')">
Progress Membaca 0%

Chapter 6: New Normal

Franciarie 19 Aug 2025 1,661 kata
GRATIS

Kondisi Mama lebih buruk dari yang aku bayangkan. Kata Tante Lily, Mama terlalu syok dan belum bisa menerima kepergian Papa. Sekarang Mama seperti maneken yang nggak bernyawa. Walaupun matanya terbuka lebar, Mama hanya diam. Mama bisa nggak bergerak dan berbicara dalam waktu lama. Aku sudah mencoba mengajak Mama ngobrol, tapi nggak pernah dapat tanggapan. Mama kehilangan semangat hidupnya.

Mama bukan terkena stroke. Mama masih bisa bergerak dengan normal, bahkan mampu ke kamar mandi sendiri. Mama hanya nggak mau bicara. Pandangannya juga kosong. Aku sedih setiap melihat mata Mama sekarang. Ternyata, lebih menyenangkan melihat mata Mama yang melotot, menatap tajam ke arahku setelah tahu aku melakukan kesalahan. Lebih menenangkan mendengarkan suara Mama yang terus mengomel sepanjang ribuan kata setiap harinya daripada harus melihat Mama bungkam sepanjang hari.

Aku mencoba paham dengan kondisi Mama. Pernikahan Papa dan Mama sudah lebih dari sembilan belas tahun. Mereka nggak pernah berpisah lama. Papa sering menceritakan kenangan mereka dengan bahagia, seolah itu masa paling indah dalam hidup Papa. Aku sampai hapal banget kisahnya.

Sebelum menikah dengan Papa, Mama sudah menjadi yatim piatu. Mama anak tunggal, jadi nggak punya saudara kandung. Semua keluarga Mama berada jauh di Sumatera. Mama yang terbiasa hidup sendirian akhirnya bertemu dengan Papa yang nggak pernah bosan memberikan perhatian.

Mama nggak bisa menolak pesona Papa. Belum genap satu tahun bertemu, Papa dan Mama memutuskan menikah. Sekarang pernikahan mereka terpaksa berakhir karena sebuah kematian yang mendadak. Ini terlalu menyakitkan buat Mama.

Hari ini Mama akhirnya bisa pulang ke rumah setelah dirawat selama tiga hari di rumah sakit. Kondisi Mama masih seperti maneken tanpa nyawa. Tapi, merawat Mama di rumah menjadi keputusan terbaik saat ini. Aku dan Tante Lily yang berdiskusi berdua. Terlalu susah memutuskan, tapi aku harus memilih mana yang paling baik untuk kami saat ini.

"Mama istirahat dulu, ya. Kalau butuh apa-apa, panggil Kakak. Kakak ada di depan," kataku setelah memastikan Mama berbaring dengan nyaman di kasurnya. Aku memang membiasakan terus mengajak Mama ngobrol walaupun nggak pernah mendapatkan respons selain kedipan mata dan embusan napas yang teratur.

Mama diam. Pandangannya lurus menatap langit-langit. Matanya yang berkedip dan embusan napasnya cukup membuatku tenang. Ini tanda Mama masih hidup dan aku lega.

Aku biarkan Mama sendirian di kamar. Sepertinya, Mama butuh istirahat.

"Gimana, Kak?" tanya Tante Lily yang sedang duduk sambil memangku Kara.

Kara terlihat jauh lebih tegar dibanding Mama atau aku. Mungkin karena dia masih kecil, jadi belum terlalu paham arti kematian yang sebenarnya. Tapi, sikap Kara malah membuatku lebih tenang. Seenggaknya, aku nggak harus repot mengkhawatirkan Kara.

"Biar istirahat dulu," jawabku setelah duduk di samping Tante Lily.

Ruang keluarga ini sepi, padahal ada empat orang di sini. Tante Lily asyik membelai rambut Kara yang sibuk bermain HP milik Tante Lily. Awan tidur di bawah dengan beralas karpet. Aku heran kenapa dia bisa gampang banget tidur. Awan itu kalau sudah mengantuk, nggak peduli ada bom nuklir juga bakal tetap tidur. Mungkin dulu waktu Tante Lily hamil Awan itu ngidam makan kasur. Makanya, sekarang dia pelor, alias nempel langsung molor.

"Kak, besok Tante dan Awan pulang ke Jogja. Tante nggak bisa lama-lama ninggalin Om Nafi," kata Tante Lily tiba-tiba.

Sebenarnya, aku sangat berharap pembicaraan ini nggak pernah terjadi. Kehilangan Papa sangat menyakitkan, apalagi Mama butuh dukungan lebih sekarang. Aku sepertinya nggak akan sanggup mengurus semua ini sendirian.

Harapanku cuma Tante Lily. Tapi, Tante Lily nggak mungkin berada di sini selamanya. Om Nafi, suaminya, sedang sakit. Kaki kanannya terpaksa diamputasi karena kecelakaan dua bulan lalu. Mobil Om Nafi ditabrak bus dari arah depan sampai hancur. Beruntung, Om Nafi selamat, hanya kakinya terpaksa diamputasi. Seenggaknya, Om Nafi masih hidup, nggak kayak Papa.

Saat ini Om Nafi dirawat ibunya yang sudah berumur enam puluhan tahun, aku lupa umur pastinya. Tante Lily jelas nggak tenang meninggalkan suaminya terlalu lama. Aku juga akan merasa sangat berdosa jika harus membebani Tante Lily lagi.

Tapi, tanpa Tante Lily, aku bisa apa?

"Kakak gimana? Kak Vio punya rencana apa buat ke depannya?" tanya Tante Lily lembut.

"Nggak tau, Tante. Kalau ditanya gitu, aku masih bingung. Yang jelas, aku harus ngerawat Mama dan Kara," jawabku jujur. Sama sekali nggak ada bayangan yang menyenangkan tentang masa depan sekarang.

Punggungku diusap lembut, Tante Lily mencoba menghibur. "Kakak pasti bisa. Ingat kalau Allah nggak akan memberikan cobaan yang nggak sanggup dilalui umat-Nya. Allah yakin Kak Vio bisa. Tante juga percaya Kak Vio mampu."

Sebenarnya, perkataan Tante Lily sekarang terdengar menyebalkan. Baru tiga hari Papa meninggalkan kami saja, rasanya sudah menyedihkan begini. Gimana selanjutnya? Gimana besok, bahkan lusa dan hari-hari lain? Hidup seperti apa yang harus aku lalui sekarang?

"Tante bakal usahain buat sering datang nengokin kalian."

Keputusan Tante Lily buat pulang sudah nggak bisa ditahan lagi. Aku cuma bisa menatap kepergian Tante Lily dan Awan dalam diam. Sekarang, hanya ada kami berempat di rumah ini. Aku yang memegang kendali saat ini. Aku yang jadi nahkoda keluarga ini. Kenyataan ini terlalu mengerikan dan berat banget.

Setiap pagi, aku bangun seperti biasanya. Bedanya, kali ini nggak ada yang mengomel karena aku bangun kesiangan. Aku memang belum berniat masuk kuliah lagi. Kara juga sudah mendapatkan izin dari sekolah buat tinggal di rumah sementara. Seminggu waktu yang diberikan pihak sekolah buat Kara menyesuaikan diri.

Beruntung, aku masih punya Mak Oci yang membantuku mengurus rumah. Dengan sabar, Mak Oci melakukan tugasnya seperti biasa. Selama ada Mak Oci, urusan rumah tangga aman. Aku cuma perlu sedikit meringankan pekerjaannya dengan merawat Mama. Setiap pagi, aku juga harus mengantarkan Kara sekolah sebelum akhirnya berangkat ke kampus. Sesekali kalau kuliah dimulai siang atau bahkan nggak ada kelas, aku juga bertugas menjemput Kara, menggantikan Mak Oci.

Kegiatan kuliahku lumayan menyita waktu. Selain waktunya yang bisa sampai sore, aku juga dibuat pusing dengan tugas yang ternyata banyak banget. Aku terpaksa nggak ikut kegiatan mahasiswa lainnya. Nongkrong bareng teman juga sama sekali nggak bisa kulakukan. Selepas selesai kelas, aku harus segera pulang. Ada Mama yang butuh bantuanku.

Walau sebenarnya kegiatan favorit Mama sekarang cuma duduk dalam diam, aku tetap harus lebih banyak waktu berada di sampingnya. Sesekali, Mama akan berteriak memanggil Papa yang waktunya nggak bisa aku prediksi kapan datangnya. Mak Oci nggak pernah mampu menahan Mama sendirian karena tenaga Mama mendadak jadi lebih kuat.

Aku merasa cukup lelah dengan rutinitas baruku. Sebelumnya, aku cuma perlu fokus ke urusanku sendiri. Sekarang semua berubah. Aku bahkan harus mengatur keuangan yang sama sekali nggak pernah kupegang. Dulu aku cuma tinggal merengek ke Papa kalau pengin beli sesuatu. Sekarang aku harus mengambil sendiri uangnya dari rekening Papa dan Mama. Beruntung beberapa kali Mama dan Papa memintaku membayar belanjaan di kasir. Jadi, aku hapal banget nomor pin kartu atm mereka. Beruntung juga Papa selalu memberikan kartu ATM miliknya ke Mama. Kalau nggak, kartu ini akan hilang bersama seluruh isi dompet Papa lainnya.

Di rekening Papa dan Mama masih banyak uangnya. Perusahaan tempat Papa bekerja juga memberikan santunan yang cukup besar sebagai penghargaan buat Papa yang sudah bekerja hampir sepuluh tahun lamanya. Aku cukup mengeluarkan duit buat membeli makanan, membayar listrik dan pulsaku, obat Mama, gaji Mak Oci, biaya sekolah Kara, juga uang jajan kami berdua. Harusnya hidupku cukup mudah.

Hari ini aku pulang agak telat. Dosen pengantar akuntansi dengan seenaknya mengganti jam kuliah dari siang ke sore hari. Badanku sudah bau keringat dan dosa-dosa. Kepalaku juga panas sampai berasap dan hampir bercabang dua. Aku capek banget hari ini.

Kara menyambutku dengan rentetan cerita kejadian yang dialaminya di sekolah. "Masa Cia punya tas baru, Kak. Tasnya ada Elsa-nya. Lucu banget, deh."

Kuempaskan tubuhku ke sofa ruang keluarga. Suara Kara yang cempereng mengusikku. Telingaku berdengung. Ada gemuruh di dalam kepala yang membuatku pusing.

"Kata Ninit, dia juga mau beli tas kayak itu." Kara masih terus bercerita walau aku nggak meresponsnya. "Aku juga mau beli tas itu."

Aku memejamkan mataku. "Dek, diem dulu, ya. Kakak capek banget," pintaku masih dengan mata terpejam.

Kara nggak mengatakan apa pun. Tanpa perlu melihat, aku tahu dia pergi meninggalkanku. Mungkin dia kembali ke kamarnya, bermain dengan semua bonekanya seperti biasa.

Waktu mataku terbuka, Mak Oci lewat sambil membawa piring makan. "Mama udah makan, Mak?" tanyaku. Aku menggeser dudukku untuk memilih posisi yang lebih nyaman.

Mak Oci berhenti. "Biasa, Kak. Mama cuma mau makan sedikit." Mak Oci menggeleng. "Tapi, alhamdulillah hari ini nggak histeris lagi."

Kupijat tengkukku. Aku bingung harus bagaimana. Sudah tiga bulan, tapi Mama sama sekali nggak menunjukkan perubahan yang membaik. Kondisinya masih sama seperti waktu pertama kali mendengar kabar kematian Papa. Hampir sepanjang hari Mama memilih mengurung diri di kamar. Suaranya nggak terdengar lagi selain buat memanggil Papa. Matanya kosong, nggak ada harapan hidup sama sekali. Kalau nggak disuapi, Mama bisa betah nggak makan berhari-hari.

Rumah ini jadi sepi banget. Dulu, jam segini kami asyik ngumpul di ruang keluarga atau mengelilingi meja makan. Mama pasti sudah bikin cemilan. Papa yang baru pulang selalu langsung memeluk dan menciumi kami bergantian tanpa mau repot cuci tangan atau mengganti pakaiannya. Kalau ada virus mematikan di luar sana yang tanpa sepengetahuan Papa menempel di bajunya, kami sekeluarga bisa langsung terinveksi.

Aroma keringat Papa masih jelas aku ingat. Dulu, aku benci banget baunya. Ternyata sekarang aku bisa kangen dengan aroma yang mirip bau fermentasi tape itu.

"Kak, ini ada surat." Mak Oci kembali dengan selembar amplop putih dengan garis biru di bagian atasnya.

Aku menerimanya dengan bingung. Logo lima tombak yang diikat dengan pita tercetak jelas di bagian sudut kiri atas. "Roscil Bank." Aku membaca nama yang tertera di bagian samping logo itu.

Ini bank swasta yang hampir menyaingi bank BUMN. Aku tahu Papa punya rekening di sana. Tapi, kartu atm yang kupegang bukan dari bank ini. "Apa ini, Mak?" tanyaku bingung.

"Emak nggak paham. Coba buka aja." Mak Oci ikut penasaran. Dia duduk di sampingku, ikut memantau amplop yang kupegang.

Segera kurobek bagian penutup amplopnya. Selembar kertas putih penuh tulisan semakin membuatku penasaran. Perlahan kubaca setiap kata yang tercatat di atasnya. Kalimatnya cukup panjang, tapi mudah dipahami. Seketika kepalaku berdenyut hebat bersamaan dengan mataku yang menangkap tulisan dengan huruf yang sengaja dicetak tebal.

"Cicilan rumah ini sudah telat tiga bulan. Kalau nggak dibayar, rumah ini bisa disita." Aku menatap Mak Oci ngeri.

 

Daftar Chapter

Chapter 1: Dream Come True

1,723 kata

GRATIS

Chapter 2: Sad Story

933 kata

GRATIS

Chapter 3: Deep Sleep

1,079 kata

GRATIS

Chapter 4: Tears

910 kata

GRATIS

Chapter 5: Funeral

1,160 kata

GRATIS

Chapter 6: New Normal

1,661 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 7: New Job

1,829 kata

GRATIS

Chapter 8: Fired

1,677 kata

GRATIS

Chapter 9: New Bussiness

1,771 kata

GRATIS

Chapter 10: Old Friend

1,679 kata

GRATIS

Chapter 11: Sugar Baby Wanna be

2,078 kata

50 KOIN

Chapter 12: Mission Failed

1,611 kata

50 KOIN

Chapter 13: Confiscated

1,576 kata

50 KOIN

Chapter 14: Separation

1,694 kata

50 KOIN

Chapter 15: Independent Day

1,622 kata

50 KOIN

Chapter 16: The End of The Struggle

1,451 kata

50 KOIN

Chapter 17: Former Sugar Daddy Candidate

1,411 kata

50 KOIN

Chapter 18: New Room

1,203 kata

50 KOIN

Chapter 19: Grumpy Oldman

1,341 kata

50 KOIN

Chapter 20: Goodnight

1,419 kata

50 KOIN

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!