama kalian. Nanti kalian pasti dipakai, dipamerin ke banyak orang, dan dibikin pusing di dalam mesin cuci. Tapi, kalian harus sabar." Aku masih mencoba menenangkan mereka.
Ini sudah dua hari berlalu. Harusnya, pakaian yang kemarin kukirim sudah mendarat di rumah Nananinu. Aku harus memastikannya. Aku mengirimkan pesan pada Nananinu.
Siang, Kak. Apa paketnya sudah diterima?
Sayangnya, sampai hari berganti, pesanku nggak pernah dijawab. Apa dia sibuk? Apa dia bahagia banget punya baju baru sampai nggak peduli sama orang lain? Aku kadang juga gitu kalau punya barang baru.
Kalau begini, aku bisa mengambil kesimpulan barang sudah dia terima, kan? Aku nggak punya tanggungan lagi sama dia, kan?
"Kak, hari ini jadi belanja?" tanya Mak Oci. Tangannya memegang sapu. Di bawah kakinya berkumpul debu dan dosa.
Aku meminum sampai tandas air dingin yang baru saja kuambil dari kulkas. "Jadi, Mak. Tolong catat apa aja yang harus dibeli, ya."
"Sebelum diminta, udah Mak laksanakan." Mak Oci mendekat dengan selembar kertas yang diambil dari selipan kutangnya.
"Sabun, beras, minyak ...." Aku membaca isi catatan yang dibuat Mak Oci, memastikan nggak ada barang penting yang terlewat.
Satu hal lagi yang kusadari sejak Papa meninggal. Belanja kebutuhan bulanan nggak selalu menyenangkan. Dulu aku suka sekali diajak belanja begini. Papa dan Mama nggak pernah melarang anak-anaknya mengambil apa pun, selama itu memang dijual, bukan properti supermarket.
Sekarang, aku merasa muak setiap waktunya belanja. Aku harus mengeluarkan uang untuk semua barang-barang yang kubutuhkan. Ini sama artinya dengan saldo tabungan untuk melunasi utang semakin berkurang.
Selesai berbelanja, aku mampir ke ATM. Baru dua hari lalu aku menarik uang. Sekarang, aku sudah kehabisan uang tunai lagi. Kenapa gampang banget menghabiskan uang, sih?
Dahiku berkerut melihat saldo yang tercantum di layar ATM. Sebentar, ada yang salah. Aku masih ingat banget jumlah uang yang kumiliki. Belanjaan kali ini nggak terlalu banyak karena aku berhasil menghemat pemakaian sabun dengan mandi sehari sekali dan nggak bikin susu lagi.
Tapi, kenapa jumlah uangku berkurang banyak?
Aku menghitung dengan bantuan kalkulator dari hp. Benar. Ada selisih enam ratus ribu lebih yang hilang.
Tunggu!
Enam ratus ribu?
Ini jumlah yang sama dengan uang pembelian pakaian kemarin. Jangan-jangan ... aku ditipu?
Daftar Chapter
Chapter 1: Dream Come True
1,723 kata
Chapter 2: Sad Story
933 kata
Chapter 3: Deep Sleep
1,079 kata
Chapter 4: Tears
910 kata
Chapter 5: Funeral
1,160 kata
Chapter 6: New Normal
1,661 kata
Chapter 7: New Job
1,829 kata
Chapter 8: Fired
1,677 kata
Chapter 9: New Bussiness
1,771 kata
Chapter 10: Old Friend
1,679 kata
Chapter 11: Sugar Baby Wanna be
2,078 kata
Chapter 12: Mission Failed
1,611 kata
Chapter 13: Confiscated
1,576 kata
Chapter 14: Separation
1,694 kata
Chapter 15: Independent Day
1,622 kata
Chapter 16: The End of The Struggle
1,451 kata
Chapter 17: Former Sugar Daddy Candidate
1,411 kata
Chapter 18: New Room
1,203 kata
Chapter 19: Grumpy Oldman
1,341 kata
Chapter 20: Goodnight
1,419 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!