')">
Progress Membaca 0%

Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?

TheCerveza 18 Aug 2025 1,473 kata
GRATIS

Reaper tersentak kaget dan mendongak dari buku yang sedang dia baca ketika, di hari libur mereka itu, Camille tiba-tiba menghambur ke dalam sambil menyambar koper dan mulai mengemasi barangnya.

“Apa yang kau lakukan, Cat?” Reaper berseru dari atas ranjang susunnya. Dia menaruh bukunya dan melompat turun. Sekilas, Camille membaca judul buku itu - Candide, oleh Voltaire.

Camille tidak menjawab lelaki itu. Dia malah makin fokus melipat baju-bajunya dan menjejalkannya ke dalam koper. Camille biasanya tidak pernah mengabaikannya, karena dia terlalu gampang dibuat gusar oleh Reaper, jadi diamnya gadis itu membuat Reaper sadar ada sesuatu.

“Cat,” suara Reaper berubah khawatir, “Kau… tidak berpikir untuk keluar dari tim, bukan?”

Camille membanting kopernya hingga menutup. “Aku tidak bisa berpartisipasi secara aktif dalam mengubur bukti bahwa negara kita telah membunuh begitu banyak anak-anak tidak bersalah, hanya untuk melindungi diri sendiri. Begitu aku selesai berkemas, aku akan menyerahkan surat pengunduran diriku kepada Ennis."

Reaper terdiam selama beberapa detik. Ekspresinya rumit di balik topengnya, meskipun Camille tidak menyadari itu.

“Cat, kau sadar bukan kalau kita ini hanya prajurit? Kita ada untuk mematuhi perintah. Dan apapun yang diperintahkan kepada kita, bukan hak kita untuk mempertanyakan, apalagi membantahnya.”

Camille tidak menggubrisnya.

“Cat,” Reaper melingkarkan tangannya di lengan atas Camille, membuat perempuan itu berhenti berkemas. “Jangan gegabah. Ingat, kita punya misi baru beberapa hari lagi. Lupakan saja apa yang terjadi sekarang dan lakukan pekerjaan kita seperti seharusnya.”

Camille menyentakkan tangannya agar terlepas dari genggaman Reaper. Matanya nyalang karena amarah. 

"Aku bukan robot yang hanya menjalankan perintah tanpa berpikir seperti kau, Reaper,” dia mendesis. “Aku peduli. Kepedulianku sangat besar. Dan ketika aku melihat bagaimana pemerintah kita bertanggung jawab atas kejahatan perang yang mengerikan seperti itu, kau tidak bisa berharap aku hanya duduk manis dan berpura-pura bahwa tidak ada yang salah!"

Reaper mundur selangkah. Jika saja Camille bisa melihat wajahnya, dia akan tahu bahwa lelaki itu benar-benar seperti tertampar oleh kata-kata Camille. Namun, Reaper tidak berkata apa-apa, hanya memalingkan muka.

“Aku hanya tidak ingin kau melakukan sesuatu yang akan kau sesali,” tukasnya. Suara beratnya memelan. “Kau tahu betapa susahnya direkrut ke dalam Specter Ops. Sekarang setelah kita di sini, kita ada untuk menjalankan tugas dan dibayar dengan sesuai. Itu saja.”

Camille membanting kopernya menutup. "Aku tidak sudi mendapatkan uang dengan cara begini. Aku  lebih baik mati kelaparan daripada membiarkan tanganku terkotori darah orang-orang tidak bersalah.”

“Kadang itu tidak terhindarkan, Cat. Memangnya kau pikir selama kita menjalankan misi, kita tidak pernah mengorbankan orang yang tak bersalah?”

“Tidak secara sengaja, Reaper!” Camille membentaknya. “Tidak… Tidak seperti ini…” 

Kata-kata Camille surut. Dia terpekur di atas kopernya, wajahnya tertunduk. Hatinya masih sakit mengingat bagaimana Menteri Pertahanan, atas instruksi langsung dari Presiden, memerintahkannya untuk mengubur kenyataan bahwa mereka sengaja memusnahkan warga sipil di Palestina.

“Aku bergabung ke sini karena kupikir aku bisa membantu membuat dunia menjadi lebih baik,” gumam Camille parau. “Bukan… Bukan untuk mengubah dunia menjadi neraka bagi beberapa orang tertentu…”

Kata-katanya tertelan hening yang perlahan bangkit. Reaper, setelah mematung beberapa saat, memberanikan diri untuk melangkah maju. Untuk pertama kalinya selama mereka saling mengenal, Reaper meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Camille. Sentuhan Reaper menjalari tubuh Camille dengan kehangatan yang perempuan itu tidak pernah sangka Reaper bisa miliki.

“Cat, aku mengerti. Aku memahami rasa sakit hatimu. Fakta yang kita temukan ini memang sangat mengerikan,” ujarnya, nadanya penuh simpati. “Tapi… tidak sepadan untukmu untuk berhenti karena ini. Lagipula, aku tidak ingin kehilanganmu. Aku peduli padamu.”

Camille serta-merta mendongak. Sekilas, dia bisa melihat ketulusan di balik topeng tanpa ekspresi itu.

“Ya, kau adalah rekan satu timku. Tentu saja aku peduli padamu,” ujar Reaper, seperti buru-buru menambahkan.

Camille menunduk lagi, mengutuki dirinya karena berani-berani berpikir yang lain.

“Simpan saja napasmu, Reaper,” sergah Camille, mengangkat kopernya. “Aku… menghargai upayamu untuk membujukku, tapi keputusanku sudah bulat.”

“Camille…”

Camille terkesiap, seketika menghentikan langkahnya. Itu kali pertama Reaper memanggilnya dengan menggunakan nama aslinya, bukan julukannya, Cat. Dia bahkan sama sekali tidak menebak bahwa Reaper mengetahui nama itu.

“Dari mana kau tahu–”

“Aku bukan orang yang suka memohon,” Reaper memotong sebelum Camille sempat menyelesaikan pertanyaannya. “Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku mengatakan please. Tapi kali ini…”

Reaper maju selangkah, menghalangi jalan Camille. Kedua tangannya terangkat untuk menggenggam lengan atas perempuan itu. Cengkeramannya tidak lagi hangat, melainkan lebih ke… putus asa.

Please, Camille. Kumohon. Jangan pergi,” suara Reaper bergetar. “Kau… penting bagi kami. Kau penting bagiku.”

Camille menatapnya. Topeng hitam Reaper menyembunyikan segala macam ekspresi yang mungkin lelaki itu rasakan, membuatnya sedatar dan sedingin yang Camille kenal. Namun cara Reaper memandangnya… Dan keputusasaan dalam suaranya…

Perempuan itu mendesah. Hatinya perih, dan permohonan Reaper membuat pikirannya carut marut, tetapi dia tahu ini pilihan terbaik baginya.

Dia menyadari, kemungkinan besar, ini adalah kali terakhir mereka bertemu. Sebuah keberanian–atau  lebih tepatnya kenekatan–menyergap Camille. 

“Maafkan aku, Reaper,” Camille berkata, jantungnya berdegup kencang. Sekarang atau tidak sama sekali. “Sebelum aku pergi…”

Reaper bahkan belum sempat berkedip saat Camille secepat kilat berjingkat dan menarik wajahnya turun, menggulung topeng Reaper ke atas bibir, lalu mencium lelaki itu dengan segenap perasaan yang dia mati-matian tahan selama berbulan-bulan. Setelah beberapa saat, Camille menarik diri, wajahnya tertunduk agar Reaper tidak bisa melihat betapa merah pipinya.

“Selamat tinggal,” gumam Camille. “Terima kasih atas croissant yang kau tinggalkan di meja sebelah tempat tidurku waktu itu.”

Tanpa menunggu Reaper bereaksi, Camille langsung berbalik sambil menyeret kopernya, tidak pernah menoleh lagi. 

Sementara itu, Reaper terpaku di tempat, rahangnya menganga. Dia terlalu terguncang untuk bisa menggerakan sesenti otot pun. Matanya mengikuti sosok Camille yang berjalan menjauh hingga menghilang dari pandangan.

Pengalaman Reaper sebagai seorang anggota pasukan paling mematikan di dunia yang telah menumbangkan banyak lawan tidak membantunya untuk menyiapkan diri untuk apa yang Camille baru saja lakukan. Dia menyentuh bibirnya pelan, kepalanya berputar dalam campuran keterkejutan dan kebingungan. Tubuhnya terlalu sibuk memproses apa yang terjadi. Untuk pertama kalinya dalam hidup seorang Reaper, seorang prajurit dengan masa lalu misterius yang banyak ditakuti karena keandalannya itu, dia benar-benar tercengang.

Mulutnya memaksanya untuk mengatakan “Tunggu”, hanya agar Camille mau menghentikan langkahnya barang sejenak. Tapi ciuman yang dia diam-diam juga inginkan selama ini itu membuatnya hanya bisa membisu. Perasaannya pada Camille yang selama ini dia singkirkan karena dia yakini akan membuatnya lemah, kini mengancam untuk menjebol pertahanannya.

Ciuman itu tidak akan menjadi sesuatu yang tidak berarti. Dia bahkan tidak lagi peduli Camille telah meninggalkan Specter Ops dan rekan-rekan setimnya yang lain. Karena, baginya, ciuman itu cukup untuk menebus segalanya.

*

Seperti yang sudah Camille duga, Kapten Ennis tidak ada di dalam kantornya. Tetap saja dia menaruh surat pengunduran dirinya di atas meja atasannya tersebut. Camille tahu, mengundurkan diri dari Specter Ops tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bukan berarti luput dari ingatan Camille tentang bagaimana sulitnya dia bisa lolos seleksi masuk ke dalam tim elit Specter Ops ini. Dia menghabiskan hampir satu tahun dalam hidupnya untuk diuji, sampai akhirnya dia dianggap layak. Mungkin benar, dia bodoh dengan membuang semuanya itu begitu saja sekarang.

Namun Camille tidak peduli. Hati kecil dan kemanusiaannya lebih penting dari semua ini. Camille tidak akan pernah lupa kalimat “gunakan bom ini  khusus untuk warga sipil” yang dia baca di dokumen rahasia berbahasa Ibrani yang dia temukan di rumah milyuner itu. Kata-kata sang Menteri Pertahanan untuk melupakan kasus ini kembali bergaung di benaknya, membuat hatinya terpagut nyeri.

Camille bergegas keluar dari ruangan kantor Kapten Ennis sebelum ada yang melihatnya dan memancing banyak pertanyaan yang dia terlalu malas tanggapi. Dia menggeret kopernya ke luar pangkalan militer tempatnya berada yang masih ramai dengan para prajurit lain, sembari mengabaikan siapa pun yang dia kebetulan lewati. Di kepalanya, dia mulai menyusun rencana, tentang apa yang akan dia lakukan setelah ini. Dia mempertimbangkan untuk meninggalkan negara ini, supaya tidak lagi harus berurusan dengan para pembohong dan penjahat yang menyamar sebagai pemerintah. Dia akan menghilang, menghindari deteksi. Paling mungkin, dia akan kembali ke pedesaan di Prancis, tempat tinggal sang nenek, satu-satunya keluarganya yang masih hidup. Di sana, dia akan menyepikan diri untuk sementara, sampai dia bisa merencanakan langkah selanjutnya. Setidaknya, dia akan sedikit lebih tenang.

Hanya ada satu cara untuk mencapai dan pergi dari pangkalan, yaitu menggunakan bus antar-jemput yang berangkat di jadwal tertentu, hanya dua kali sehari. Dengan mempercepat langkahnya, Camille bergegas menuju bus yang hampir berangkat tidak jauh di hadapannya. Dia masuk ke dalam tepat ketika dia mendengar namanya dipanggil.

“Cat!”

Camille menoleh ke jendela. Matanya terbelalak. “Reaper?!” 

Lelaki bertopeng itu berlari sekuat tenaga ke arah bus yang telah melaju. Dia kembali memanggil Camille, namun terlambat. Bus itu semakin menjauh dan menjauh dari pangkalan. Reaper akhirnya berhenti berlari. Dengan terengah-engah, dia hanya mampu menatap nanar bus yang tidak sempat dia gapai itu. Batinnya terjebak dalam emosi yang berkecamuk.

Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau katakan, atau rasakan.

Yang dia tahu, dan yang paling penting baginya sekarang, adalah dia tidak akan membiarkan Camille hilang dari hidupnya begitu saja.

Dia bertekad akan menemukannya.

Daftar Chapter

Chapter 1: 1 - First Impression

1,416 kata

GRATIS

Chapter 2: 2 - The Fight

1,689 kata

GRATIS

Chapter 3: 3 - The Practice

2,147 kata

GRATIS

Chapter 4: 4 - The Mission

1,675 kata

GRATIS

Chapter 5: 5 - What She Discovers

2,072 kata

GRATIS

Chapter 6: 6 - Is This Goodbye?

1,473 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 7: 7 - White Carnations

1,620 kata

20 KOIN

Chapter 8: 8 - Thank You 🔞

1,579 kata

50 KOIN

Chapter 9: 9 - Mine 🔞

1,791 kata

50 KOIN

Chapter 10: 10 - Will Never Be The Same

1,460 kata

20 KOIN

Chapter 11: 11 - The Bitter Truth

1,854 kata

GRATIS

Chapter 12: 12 - The Vow [TW]

1,447 kata

20 KOIN

Chapter 13: 13 - The Request

1,608 kata

20 KOIN

Chapter 14: 14 - The Long-Term Plan

2,158 kata

GRATIS

Chapter 15: 15 - A Chance 🔞

1,936 kata

70 KOIN

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!