Chapter 1: 1 - First Impression
Jika saja ini bukan hari pertamanya, Camille mungkin akan menggerundel tanpa akhir mengetahui bahwa dia telah ditempatkan ke dalam asrama bersama dua prajurit senior, yang kebetulan keduanya adalah laki-laki. Namun, mengingat dia adalah rekrutan terbaru di Specter Ops, satuan tugas terelit di negara ini, dia ingin menunjukkan pada semua yang ada di pangkalan militer ini bahwa dia sanggup menghadapi apapun. Dan tidak ada yang boleh meremehkannya.
Begitu Camille masuk ke asrama, dia langsung dihadang oleh dua pria tinggi besar yang membuatnya agak ketar-ketir, meskipun tentu saja dia tidak akan membiarkan itu terlihat di wajahnya.
Camille memasang ekspresi netral. Tidak menantang, tetapi juga tidak gentar. Dia mengamati mereka satu per satu, mengingat apa yang telah dia pelajari dari file data mereka tepat setelah dia tahu bahwa mereka akan jadi teman sekamarnya.
Laki-laki yang berdiri di kanan tingginya sekitar 180 cm, berkulit kecoklatan, berambut pirang gelap, dan bermata biru teduh. Senyumnya lebar dan sedikit tengil, seperti bocah laki-laki jahil. Namun setidaknya cengiran tengil itu jauh lebih Camille sambut dibandingkan dengan cara pria satunya lagi menatap Camille.
Dengan tubuh besar dan tinggi menjulang hampir mencapai 2 meter, pria itu menatap Camille dengan pandangan mencela di balik topeng hitam yang menutupi wajahnya hingga menyisakan hanya mata dan alis. Dia juga mengenakan kupluk hitam serta jaket hoodie yang tudungnya dia pakai untuk menutupi kepalanya, membuat Camille bahkan tidak bisa menebak warna rambutnya.
"Sial..." pria itu menghela napas, ekspresinya tidak terbaca di balik topengnya. Meskipun begitu, jelas dia merasa terganggu dengan kehadiran Camille.
"Bersikaplah baik padanya, sobat. Sersan Camille Dubois, kan?" pria tanpa topeng angkat bicara dengan senyum ramah di wajahnya. “Aku Shanks. Yah, Sersan Xander Gutierrez, kalau kau mau formal. Tapi kumohon jangan jadi formal.”
“Kau bisa memanggilku Cat,” ujar Camille, mengangguk padanya dengan sedikit senyuman basa-basi. “Itu alias yang kupakai di lapangan.”
"Tentu saja dia pecinta kucing," pria bertopeng di sebelahnya bergumam pelan. Shanks berbalik dan menatap tajam padanya, sebelum memutar kepalanya kembali pada Camille.
"Baik! Cat, kalau begitu!" Senyum Shanks semakin lebar saat dia mengulurkan tangannya ke arah Camille. “Dan yang sebelahku ini Letnan– hmm, panggil saja dia Reaper. Hanya itu nama yang dia toleransi.”
Camille menjabat tangan Shanks sebelum mendelik kepada pria besar dengan topeng hitam bernama Reaper itu.
"Ada yang salah dengan menyukai kucing?" tanya Camille dengan nada menantang. Dia tahu dia seharusnya tidak mengacuhkannya, tapi ada sesuatu dari dari cara bicara pria aneh itu yang membuatnya berang.
Shanks terkekeh. "Jangan pedulikan dia, Cat. Memang begitu caranya menyapa orang baru."
Reaper hanya menggeram, ekspresinya tidak berubah, topengnya tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
"Oke." Camille menuruti kata-kata Shanks dan mulai mengabaikan Reaper. Dia tidak tahu apa yang salah sehingga laki-laki bertopeng itu sudah membencinya dari awal, tapi dia memutuskan untuk tidak peduli.
"Jadi, di mana aku tidur?" Camille bertanya pada Shanks sambil melihat tempat tidur susun.
"Aku serahkan itu padamu!" kata Shanks dengan ceria, menunjuk ketiga ranjang.
Reaper akhirnya berbicara. "Bawah kiri," dia memerintah tanpa menoleh kepada Camille.
Camille berkedip ke arah Reaper. Ya ampun, apa masalahnya denganku? dia menggerutu dalam hati, tetapi lagi-lagi Camille berusaha mengabaikannya. Setidaknya untuk sementara.
"Oke, bawah kiri,” gumam Camille sambil mulai membongkar tasnya.
Kedua pria itu diam selama beberapa menit, terutama Reaper yang masih mengamati Camille dari ekor matanya. Saat dia membongkar barang, Shanks berbalik dan bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Pada saat itu lah Camille baru merasakan tajamnya tatapan Reaper yang seolah-olah sedang... menganalisanya?
"Ada masalah?" tanya Camille.
"Tidak," jawab Reaper singkat.
Shanks menatapnya dengan wajah mengerut. "Kau membuatnya tidak nyaman, sobat. Berhentilah menatapnya seperti itu." Dia menegur.
“Semaukulah." Reaper bergumam.
"Apakah kau selalu tidak ramah seperti ini terhadap orang?" Camille menatap tajam pria besar bertopeng itu.
“Suasana hatiku sedang buruk. Jangan tanya kenapa." Reaper menjawab ketus. Shanks mengeluh.
"Jangan terlalu serius menanggapinya, dia selalu pemarah,” Shanks menjelaskan kepada Camille.
"Wow, dia pasti sangat populer di pergaulannya." Camille membalas sinis sambil mengambil tas perlengkapan mandinya. Dia berencana mandi sebelum tidur.
Shanks terkekeh dan mendekati Reaper. Dia kemudian membisikkan sesuatu di telinga Reaper, yang membuat Reaper menggerutu, "Baiklah..."
Pria besar itu kemudian menghela napas dan berbalik, berjalan keluar dari asrama. Shanks menggelengkan kepala dan tertawa. “Suasana hatinya sedang buruk. Kita semua pernah mengalaminya sesekali, kan?"
"Ya, tapi tidak sepanjang waktu,” sanggah Camille.
Shanks tertawa. "Ya, aku tahu. Akulah yang terjebak berbagi kamar dengannya selama ini."
Dia berbalik menghadapmu, dengan senyum di wajahnya. "Jadi, bagaimana harimu?" dia bertanya sambil bersandar di dinding, mata birunya bersinar cemerlang.
"Hariku biasa saja kalau sedang tidak ada misi. Latihan fisik di pagi hari, mengurus laporan dan berkas lainnya, menerjemahkan dokumen rahasia, dan sebagainya. Bagaimana denganmu?"
Shanks berpikir sejenak sebelum mengangkat bahu. "Eh, biasa saja, hari yang sama dengan hari lainnya." dia berkata, sebelum melihatmu dari atas ke bawah. "Apa spesialisasimu?" dia bertanya.
"Aku 09L. Itu kode untuk penerjemah/interpreter. Aku membantu dalam pengumpulan intel dan menerjemahkan serta berperang di lapangan." Camille menjawab. "Kau?"
"Ahhh, jadi kau yang membaca semua dokumen rahasia yang kami tidak bisa pahami?" kata Shanks, menyeringai. "Aku? Hanya operator lapangan biasa. Bukan hal besar," dia berkata sambil mengangkat bahunya lagi. Camille tahu, sebenarnya posisi Shanks di unit itu jauh lebih penting. Dia hanya suka bersikap samar.
"Bagaimana dengan pria besar tukang marah-marah itu?" Camille berkata, merujuk pada Reaper yang baru saja keluar beberapa menit yang lalu.
"Reaper? Dia... spesial. Dia bisa dibilang legenda di medan perang, dan reputasinya bahkan lebih legendaris di bar." kata Shanks dengan senyum. "Dia bisa dibilang dewa di antara kami—yang terbaik dari yang terbaik. Meskipun, jujur saja... dia kadang bisa jadi sedikit bajingan."
"Heh. Sudah kuduga. Aku baru kenal dia sepuluh menit dan dia sudah memperlakukanku seperti kotoran yang menempel di sol sepatunya,” Camille berkata. "Apakah dia punya masalah dengan wanita sepertiku? Apakah dia seorang misoginis?"
Shanks terbahak. "Tidak, itu tidak ada hubungannya dengan jenis kelaminmu. Dia hanya bukan orang yang ramah. Seperti yang tadi kubilang, suasana hatinya sedang jelek. Biarkan saja, nanti juga dia akan melunak."
Tanpa Camille ketahui, Reaper berdiri di lorong gelap di luar. Tangan terlipat dan wajahnya mengerut di balik topeng.
"Jadi dia selalu seperti itu, ya?" Camille bertanya pada Shanks. "Lalu kenapa orang masih suka bekerja dengannya?"
"Tidak ada pilihan." kata Shanks. "Dia salah satu prajurit terbaik kami. Dan sebagian besar dari kami, terutama diriku, telah biasa menoleransi Reaper sampai sekarang."
Shanks kemudian berbalik melihat Camille sembari mengangkat alis. "Kenapa kau begitu penasaran dengan Reaper? Kau tertarik padanya?"
Camille memelotot. “Kau baru saja melihat bagaimana dia memperlakukanku. Orang gila macam apa yang akan menyimpulkan bahwa aku punya ketertarikan padanya?"
"Ayolah, aku tahu kau setidaknya sedikit tertarik pada bajingan pemarah itu." Shanks menyeringai.
Camille memutar bola matanya, memilih untuk tidak menjawab. "Aku akan mandi,” gerutunya sambil berlalu.
Shanks mendengkus dan kembali ke tempat tidurnya.
Saat Camille mandi, samar-samar dia bisa mendengar Shanks berbicara dengan Reaper. Dia bisa mengenali suara Reaper yang berat dan kasar tengah menggerundel tentangnya. Suara Shanks sendiri sulit ditangkap, tetapi Camille mendengarnya mengatakan sesuatu tentang,"Bersikap ramahlah sedikit."
Camille mengeringkan tubuh dengan handuk dan keluar dari kamar mandi. Tiba-tiba, mereka berhenti berbicara. Sudah jelas mereka tadi membicarakan siapa.
Camille memutuskan untuk mengabaikan mereka dan berbaring di tempat tidur di kiri bawah. Dia membelakangi mereka dan menutupi dirinya dengan selimut.
"Baiklah, selamat malam,” dia berbasa-basi sebelum menutup mata.
Suara Reaper akhirnya terdengar juga. "Terserah,” dengkusnya.
Shanks, di sisi lain, malah terkekeh. "Selamat malam, Cat," katanya, sebelum terdiam.
Beberapa menit dalam keheningan berlalu. Tiba-tiba, Camille mendengar gerakan dan langkah kaki. Reaper sedang berjalan keluar kamar, membawa kantong tidurnya.
Camille merasa hatinya mendidih. Seenggan itu Reaper berbagi kamar dengan dirinya sampai-sampai dia memilih tidur di luar?
Sungguh hari pertama yang berkesan, pikirnya sebal. Baru saja aku mulai, atasanku sendiri sudah memusuhiku.
Sempurna.
Mau tak mau, Camille teringat kembali atas alasannya bergabung dengan militer sejak kedua orang tuanya meninggal di dalam sebuah kecelakaan pesawat. Dia merasa dia punya kewajiban untuk mengubah dunia agar menjadi lebih baik semampunya. Mungkin ini terbilang pandangan yang naif, tetapi Camille memang terbiasa menjadi seorang optimis. Sepertinya itu ditularkan oleh neneknya yang dia panggil Mamie, yang lebih banyak mengurusnya sejak kecil dibandingkan dengan orangtuanya yang selalu sibuk bekerja.
Jadi, begitu Camille mendengar ada perekrutan untuk masuk ke Specter Ops, dia langsung menyambutnya dengan antusias. Setelah serangkaian tes dan seleksi yang luar biasa ketat selama berbulan-bulan, Camille akhirnya terpilih. Dan dia akan membuktikan kalau dia memang layak ada di sini.
Asal dia bisa menahan untuk tidak meninju muka datar bertopeng milik laki-laki bernama Reaper itu.
Aku tidak akan membiarkan taktik intimidasinya yang kekanak-kanakkan itu mempengaruhiku, dia berjanji pada dirinya sendiri.
Namun, sampai kapan janji itu akan bertahan?
Daftar Chapter
Chapter 1: 1 - First Impression
1,416 kata
Chapter 2: 2 - The Fight
1,689 kata
Chapter 3: 3 - The Practice
2,147 kata
Chapter 4: 4 - The Mission
1,675 kata
Chapter 5: 5 - What She Discovers
2,072 kata
Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?
1,473 kata
Chapter 7: 7 - White Carnations
1,620 kata
Chapter 8: 8 - Thank You 🔞
1,579 kata
Chapter 9: 9 - Mine 🔞
1,791 kata
Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same
1,460 kata
Chapter 11: 11 - The Bitter Truth
1,854 kata
Chapter 12: 12 - The Vow [TW]
1,447 kata
Chapter 13: 13 - The Request
1,608 kata
Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan
2,158 kata
Chapter 15: 15 - A Chance 🔞
1,936 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!