Chapter 5: 5 - What She Discovers
“Bahasa itu… Ibrani?” Reaper menengok ke layar komputer dari belakang kepala Camille. “Kau bisa bahasa Ibrani?”
Camille mengangguk. “Aku fasih berbicara lima belas bahasa. Ibrani salah satunya,” ujarnya sambil lalu, matanya masih fokus membaca barisan demi barisan tulisan di layar. Tanpa Camille ketahui, sudut mulut Reaper berkedut karena terkesan.
Semakin Camille menelaah dokumen-dokumen yang dia temukan, dia semakin ternganga. “Ya Tuhan… Ini mengerikan…”
“Terjemahkan untukku, Cat,” tuntut Reaper, menoleh sedikit ke pintu untuk mengecek keadaan.
“Target kita ternyata tidak hanya menyelundupkan senjata secara ilegal,” sahut Camille parau. “Dia juga memasok bom-bom fosfor untuk digunakan Israel menyerang Gaza dan Tepi Barat di Palestina. Tapi… bukan itu yang paling membuatku terguncang,”
Camille menunjuk ke sebaris kalimat di layar dengan telunjuk yang sedikit gemetaran.
“Kalimat ini artinya ‘Gunakan bom ini khusus untuk rakyat sipil.’...” ujar Camille, seluruh bulu kuduknya merinding. “Ya Tuhan… ia bertanggung jawab atas kematian begitu banyak warga tidak berdosa... Puluhan ribu anak-anak... Bayi-bayi... Bagaimana dia bisa tidur tenang di malam hari?!”
Reaper melangkah mendekat, memperhatikan kalimat yang Camille garisbawahi. Rahangnya mengeras di balik topengnya. “Bedebah,” dia mengumpat, kentara menahan amarah.
“Kita tidak bisa membiarkannya lolos begitu saja,” ujar Camille tegas. “Kita harus melaporkan penemuan kita ini.”
Reaper terlihat seperti akan mengatakan sesuatu. Camille menduga lelaki itu akan mencegahnya berbuat sembrono, apalagi memutuskan sesuatu di luar misi yang telah mereka rancang dengan rapi sebelumnya. Namun sebelum Reaper bersuara, alat komunikasi di telinga mereka berderak.
“Cat, Reaper, laporkan status kalian,” suara Kapten Ennis terdengar.
“Copy. Kami berhasil mengamankan data yang kita cari, Kapten,” balas Reaper.
“Bagus. Target juga sudah kami amankan. Aku tunggu kalian di meeting point dalam sepuluh menit. Jangan lupa–”
“Kapten, satu lagi,” Reaper cepat-cepat memotong. “Ada… temuan lain yang Cat dapatkan dari komputer target. Berkaitan dengan perang di Gaza.”
Hening sejenak.
“Kita bahas itu nanti di markas,” tegas Ennis. “Sekarang, angkat kaki lokasi sebelum waktu kalian habis. Ingat, sepuluh menit.”
“Siap.”
Camille segera memastikan semua data yang diperlukan sudah tersalin dengan baik, sebelum menyimpan pirantinya ke dalam saku dan mengangguk ke arah Reaper, pertanda mereka sudah waktunya pergi.
Keduanya menyusup ke luar kediaman si milyuner dengan relatif mudah karena kebanyakan penjaga sudah dikalahkan oleh anggota Specter Ops yang lain. Pikiran Camille sibuk dipenuhi oleh informasi mencengangkan yang dia dapatkan tadi, sampai-sampai dia tidak sempat memikirkan betapa Reaper berjalan sedikit terlalu dekat dengannya. Karenanya, saat Reaper akhirnya angkat bicara, Camille nyaris tersentak.
“Kerja bagus, Cat,” gumam Reaper dengan suaranya yang khas.
Camille menoleh. “Kau juga, Letnan,” balasnya, mengabaikan detak jantungnya yang mendadak melaju lebih cepat dua kali.
Mereka tidak berbicara lagi sampai mereka tiba di meeting point bersama anggota lainnya. Seorang laki-laki dengan kepala ditutup kain hitam sedang diapit oleh Shanks dan Blake, yang kemudian mendorongnya dengan kasar ke dalam van mereka. Dialah sang milyuner alias oligarki yang menjadi target mereka. Mulut Camille sudah gatal ingin menginterogasinya soal hubungannya dengan suplai senjata yang menargetkan rakyat sipil di Gaza, tapi dia cukup paham untuk tidak melangkahi otoritas Kapten Ennis. Jadi dia pun menaiki bagian belakang van dan tetap diam selama perjalanan pulang ke markas.
*
Tidak lama setelah mereka menahan target mereka di markas, Camille dan Reaper melaporkan penemuannya tentang peran tahanan mereka dengan pemerintah Israel. Kapten Ennis mendengarkan dengan seksama, namun dengan ekspresi yang gusar. Setelah Camille dan Reaper selesai, Ennis menyuruh mereka menunggu di luar.
Camille bersandar di dinding dengan tangan terlipat di luar ruangan Kapten Ennis. Wajahnya ditekuk. Sesekali, dia mondar-mandir ke sana kemari sambil cemberut. Dia tidak suka disuruh menunggu. Reaper mengawasinya dari sudut, matanya mengikuti gerak-geriknya.
“Bisakah kau diam sebentar?” gerutu Reaper. “Bolak-balik seperti alat setrika begitu tidak membuat semuanya lebih mudah.”
“Aku gelisah, oke?” Camille berhenti berjalan dan melotot padanya. “Negara kita terlibat dalam genosida warga sipil. Dan kita bekerja sebagai militernya. Bagaimana mungkin aku bisa tenang mengetahui ada darah orang-orang tidak berdosa di tanganku?”
“Aku tahu. Tapi menjadi tenang tidak akan membuatmu rugi,” Reaper bergumam.
Sebelum aku sempat menyanggah, Ennis melongokan kepalanya dari pintu ruangannya.
“Reaper, masuk. Menteri Pertahanan baru saja diberi tahu tentang apa yang kalian temukan, dan sekarang dia ingin berbicara denganmu secara pribadi," sang Kapten berkata. Nadanya tegas, tapi seperti memendam sesuatu. “Cat, kau tunggu giliranmu.”
Camille hampir melontarkan protes karena Reaper yang dipanggil lebih dulu padahal jelas-jelas dirinyalah yang pertama menemukan dokumen rahasia itu, tetapi dia terlalu terkejut mendengar bahwa Menteri Pertahanan ingin berbicara dengan mereka langsung.
“Menteri Pertahanan..?” Camille bertukar pandang dengan Reaper saat gugup mulai menyergapnya. Berarti ini persoalan yang sangat serius. Reaper kemudian mengangguk kepada kaptennya dan melangkah masuk.
Lagi-lagi, Camille harus menunggu. Pikirannya sibuk dengan segala kemungkinan yang akan terjadi setelah ini. Dia kembali mondar-mandir dengan gelisah, berkali-kali melontarkan pandangan pada pintu ruangan Kapten Ennis. Hingga akhirnya, pintu itu terbuka dan Reaper melangkah keluar. Ekspresinya tetap tersembunyi di balik topengnya, tetapi Camille bisa mendeteksi kegusarannya.
“Kau tidak apa-apa?” Camille langsung menegakkan tubuhnya. “Apa yang Menteri itu katakan?”
Tetapi alih-alih memberitahu itu, Reaper hanya berdiri di sana, menatap Camille. Pikiran wanita itu berpacu. Reaper memang jelas-jelas irit kata, tapi di saat itu… seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
“Cat,” dia tiba-tiba angkat bicara. “Apapun yang akan terjadi nanti, aku hanya ingin kau tahu bahwa aku menikmati bekerja bersamamu.”
Hah? Apa maksudnya? Pikiran Camille berpacu.
“Uh… Terima kasih, kurasa?” Camille mengerutkan kening.
Reaper berdeham. “Ya… Jadi… Ketika kita bekerja bersama kemarin itu… Rasanya menyenangkan. Aku menyukainya.”
Alis Camille terangkat sampai ke rambut. Pastinya Reaper tidak bermaksud seperti apa yang Camille pikirkan, bukan? Jantung Camille mulai berdegup liar. Tidak, tidak, tidak mungkin. Dia adalah seorang Reaper. Hal-hal seperti romansa tidak ada di dalam kamusnya.
Namun dia tidak bisa tidak menyadari bahwa suara Reaper berubah sedikit. Dia juga menduga wajah laki-laki itu sedikit memerah. Setidaknya, dia pikir begitu? Di balik topeng itu, Camille tidak bisa benar-benar tahu.
“Ugh, itu terdengar lebih bagus dalam kepalaku,” Reaper menggerutu. “Maksudku, Cat, kau adalah seorang prajurit yang hebat, sama sepertiku. Terbukti dengan bagaimana kita berdua bisa menyelesaikan misi kemarin dengan sukses. Jadi… kita akan jadi tim yang hebat jika bekerja bersama lagi. Dan aku berharap masih bisa berkerja bersamamu di lain kali." Reaper mengatakan, terlihat mencoba menyelamatkan situasi.
Ah, tentu saja itu yang dia maksudkan, pikir Camille, merasa bodoh karena membiarkan setitik harapan bangkit. Tidak mungkin dia melihatmu lebih dari sekadar rekan tim, Camille, dia mengomeli dirinya sendiri.
"Yeah. Aku juga harap begitu," jawab Camille, berusaha terdengar santai, meskipun benaknya bingung tidak keruan.
Tepat saat itu, Kapten Ennis menyibakkan kepalanya di pintu. "Cat? Menteri Pertahanan menunggumu."
Jantung Camille yang tadi sudah tidak teratur karena tingkah aneh Reaper kini semakin menjadi-jadi. "Ya, Pak," ujarnya sigap, sebelum melangkah masuk ke dalam ruangan Ennis. Di atas meja kerja sang kapten, sebuah laptop terbuka. Layarnya menampilkan wajah sang Menteri Pertahanan.
Camille menelan ludah dengan gugup.
“Duduk, Cat,” Ennis menyuruhnya sembari menunjuk kursi di depan laptop tersebut.
Camille duduk dengan perlahan, menegakkan badannya dengan formal dan mengangguk sopan. “Pak Menteri,” sapanya. Melihat sosoknya lewat video call dan bukan lewat tayangan televisi atau internet membuat Camille sadar bahwa sang Menteri tak ubahnya seperti pria tua biasa dengan rambut putih dan wajah lelah.
“Sersan Camille Dubois,” katanya. Matanya dipicingkan ke arah Camille. “Jadi, Andalah prajurit yang tadi Ennis ceritakan. Sekarang saya mau dengar apa yang Anda temukan selama misi terakhir Anda dari mulut Anda sendiri,” tuntut sang Menteri.
Dengan runut, Camille mulai merinci apa yang telah dia baca dalam dokumen yang dia temukan di misi terkininya, menggambarkan peran sang konglomerat yang menjadi target mereka kemarin dalam pendudukan Israel atas Palestina, termasuk permintaan bahwa bom fosfor itu hanya boleh digunakan untuk melenyapkan nyawa warga sipil. Dia juga menyebutkan jumlah korban dan hubungan kotor konglomerat itu dengan pemerintah Israel.
“Jadi, saya punya alasan yang kuat untuk meyakini bahwa konglomerat itu bukan sekadar oligarki, tetapi juga salah satu yang mempunyai andil kuat dalam genosida warga sipil di Palestina dengan berkedok perang melawan gerakan resistensi,” Camille menutup penjelasannya dengan mantap.
Sang Menteri Pertahanan terlihat mendengarkan dengan seksama saat tadi Camille memaparkan penemuannya. Setelah dia selesai, Camille berharap laki-laki itu langsung mengambil keputusan penting dalam menangani kekejaman itu. Tentu dia tidak akan tinggal diam, bukan? Negaranya selalu menjunjung tinggi hak asasi manusia dan dengan cepat turun tangan mengatasi perang-perang di negara lain. Tentunya sekarang pun begitu, bukan?
Namun ketika sang Menteri angkat bicara, apa yang dia katakan benar-benar di luar dugaan Camille.
“Semua yang Anda ceritakan tadi kepada kami memang sangat mengerikan, Sersan. Tetapi saya harus memberitahu Anda sesuatu.”
Menteri Pertahanan berhenti sejenak.
“Kami di sini sudah mengetahui semuanya dari sebelum Anda melapor.”
Camille tidak mempercayai telinganya.
“Maaf, Pak? Anda... sudah tahu…?” tanyanya dengan terbelalak. “Anda tahu tentang bom fosfor yang digunakan pada orang-orang tak berdosa?”
“Ya. Sebenarnya… semua informasi Ini adalah rahasia negara yang tidak seharusnya diketahui siapapun, tapi karena kau telah menemukannya....”
Menteri Pertahanan menarik napas.
“Pertama-tama saya harus menekankan bahwa informasi ini tidak boleh bocor kepada siapapun di luar ruangan ini. Ada lebih banyak yang dipertaruhkan di sini daripada urusan politik belaka,” lanjut sang Menteri Pertahanan, ekspresinya sangat serius. “Konglomerat yang kalian tangkap… sebenarnya ada tujuan tertentu mengapa kami memerintahkan kalian menangkapnya. Benar, dia memang telah menyelundupkan senjata dari dan untuk musuh negara, tetapi ada alasan yang lebih utama mengapa dia harus diamankan. Dia diduga akan mengungkap persoalan mengenai kerjasama kami dengan Israel soal Jalur Gaza dan Tepi Barat kepada media. Karena itu… lah kami tidak bisa membiarkan dia tetap bebas.”
Rahang Camille menganga.
“Mohon beri saya pencerahan, Pak.” Camile tidak bisa tidak angkat suara, kepalanya berputar dalam kebingungan campur keterkejutan. “Jadi maksud Anda… Tidak hanya negara kita tahu, namun juga secara aktif berusaha menutupi hal biadab ini? Bukankah ini jelas-jelas kejahatan perang dan melanggar hukum internasional?”
Menteri Pertahanan menatap Camille dengan dingin, sebelum menjawab:
“Terus terang saja, Sersan. Hal ini melibatkan orang-orang yang tidak bisa kita ganggu gugat. Mereka adalah orang-orang yang berkuasa, dan jika kita langsung mengintervensi, dampak negatifnya tidak hanya akan terasa pada seluruh gugus tugas kalian, tetapi juga hubungan internasional kita dengan banyak negara di dunia. Apakah Anda memahami hal ini, Sersan?” Menteri Pertahanan bertanya dengan tegas.
Jadi dia pikir aku akan tinggal diam begitu saja ketika bayi-bayi tak berdosa dibunuh di buaian mereka? Darah Camille mendidih. Genggamannya pada sandaran tangan kursinya mengencang hingga buku-buku jarinya memutih.
“Dengan segala hormat, Pak. Apa yang kita hadapi di sini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini lebih penting dari negara kita. Ini bahkan lebih penting dari Anda,” Camille menggeretakkan gigi, berusaha mengendalikan emosi.
“Ini juga lebih besar dari kau, Sersan,” suara Menteri Pertahanan mulai meninggi. “Ingat, informasi ini adalah rahasia. Tidak ada yang boleh mengetahui kebenarannya. Kita tidak bisa bermain-main dengan nama-nama besar yang terlibat di sini. Bukan begitu cara dunia ini beroperasi. Kau pikir dunia ini seperti negeri dongeng di kepalamu? Naif sekali kau, Dubois.”
Camille tidak gentar. “Bapak Menteri Pertahanan, Anda adalah jenderal tertinggi dari salah satu negara terpenting dan terkuat di dunia. Tentunya Anda tidak akan membiarkan diri Anda menjadi pelayan bagi orang-orang itu?” semburnya, hampir lupa dengan siapa dia sedang berbicara.
“Jaga nada bicaramu, Dubois!” Kapten Ennis menghardik.
Menteri Pertahanan mendelik kepada Camille, kentare berusaha mengendalikan emosinya.
“Saya mungkin kurang jelas dalam menjelaskan dengan siapa sebenarnya kita berurusan,” ujarnya tajam. “Kekuasaan dunia ini terletak pada orang-orang yang begitu kuatnya sehingga kita tidak bisa mengambil risiko untuk menyentuh mereka.”
Kapten Ennis mengangguk saat Menteri Pertahanan selesai berbicara.
Camille menggelengkan kepala, menolak menerima semua itu begitu saja. “Jadi, Anda hanya mengharapkan kami untuk bersikap seolah tidak terjadi apa-apa dan membiarkan ribuan nyawa tak berdosa menjadi korban? Tidakkah Anda sadar Anda ikut turut serta membunuh orang-orang tidak bersalah?”
Pandangan sang Menteri menusuk. “Itu fakta yang tidak bisa kita hindari. Tidak ada yang bisa kita lakukan,” ujarnya. “Presiden juga sudah saya kabari. Beliau memberikan instruksi yang persis sama.”
Camille baru saja mau menyanggah, ketika sang Menteri buru-buru memotong.
“Lupakan kasus ini, Dubois. Itu perintah,” katanya tegas. “Ingat, kita hanya prajurit. Aku juga pernah ada di posisimu. Memang terkadang tidak ada yang bisa kita lakukan selain menurut.”
Camille hampir saja lepas kendali dan meneriaki Menteri Pertahanan Amerika Serikat sebagai seorang pengecut. Untunglah dia masih cukup pintar untuk menahan diri. Selama sisa pembicaraan mereka, dia memutuskan untuk berpura-pura patuh.
Barulah ketika akhirnya sang Menteri memutuskan hubungan, Camille bangkit berdiri dan berjalan keluar dari kantor Ennis tanpa sepatah kata pun.
Tekadnya sudah bulat.
Dia tidak sudi menjadi bagian rezim yang menghalalkan genosida.
Dia akan mengundurkan diri dari Specter Ops.
Daftar Chapter
Chapter 1: 1 - First Impression
1,416 kata
Chapter 2: 2 - The Fight
1,689 kata
Chapter 3: 3 - The Practice
2,147 kata
Chapter 4: 4 - The Mission
1,675 kata
Chapter 5: 5 - What She Discovers
2,072 kata
Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?
1,473 kata
Chapter 7: 7 - White Carnations
1,620 kata
Chapter 8: 8 - Thank You 🔞
1,579 kata
Chapter 9: 9 - Mine 🔞
1,791 kata
Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same
1,460 kata
Chapter 11: 11 - The Bitter Truth
1,854 kata
Chapter 12: 12 - The Vow [TW]
1,447 kata
Chapter 13: 13 - The Request
1,608 kata
Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan
2,158 kata
Chapter 15: 15 - A Chance 🔞
1,936 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!