Chapter 2: 2 - The Fight
Dua minggu berlalu. Dua minggu penuh latihan fisik, latihan taktis, dan persiapan lain untuk misi-misi yang akan datang. Dua minggu yang sangat menguras ketahanan mental dan fisik Camille.
Reaper masih saja memperlakukan Camille seperti sampah.
Kadang-kadang dia bahkan berpura-pura Camille tidak ada sama sekali, menolak melihat atau mendengarnya selama pelatihan ataupun ketika mereka tengah berada dalam asrama. Seolah-olah Camille adalah udara kosong. Meski dongkol, dia masih berusaha bersabar.
Sampai suatu hari, ketika Reaper dengan terang-terangan mengabaikan Camille yang mencoba berbicara langsung dengannya, perempuan itu pun sampai ke titik muak. Dia meledak. Camille memutuskan untuk mengkonfrontasi pria besar itu di gudang senjata saat makan siang, ketika tidak ada orang di sekitar mereka. Dia tidak mau masalahnya dengan Reaper menjadi tontonan rekan-rekan sejawatnya.
Setelah membanting pintu ruang senjata, Camille berteriak, "Apa masalahmu denganku, bajingan?!"
Reaper menatap tajam dari balik topengnya. Mata coklatnya seperti mati, tidak ada kehidupan di sana.
“Aku tidak punya masalah pribadi denganmu. Kau ini hanya... gangguan. Kau berisik, tukang pamer, dan kau mengalihkan perhatian tim kita di setiap kali latihan,” gumamnya dengan nada datar. "Kau tidak punya tempat di unit ini. Kau hanya seorang sipil yang dipaksakan pada kami."
Dia berbalik dan mulai berjalan pergi sebelum Camille bisa mengatakan apapun. Namun tentu saja, perempuan itu menolak untuk mundur.
"Aku bukan sipil biasa, brengsek! Aku seorang sersan tentara dengan spesialisasi dalam linguistik dan pengumpulan intelijen. Aku pantas dihormati sama seperti anggota tim lainnya! Hanya karena kau mesin tak berperasaan tidak berarti aku akan membiarkanmu memandang rendah padaku seperti aku kotoran di bawah sepatumu!"
Reaper hanya memandangi Camille dengan tatapan dingin menusuk, kentara terlihat menahan emosinya. Reaper jarang kehilangan kesabaran. Namun, sekalinya itu terjadi, dia bisa menjadi sangat menakutkan.
"Oh, aku mesin tak berperasaan, begitu?" desisnya, wajahnya menyala dalam amarah. "Apakah ini cara kau memperlakukan seseorang dengan 15 tahun pengalaman militer? Seseorang yang berperang dalam perang yang tak terhitung jumlahnya? Apakah ini cara kau berbicara dengan mereka yang mendedikasikan hidup mereka untuk menjaga keselamatan rakyat kita?" Reaper mengepalkan tinjunya dan terlihat siap untuk mematahkan leher Camille.
"Dan kau pikir aku tidak berdedikasi? Mengapa kau pikir aku memilih berada di sini? Aku TIDAK akan membiarkanmu meragukan integritasku sebagai tentara barang sedetik pun!" Camille berseru dengan menggelegak.
Reaper meraih kerah gadis itu dan menabrakkan tubuhnya ke dinding. Dia melakukannya dengan sangat mudah, mengingat betapa jauhnya perbedaan ukuran dan tinggi di antara mereka berdua. Dia masih menahan diri, tetapi kemarahannya sekarang benar-benar mentah.
"Seorang prajurit sejati mengorbankan segalanya demi keadilan. Hidupmu, jiwamu, kebahagiaanmu, segalanya." Nada Reaper masih datar, tetapi Camille bisa merasakan emosi balik kata-katanya, seperti nyala api yang diredam.
"Jadi, Cat, katakan padaku, apakah kau benar-benar memiliki dedikasi yang dibutuhkan untuk berada di unit ini?"
Meskipun Reaper hampir dua kali lebih besar dari Camille, dia tidak gentar sedikitpun ketika pria itu meraih dan membantingnya. Camille terlalu murka.
“Kau tahu dedikasiku tidak perlu dipertanyakan!” kau berteriak. "Jangan berpura-pura tidak menyadarinya. Akui saja bahwa kau terlalu buta oleh ego sialanmu untuk melihat bahwa aku bisa lebih baik darimu di lapangan!"
Reaper terdiam, tatapannya terkunci padamu, ekspresinya tetap tidak berubah. Camille masih menatapnya dengan nyalang dan napas terengah-engah. Memang ini yang dia inginkan, yaitu untuk membuat Reaper meresponsnya, tapi apa konsekuensinya?
Reaper kemudian melepaskan Camille dan menjauh. Suaranya masih datar, tetapi dia bisa tahu Reaper sangat marah.
“Besok, kau dan aku akan bertarung,” dia berkata. “Buktikan padaku kalau kau tidak hanya asal bicara.”
“Bersiaplah,” lanjutnya, sebelum berbalik dan pergi.
"Oh, aku tahu aku akan menang!" Camille berteriak lantang pada sosoknya yang menjauh. "Dan setelah aku menang, kau akan mengemis minta maaf padaku!"
*
Hari itu tidak seperti biasanya. Pangkalan sedang sepi, tidak ada latihan fisik maupun persiapan misi. Semua orang tampaknya sedang bersantai, entah di kamar masing-masing atau di ruang rekreasi. Saat Reaper tiba di ruang latihan bertarung, dia melihat Camille bersandar di dinding dengan tangan bersilang, tengah menunggunya.
"Kau siap, Cat?" Reaper mendesis.
“Menurutmu?” Camille menjawab sengit.
Camille menyadari dia tidak mempersenjatai dirinya, seolah benar-benar yakin bahwa Camille akan kalah. Camille bertekad untuk membuktikan dia salah. Hanya karena orang takut padanya dan ukuran tubuhnya menjadikannya sama saja dengan seorang raksasa, Camille tidak takut padanya. Dia sudah sering berlatih untuk momen seperti ini. Lagipula, dia tidak dipanggil 'Cat' tanpa alasan. Julukan itu disematkan padanya karena kelincahan dan kecerdikannya
Reaper mengamati Camille dari atas ke bawah. Dia meletakkan tangannya di belakang punggung, wajahnya sepenuhnya tanpa ekspresi seperti biasa.
Mereka berdua berdiri berhadapan di ruang bertarung yang luas. Cahaya yang menerangi ruangan itu cukup untuk membuat mereka saling melihat dengan jelas. Di mata Camille, Reaper tampak benar-benar diam seperti patung. Tidak satu pun ototnya bergerak. Namun Camille tahu benar bahwa pria itu sedang mempersiapkan serangannya.
Reaper menerjang lebih dulu, tinjunya diarahkan tepat ke kepala Camille. Dia merunduk cepat, merasakan angin saat pukulannya meleset beberapa inci. Dia melangkah ke samping, mengarahkan pukulan cepat ke rusuknya. Reaper mendengkus, tapi membalas dengan pukulan kuat. Camille menangkis dengan lengan bawahnya, tetapi kekuatannya membuatnya terhuyung ke belakang.
Dia segera kembali berdiri, fokus pada strateginya. Dia tahu dia tidak bisa menandingi kekuatannya secara langsung, tapi dia bisa mengelabuinya. Dia berputar mengelilingi Reaper, ringan di kakinya, mencari celah.
Reaper menerjang lagi, kali ini mencoba menangkapnya. Camille memutar tubuhnya keluar dari cengkeramannya, menggunakan momentum Reaper untuk memberikan tendangan tajam ke belakang lututnya. Dia menggeram kesakitan, tetapi tidak jatuh. Sebaliknya, dia berbalik dan mengenai bahunya dengan pukulan kuat, menjatuhkannya ke tanah.
Rasa sakit menjalar di lengan Camille, tetapi dia tahan dengan menggertakkan giginya. Dia seketika berguling menjauh saat Reaper mengarahkan tendangan lagi. Dia bangkit kembali, adrenalin mengalir deras di nadinya. Dia harus tetap fokus. Dia harus tetap cepat.
Saat Reaper mendekat, Camille mengingat latihannya. Dia mengamati gerakan Reaper, memprediksi serangan berikutnya. Ketika Reaper melayangkan pukulan lagi, Camille menangkisnya, berputar untuk memberikan pukulan siku ke sisi tubuhnya. Reaper terhuyung, dan Camille memanfaatkan kesempatan itu, melancarkan serangkaian pukulan ke bagian tengah tubuhnya.
Reaper menggeram. Camille tahu dia murka. Camille menghindari pukulan pria itu, berputar masuk dan keluar dari jangkauannya. Dia bisa melihat kemarahan di mata Reaper, rasa frustrasi yang semakin memuncak. Reaper kuat dan besar, tetapi tidak sepresisi dirinya. Camille bisa menggunakan itu untuk melawan pria itu.
Camille berlari maju dan memanjat Reaper seperti pohon dalam gerakan yang cepat, sebelum melilitkan siku bagian dalam di lehernya dan memeras udara darinya. Rasanya seperti mencekik patung perunggu, tetapi Camille tetap bertahan, meskipun Reaper mengerang dan mulai mengamuk. Sebelum perempuan itu bisa melakukan apapun, Reaper melilitkan tangannya ke pinggang Camille dan menggencet tubuh gadis itu ke dinding, mencoba meremukkan tulangnya.
Camille meraung kesakitan saat udara terempas keluar dari paru-parunya. Dia nyaris yakin rusuknya patah, atau setidaknya memar. Namun dia pantang menyerah. Cengkeramannya di leher Reaper semakin kencang. Dengan dorongan terakhir dan kekuatan yang tersisa, Camille menggunakan berat dan momentum pria besar itu untuk mengempaskannya ke lantai. Reaper membelalak, tampak tertegun.
Dengan napas terengah-engah, Camille tidak menyia-nyiakan waktu sedetik pun. Dia melompat, menggunakan lututnya untuk menekan lengan Reaper sementara dia melancarkan pukulan cepat ke wajahnya. Reaper mencoba melemparnya, tetapi Camille bertahan, sosoknya yang lebih kecil membuatnya sulit untuk disingkirkan. Hingga akhirnya, perempuan itu mendorong dirinya sendiri untuk bangkit, hanya untuk menekankan lututnya dengan kuat di tenggorokan Reaper.
"Menyerah!" Camille menyalak.
Jika saja dia bisa melihat Reaper di balik topengnya, dia akan menyadari bagaimana wajah pria itu sepenuhnya merah sekarang, urat-uratnya bertonjolan. Dia telah kalah dalam pertempuran, karena Camille lebih kuat, lebih cepat, lebih cekatan, lebih taktis, dan dia benci mengakuinya.
Mata Reaper terkunci pada mata Camille. Sambil mengerang, dia berkata dengan nada paling berbisa yang sanggup dia luncurkan, "Aku menyerah."
Mata di balik topengnya memelotot.
"Kau... Kau menang," kata Reaper, mengembuskan napas kesal.
"Bersumpahlah padaku bahwa kau akan memperlakukanku dengan layak!" Camille menambah tekanan pada lututnya yang berada di atas leher Reaper.
Reaper menggerung, sebelum menjawab denga suara datar seperti biasanya.
"Baiklah, aku akan memperlakukanmu dengan layak. Sekarang lepaskan aku. Kau sudah membuatku paham sekarang.”
"Baguslah," Camille mendengkus, sebelum akhirnya berdiri dan membiarkan pria itu bernapas. Tahu rasa kau, pikirnya. Kau akan belajar untuk tidak pernah meremehkanku lagi.
Reaper menggosok lehernya, menatap Camille. Untuk pertama kalinya, dia bisa melihat emosi yang tulus di matanya, dan itu bukan kemarahan, melainkan semacam… rasa hormat.
Barulah pada saat itu mereka berdua sama-sama menyadari bahwa dalam pertarungan tadi, tudung jaket dan kupluk pria itu tidak sengaja terlepas. Camille akhirnya bisa melihat rambut pirang gelap Reaper yang dicukur di sisi-sisinya. Secepat kilat, Reaper menyambar kupluknya untuk kembali dia kenakan. Dia bangkit perlahan, membutuhkan waktu beberapa saat untuk mengambil napas, sebelum berkata, "Kau adalah orang paling menjengkelkan yang pernah aku temui."
Namun, dia tampaknya tidak bisa menahan senyum saat mengatakan itu.
"Kau juga." balas Camille, masih terengah-engah setelah pertarungan yang intens tadi, tapi kemudian dia juga tersenyum lebar.
"Kau tahu, kau ini benar-benar… lain daripada yang lain," lanjutnya sembari terkekeh singkat, membuat Camille mengangkat alis, "Kurasa itulah mengapa mereka memilihmu. Mereka ingin aku tetap waspada, dan karena kerjamu memang bagus."
Untuk pertama kalinya sejak Camille mengenal Reaper, laki-laki itu akhirnya menurunkan pertahanannya. Camille tidak bisa menahan senyum puas.
"Akhirnya kau sadar juga," ujarnya. Dia menyingkirkan rambut coklat selehernya yang lengket karena keringat dari pelipisnya dan mengikatnya. Dia sudah merencanakan untuk mandi yang lama dengan air panas setelah ini. Reaper masih menggosok lehernya di bagian yang tadi Camille serang.
"Sepertinya aku harus pergi ke klinik untuk mengecek apakah ada cedera permanen yang kau sebabkan,” gerutunya, tetapi dia tidak terdengar sekasar kemarin-kemarin. “Ngomong-ngomong… Pertarungan yang bagus, Cat.”
Dia mulai berlalu, sebelum menghentikan langkahnya dan berbalik.
"Satu hal lagi," kata Reaper, "Besok, aku akan mengajarkanmu cara menggunakan pisau seperti seorang prajurit lapangan sejati."
Dengan anggukan kecil, Reaper pun berjalan keluar dari gudang senjata.
Camille tidak bisa tidak menyunggingkan senyum bangga kepada dirinya sendiri ketika dia berjalan ke kamar mandi. Rekrutan baru seperti dirinya bisa mengalahkan sang Letnan Reaper yang legendaris–salah satu tentara paling berpengalaman di dunia–dalam pertarungan tangan kosong tanpa senjata. Ini jelas tercatat dalam sejarah sebagai salah satu hari terbaik di hidup Camille.
Aliran air hangat dari shower mencuci kotoran dan keringat yang disisakan oleh pertarungannya dengan Reaper. Perempuan itu masih tersenyum lebar, merasa layak untuk angkuh.
Tetapi kemudian terpikir olehnya—
Bagaimana jika Reaper tadi sengaja menahan diri dan tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya?
Bagaimana jika Reaper sengaja mengalah?
Daftar Chapter
Chapter 1: 1 - First Impression
1,416 kata
Chapter 2: 2 - The Fight
1,689 kata
Chapter 3: 3 - The Practice
2,147 kata
Chapter 4: 4 - The Mission
1,675 kata
Chapter 5: 5 - What She Discovers
2,072 kata
Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?
1,473 kata
Chapter 7: 7 - White Carnations
1,620 kata
Chapter 8: 8 - Thank You 🔞
1,579 kata
Chapter 9: 9 - Mine 🔞
1,791 kata
Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same
1,460 kata
Chapter 11: 11 - The Bitter Truth
1,854 kata
Chapter 12: 12 - The Vow [TW]
1,447 kata
Chapter 13: 13 - The Request
1,608 kata
Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan
2,158 kata
Chapter 15: 15 - A Chance 🔞
1,936 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!