Chapter 1: Kehangatan di Musim Gugur
Dedaunan berwarna keemasan melayang pelan di udara. Kota Aachen berselimutkan aroma kopi hangat dan desir angin dingin yang meresap sampai tulang. Di antara bangunan tua yang menyimpan kisah masa silam, Dito dan Slofa berjalan berdampingan melewati Elisenbrunnen yang penuh dengan hamparan daun maple. Tangan mereka tidak saling menggenggam, tetapi keheningan di antara mereka berbicara lebih lantang dari kata-kata.
Di sudut kafe kecil berlampu temaram, mereka duduk menghadap jendela berembun. Memandangi dunia luar yang perlahan berubah warna. Sepotong kue coklat di tengah meja menjadi saksi bisu atas senyum malu-malu dan tatapan penuh rasa penasaran—seolah masing-masing tengah mencoba membaca isi hati lewat mata satu sama lain.
Dito memecah keheningan sambil mengaduk kopi hitamnya.
“Kamu tahu, setiap kali aku lihat daun-daun yang jatuh ini. Aku kepikiran satu hal.”
Slofa menoleh, senyumnya tipis.
"Apa itu?"
Dito menatap ke luar jendela, lalu kembali menatap Slofa.
"Kadang yang jatuh bukan berarti berakhir. Mungkin justru itu cara semesta menunjukkan kalau kita harus mulai sesuatu yang baru."
Slofa tertawa kecil, suaranya seperti bisikan angin. “Kamu tuh irit bicara, tapi sekalinya ngomong justru manis.”
Dito tersenyum pada kekasihnya, lalu melempar pandangan pada daun-daun yang berwarna jingga. Slofa ikut memandang ke arah luar. Dia tidak memungkiri guguran daun maple itu membawa nuansa romantis nan hangat. Namun, satu sisi hatinya juga merasa gundah.
“Dit, kamu tahu filosofi daun maple?” tanya Slofa.
Dito tahu, tetapi dia memilih untuk tidak menjawab. Lelaki berambut ikal itu membiarkan Slofa menjelaskannya. Sebab Dito tahu betapa Slofa menyukai daun berbentuk trisula itu.
“Daun maple itu melambangkan kesetiaan, keharmonisan. Makanya dia sering jadi latar untuk film atau novel romance.”
Dito mengangguk pelan, dan tersenyum. “Dan daun maple juga mengingatkan kita tentang kehidupan yang singkat.”
Kening Slofa berkerut, alisnya yang rapi nyaris bertaut. “Maksudnya?”
Lelaki yang mengenakan mantel coat warna abu-abu itu menyeruput kopinya. Kemudian menatap sang kekasih.
“Daun maple itu memiliki umur yang relatif singkat, tumbuh dan gugur dalam satu musim. Ini dapat mengingatkan kita akan pentingnya menikmati setiap momen kehidupan dan tidak terlalu memikirkan hal-hal yang tidak perlu,” sambungnya.
Slofa mengangguk paham. “Apakah kisah kita akan seperti musim gugur. Singkat, lalu harus berakhir?”
Tangan Dito menggenggam jemari Slofa. “Fa, kita sudah pernah bahas ini. Saat ini yang perlu kita lakukan adalah berdoa. Berharap kisah kita tidak berakhir pada musim mana pun.”
“Tapi, Dit.” Slofa menghembuskan napas pelan. Tampak jelas pada sorot matanya tentang sebuah harapan yang gamang. Tentang keyakinan yang dia sendiri pun tidak yakin.
“Udah, ya. Gak perlu dipikirkan. Kita akan berjuang sama-sama.”
Kalimat Dito memberi rasa hangat di dada Slofa. Seolah benar harapan yang mereka impikan tidak akan kandas. Slofa mengeratkan genggaman tangannya, seolah tidak ingin melepas momen itu begitu saja. Di luar jendela, daun maple terbang ringan oleh angin.
“Aku kadang takut,” kata Slofa pelan. “Takut kalau semua ini terlalu indah untuk nyata.”
Dito menoleh, menatapnya lekat-lekat. “Keindahan bukan sesuatu yang harus ditakuti, Fa. Justru ia layak diperjuangkan.”
Slofa tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu cara menenangkan aku.”
“Mungkin karena kamu adalah rumah yang selalu ingin aku tuju,” jawab Dito, suaranya mengalun seperti melodi jazz dari pengeras suara kafe.
Mereka terdiam sejenak, membiarkan kata-kata itu bertengger manis di udara.
“Kita mungkin nggak tahu apa yang akan terjadi esok,” lanjut Dito. “Tapi satu hal yang bisa kita lakukan hari ini adalah memilih untuk mencintai. Tanpa ragu. Tanpa syarat.”
Slofa merasakan matanya menghangat. Di tengah musim gugur yang terkadang membuat hati terasa sepi, dia menemukan alasan untuk tetap percaya.
“Kita akan baik-baik saja, ya?” bisiknya.
“Kita bukan hanya akan baik-baik saja,” Dito menggenggam tangan Slofa dengan kedua tangannya. “Kita akan tumbuh, seperti pohon maple itu. Menghadapi musim demi musim, dan tetap memberi warna. Bersama.”
Daftar Chapter
Chapter 1: Kehangatan di Musim Gugur
675 kata
Chapter 2: Langkah di Depan Rathaus Aache...
618 kata
Chapter 3: Cemburu yang Sembunyi
577 kata
Chapter 4: Di Antara Dua Pilihan
734 kata
Chapter 5: Tuhan Hanya Satu
678 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!