')">
Progress Membaca 0%

Chapter 3: 3 - The Practice

TheCerveza 18 Aug 2025 2,147 kata
GRATIS

Ketika Cat terbangun keesokan paginya, dia melihat sebuah selembar kertas berisi catatan kecil di atas tempat tidurnya. Rasa ingin tahunya tumbuh. Dia mengambil catatan itu dan membacanya.

"Cat, datanglah ke gudang senjata. Kutunggu. Reaper."

Ternyata pria itu benar-benar akan melatih Camille untuk memakai pisau seperti yang dia janjikan kemarin. Kata-katanya bukan omong kosong. Mau tidak mau, Camille merasa sedikit tersanjung, tetapi lekas-lekas dia singkirkan perasaan itu. 

Camille pernah melihat, dengan mata kepalanya sendiri ketika sedang latihan keterampilan senjata, Reaper melempar pisaunya tepat ke tengah target yang berjarak hampir sembilan kaki dalam waktu sekejap mata. Dia harus mengakui, Reaper adalah salah satu pengendali pisau terbaik yang pernah dia lihat. 

Tapi, ketika dipikir lagi, Reaper juga sangat hebat dalam menembak.

Sial. Ada tidak ya hal yang tidak bisa dia lakukan? Camille menggerutu dalam hati.

Sebagai prajurit yang paling payah dalam menangani pisau, Camille sadar dia tentu membutuhkan latihan yang Reaper tawarkan. Dan dia yakin, Reaper tidak semudah itu menawarkan bantuannya kepada sembarang orang.

Camille tidak bisa berhenti mencurigai bahwa mungkin Reaper memang mengalah ketika mereka bertarung kemarin. Namun pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya. Bagaimanapun juga, dia butuh sekali-kali merasa berpuas diri dalam hal yang ada kaitannya dengan musuh bebuyutannya itu. 

Dengan mempertahankan kepuasan diri itu, Camille pun berjalan ke gudang senjata tanpa keraguan lagi. Dia melihat bahwa Reaper sudah ada di sana, berdiri seperti patung besar tanpa nyawa, dengan tangan yang dimasukkan ke saku.

"Kau benar-benar datang," kata Reaper, dengan nada datar seperti biasa. "Seharusnya aku tidak membiarkanmu untuk mengalahkanku semudah itu kemarin."

"Apapun yang membuatmu bisa tidur nyenyak di malam hari, teman," Camille berusaha santai. "Jadi, dari mana kita mulai?"

Tanpa menjawab, Reaper membawa Camille ke tengah ruangan, di mana sederet pisau yang berjejer di sebuah meja menyambutnya. 

"Pilih satu," perintah Reaper dengan suaranya yang dalam dan serak.

Camille mendongak sedikit ke arah pria yang berdiri beberapa langkah darinya itu. Wajahnya yang tertutup topeng hitam hanya membalas menatap Camille dengan mata coklatnya yang seperti tanpa kehidupan. Di saat yang sama, dia seperti memancarkan intensitas yang tenang, gerak tubuhnya terkendali dan penuh perhitungan. Pantas saja banyak yang takut pada sosoknya. Dia seperti hantu tak kasat mata yang bisa membunuhmu bahkan sebelum kau menyadari dia ada.

Camille semakin yakin bahwa kemarin pria itu sengaja menahan diri.

"Ada saran?" tanyanya, meraih pisau terdekat.

Reaper melangkah lebih dekat."Kau bisa mulai dengan ini," katanya, menyerahkan pisau lempar yang seimbang. Jari-jari mereka bersentuhan singkat, mengirim kejutan tak terduga pada kulit Camille. Dia segera menjauh, sebelum menimbang-nimbang pisau itu di tangannya untuk merasakan beratnya dan menguji keseimbangannya. “Lalu?” tanya Camille.

"Pertama, kau perlu belajar bagaimana berdiri saat memegang pisau,” komentar Reaper dengan nada merendahkan. “Cara berdirimu saja sudah salah.”

Camille merengut. 

Secepat kilat, Reaper bergerak ke belakang Camille, mengatur postur tubuhnya dengan tangkas dan efisien. "Rileks, tapi tetap waspada. Kaki dibuka selebar bahu."

Camille mengikuti panduannya, otot-ototnya menegang sedikit saat disentuh. "Seperti ini?"

"Ya. Sekarang fokus padaku," Reaper mengangguk. Dia bergerak ke sampingnya, memperlihatkan cara menggenggam yang benar. "Pegang seperti ini. Ibu jari di bawah bilah, jari-jari melilit pegangan. Pegang erat tapi tidak terlalu kuat."

Camille mengangguk dan mencoba mengikuti caranya. Entah mengapa pisau di tangannya terasa lebih berat dari ketika dia menimbangnya tadi. Dia tidak mungkin gugup di hadapan Reaper, kan? Pikiran itu tiba-tiba membuatnya begitu canggung sampai dia nyaris menjatuhkan pisaunya. Reaper hanya menatapnya dengan pandangan yang hanya bisa disebut bosan.

Akhirnya, Camille berhasil meniru Reaper. "Lalu?" tanyanya lagi.

Reaper menyipitkan matanya, menilai kemajuan Camille. "Baguslah. Kau cepat tangkap,” gumamnya singkat. "Sekarang, kita mulai latihan."

Tanpa peringatan, bahkan tanpa Camille sempat berkedip, Reaper melemparkan pisau ke arahnya. Pisau itu nyaris saja menggores telinga kanannya, hanya lewat beberapa senti saja, dan menancap di dinding di belakangnya. Detak jantungnya nyaris berhenti.

"Hei!" protesnya geram. “Apa maksudnya itu?”

"Coba lempar pisaumu," Reaper mengabaikannya sembari menunjuk ke seberang ruangan. “Bidik target di sana. Lempar dengan gerakan pergelangan tangan, bukan seluruh lengan."

Sambil mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, Camille fokus pada sasaran yang dia bidik. Dia melempar pisaunya, tetapi pisau itu bahkan tidak sampai mencapai target sebelum jatuh ke lantai. Bibirnya mengerucut, menahan rasa kesal dan malu.

Reaper berjalan ke arah pisau itu dan memungutnya. "Menyedihkan,” komentarnya tajam. "Coba lagi."

Dengan mendengkus, Camille merebut pisaunya dari tangan Reaper, dan memposisikan dirinya untuk mencoba melempar lagi. Akhirnya pisau itu mendarat di tepi sasaran. Lebih baik, tapi jelas jauh dari sempurna. Camille seolah bisa merasakan pandangan Reaper yang mencela menyengat tubuhnya.

“Kau kurang berkonsentrasi," kata pria besar itu dengan nada keras. "Andalkan presisi dan kontrol, bukan kekuatan kasar."

Camille mengangguk, mencoba menyembunyikan rasa kesalnya. Dia mencoba lagi, tetapi pisau itu melenceng jauh dari sasaran. Bahunya merosot, frustrasi terlihat jelas di ekspresinya.

"Fokus, Cat," tegur Reaper, matanya berkilat dengan emosi yang Camille tidak bisa terka. “Kau seharusnya lebih baik dari ini."

"Aku mencoba," balasnya, suaranya penuh kesal. "Ini tidak semudah kelihatannya."

“Mencari-cari alasan tidak akan membantumu dalam misi," balas Reaper dengan tajam. “Buktikan padaku kau bukan cuma sekadar banyak omong kosong. Coba lagi.”

Camille menggertakkan giginya sambil mengambil pisau lain. Dia menenangkan diri, mengingat petunjuk dari Reaper, dan melemparkannya dengan segenap konsentrasi. Kali ini, pisau itu menancap lebih dekat ke tengah sasaran. Dia mengembuskan napas lega, merasa sedikit puas di tengah rasa frustrasinya.

"Lebih baik,” Reaper mengakui, meskipun nadanya tetap datar. "Tapi kamu butuh konsistensi. Coba lagi."

Mereka pun meneruskan latihan. Entah mengapa, tetapi di setiap lemparan yang baru, Camille semakin berniat untuk bisa membuat Reaper terkesan. Atau setidaknya mengakui bahwa dia cukup baik. 

Saat sesi latihan berakhir, Camille mengusap keringat dari dahinya. Dia memandang deretan pisau hasil lemparannya yang kini tertancap di sasaran. "Kurasa aku mulai menguasainya," katanya, meskipun suaranya masih ragu.

Reaper mengangguk, mengamati hasil kerja Camille. “Kau memang membaik. Tapi, perjalananmu masih jauh dari kata ‘menguasai’.”

“Lagipula,” dia melanjutkan, mendadak memutar tubuhnya untuk menghadap Camille, “Kau butuh tantangan baru.”

Camille berkedip bingung. Apa maksudnya?

“Karena kau masih pemula, aku akan membuat ini lebih mudah,” ujar Reaper. Dia berjalan mendekati Camille, tubuhnya yang tinggi besar membuat Camille kadang merasa seperti anak anjing yang berhadapan dengan beruang. 

Pria itu menunjukkan salah satu pisau miliknya yang terpasang di pinggang,

"Coba ambil pisauku," perintah Reaper.

Camille mengangkat alis. Jelas, ini akan lebih sulit dari yang tadi, tetapi dia merasa sangat tertantang.

“Baik," balasnya. Camille melangkah maju, tangannya gemetar sedikit saat mendekati pinggang Reaper. Di luar dugaan, Reaper tidak menentang usaha Camille untuk mengambil pisau di pinggangnya. Pisau itu tercabut dengan mudah.

Awalnya, Camille menyeringai karena keberhasilannya. Tanpa memberi waktu untuk Camille menyombongkan diri, Reaper kemudian mengangguk dan berkata: "Coba ambil pisau di pinggul kananku sekarang."

Camille meraih pisau di pinggul kanan Reaper, masih dengan mudah. Reaper tidak melawan, dia hanya berdiri di sana, memperhatikan Camille. Barulah saat ini Camille tertegun. Tidak mungkin semudah ini, bukan? pikirnya. Namun lagi-lagi, Camille tidak sempat berpikir panjang karena Reaper berkata lagi, “Sekarang pisau di dada sebelah kananku.”

“Um... baiklah,” balas Camille, keraguan mulai menyerangnya. Meskipun begitu, dia tetap bisa melakukannya dengan sukses, karena Reaper hanya diam mematung.

“Oke. Sekali lagi. Ambil pisau di dada kiriku,” perintah Reaper, matanya tajam menusuk Camille.

Ini pasti jebakan, insting Camille memperingatkannya.

Keraguan Camille pastilah tampak di gerakannya, karena ketika tangannya terulur untuk menarik pisau itu, Reaper dengan cepat menyambarnya dan memuntir tangannya sebelum mendorong wanita itu ke belakang. Camille terhuyung-huyung mundur. Semuanya terjadi begitu cepat.

“Kau harus lebih tangkas dari itu," kata Reaper, matanya menyipit di atas topeng tanpa-ekspresinya. "Coba lagi.”

Camille menarik napas dalam-dalam, kemudian mencoba maju lagi. Kali ini, dia bergerak lebih cepat, berhasil mencabut pisau dari dada kiri Reaper sebelum dia sempat bereaksi.  Dia mundur satu langkah, menggenggam pisau dengan erat, waspada akan reaksi Reaper.

Reaper memandangnya dengan tatapan tajam namun tenang, lalu tiba-tiba menyerang. Serangan yang begitu mendadak itu membuat Camille hampir terjatuh ke lantai. Dia berusaha mengangkat pisaunya untuk menangkis, tetapi Reaper dengan mudah memukul Camille ke samping, membuat pisau itu terlepas dari tangan wanita itu. Dengan satu gerakan yang mulus, Reaper menangkap dan menyarungkan kembali pisau miliknya itu ke dada kirinya.

“Aku baru saja mengajarkanmu pelajaran penting,” Reaper menggeram, matanya berkilat. “Jangan pernah meremehkan lawan, bahkan ketika kau pikir dia sedang lengah.”

Camille melemparkan pandangan sengit padanya. Meskipun begitu, diam-diam dia menyadari bahwa Reaper benar.

“Kita ulang lagi latihannya.” Reaper mundur, memberikan Camille kesempatan untuk memasang kuda-kuda. “Kali ini, kau harus lebih siaga. Jangan berpikir terlalu banyak, biarkan instingmu memandu."

Camille mengangguk. Dia sadar bahwa dia harus lebih fokus. Sambil mencoba mengosongkan pikirannya, dia menyerang lagi, kali ini dengan lebih percaya diri. Serangannya masih belum sempurna, tetapi Reaper melihat kemajuan dalam gerakannya.

“Lumayan,” cetus Reaper. Entah mengapa, kata-kata itu mengirimkan semangat baru kepada diri Camille, membuatnya semakin ingin membuktikan diri pada laki-laki itu.

Entah berapa lama kemudian, Camille masih saja belum sanggup mengambil pisau dari tubuh Reaper. Rasanya  semakin lelah Camille, semakin cekatan saja lelaki besar itu dalam menghalangi Camille. Reaper benar-benar membuktikan dirinya sebagai ahli pengendali pisau dengan pengalaman belasan tahun di medan perang. Meskipun begitu, Camille mulai menemukan ritmenya. Dia menghindari serangan Reaper dengan lebih terarah. Reaper masih menguasai pertarungan, tetapi Camille tidak lagi mudah terkecoh. Dia bertekad akan merebut pisau Reaper sebelum sesi latihan hari ini selesai, apapun caranya.

Bantuan datang padanya dalam wujud pengumuman lewat pelantang di ruang latihan. Suara bel yang menandakan bahwa jadwal makan malam akan dimulai lima menit lagi. 

Reaper menolehkan kepalanya selama beberapa detik.

Celah waktu itu tidak disia-siakan oleh Camille.

Dengan sisa-sisa tenaganya, Camille mendadak berlari ke depan. Reaper yang baru menyadari itu secara naluriah melindungi pisaunya, tapi alih-alih menyerang pertahanannya, Camille menggunakan cara yang sama dengan yang dia pakai saat pertarungan dengan pria itu kemarin. Dia mengangkat dirinya dengan bertumpu kepada bahu Reaper, sebelum memuntir tubuhnya untuk menyambar pisau yang masih tersarung di pinggul Reaper dan belum sempat dia lindungi. Secepat kilat, Camille mendarat di belakang Reaper, meraih lehernya dan menempelkan mata pisau di atas urat nadi lelaki itu.

"Kau bilang jangan meremehkan lawanmu, kan?" ujar Camille, menyeringai meskipun masih terengah-engah. "Nah, sama halnya denganmu."

Selama beberapa detik, Reaper tidak menampakkan reaksi apa pun. Kemudian, Camille bersumpah bisa mendengar sedikit kekehan kecil sebelum lelaki itu bergumam dengan suara beratnya, "Bagus... Sepertinya kau belajar sesuatu setelah semua ini."

Camille seketika bisa merasakan betapa dekatnya mereka sekarang. Dia seolah bisa menghitung denyut nadi leher lelaki itu, tersembunyi di balik topengnya. Aroma tubuh Reaper bahkan bisa terhidu olehnya: campuran bourbon, kulit yang disamak, dan sedikit aroma mesiu. Campuran yang terbilang aneh, tetapi anehnya pas sekali untuknya.

Sadar betapa canggung posisi ini, Camille serta merta menjauh. Dia berdeham, dan ketika Reaper berbalik, Camille pun mengulurkan pisau milik pria itu.

“Erm… Ini pisaumu,” ujarnya, berusaha terdengar tak acuh. “Terima kasih atas pelajarannya, Letnan.”

Reaper mengambil pisau itu tanpa berkata apa-apa dan menyarungkannya kembali ke pinggulnya. Meskipun Reaper membisu di balik topengnya, Camille tahu dia sedang menghakiminya dalam diam.

“Caramu kotor, sama seperti kemarin,” akhirnya lelaki itu bersuara, menggetarkan udara di sekitarnya. Bulu kuduk Camille meremang, tapi dia tetap berusaha tidak terlihat gentar.

Namun kemudian, sorot mata di balik topeng itu melunak, ketika Reaper lanjut berbicara. “Tapi aku terkesan.”

Camille menyeringai. “Wow. Kata-kata itu jika diucapkan olehmu sama saja seperti kau baru memberiku medali,” ujarnya, mencoba mencairkan suasana yang kaku. Di luar dugaan, Reaper mengeluarkan tawa kecil. Tawanya seperti kerikil yang digesek di bawah sol sepatu. Nadanya rendah, tapi di saat yang sama, menentramkan.

Reaper terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, “Kau sudah cukup meyakinkanku bahwa kau bisa diandalkan untuk unit kita.”

Dia berdeham.

“Mungkin sekarang kita bisa... berteman,” kata Reaper. Camille nyaris terbelalak karena dia bisa mendeteksi senyuman di suaranya. Namun, dia tahu dia harus mengendalikan diri di hadapan lelaki ini karena baru saja dia mulai percaya pada Camille.

“Ya, kedengarannya bagus,” ujarnya, mengabaikan bagaimana jantungnya tiba-tiba berdebar kencang. “Teman.”

Camille mengulurkan tangannya.  Reaper menatap tangan itu, dan untuk sekian detik Camille khawatir apakah dia baru saja melakukan kesalahan besar. Namun akhirnya pria besar itu mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Camille juga.

Mereka berdua hanya berdiri di sana, berjabat tangan dalam diam. Tangannya hangat dan lembut, meskipun penampilannya terlihat jelas sangat berkebalikan. Selama beberapa detik, Reaper belum mengatakan apapun, membuat Camille salah tingkah.

“Oke!” Camille segera menarik tangannya agar tidak membuat suasana menjadi lebih canggung. “Sampai jumpa lagi nanti.”

Dia bergegas keluar dari gudang senjata sebelum salah satu dari mereka bisa mengatakan apa-apa lagi.

Reaper hanya berdiri di sana, mengawasinya keluar dari gudang senjata sebelum menggelengkan kepalanya dengan senyum kecil yang tersembunyi oleh topengnya.

Saat Camille meninggalkan gudang senjata, pikirannya penuh dengan berbagai emosi yang sulit dia pahami. Di satu sisi, dia lega dan terbilang senang karena Reaper melunak padanya, bahkan sepertinya tidak berkeberatan berteman dengannya. Di sisi lain, ada perasaan yang… aneh dalam diri Camille. Perasaan yang membuatnya sadar bahwa aroma tubuh Reaper membuat perutnya seperti dipenuhi kupu-kupu.

Camille tidak mau mengakui ini keras-keras, tapi diam-diam, dia tidak sabar mendapatkan sesi latihan lain dengan Reaper lagi.

Atau lebih tepatnya, berduaan dengannya lagi.

 

Daftar Chapter

Chapter 1: 1 - First Impression

1,416 kata

GRATIS

Chapter 2: 2 - The Fight

1,689 kata

GRATIS

Chapter 3: 3 - The Practice

2,147 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 4: 4 - The Mission

1,675 kata

GRATIS

Chapter 5: 5 - What She Discovers

2,072 kata

GRATIS

Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?

1,473 kata

GRATIS

Chapter 7: 7 - White Carnations

1,620 kata

20 KOIN

Chapter 8: 8 - Thank You 🔞

1,579 kata

50 KOIN

Chapter 9: 9 - Mine 🔞

1,791 kata

50 KOIN

Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same

1,460 kata

20 KOIN

Chapter 11: 11 - The Bitter Truth

1,854 kata

GRATIS

Chapter 12: 12 - The Vow [TW]

1,447 kata

20 KOIN

Chapter 13: 13 - The Request

1,608 kata

20 KOIN

Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan

2,158 kata

GRATIS

Chapter 15: 15 - A Chance 🔞

1,936 kata

70 KOIN

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!