Chapter 5: Tuhan Hanya Satu
Sungai Wurm yang tenang dan jernih memantulkan cahaya lembut matahari. Menciptakan suasana romantis dan damai. Angin musim gugur berhembus pelan, menggerakkan dedaunan yang mulai menguning dan merah bata. Pohon-pohon tinggi di sepanjang sungai berdiri anggun, menggugurkan satu per satu daun. seolah ikut merayakan kisah cinta yang terukir di bawah kanopinya. Sungai itu berkilau keemasan saat cahaya matahari menari di atas permukaan. Menciptakan bayangan lembut dari ranting-ranting dan burung-burung yang melintas.
Di kejauhan, langit Aachen tampak jernih dengan semburat biru muda yang memeluk bukit-bukit hijau. Bau tanah lembap dan aroma daun kering menyatu dengan udara sejuk, memberikan kesan tenteram yang mendalam. Warna musim gugur menyelimuti kota tua itu dengan pesona yang menawan, memperkuat atmosfer romantis yang dirasakan Slofa dan Dito.
Di tepi sungai, Slofa dan Dito berjalan berdampingan, menikmati keindahan alam yang mengelilingi mereka. Slofa dengan rambutnya yang panjang dan berwarna hitam tersenyum lembut pada lelaki di sampingnya. Dia mengapit tangan Dito. Lelaki berambut gondrong itu pun membiarkan sang kekasih bergelayut manja padanya. Mereka berdua berjalan di sepanjang jalan yang berliku-liku di tepi sungai, menikmati keindahan daun-daun yang berguguran. Gemericik air sungai terdengar seperti melodi yang mengiringi langkah mereka, mengisi keheningan dengan irama alam yang menenangkan.
Seketika Dito berhenti di atas jembatan. Meski bingung, Slofa pun ikut berhenti.
“Ada apa?” tanyanya bingung.
“Apakah kamu sudah membicarakan tentang kita pada orang tuamu?”
Kali ini perempuan bermata sipit itu mengangguk pelan. “Aku udah bicara sama Mama, tapi….” Slofa menghentikan kalimatnya. Dia menghambur ke pelukan Dito. “Aku gak tahu harus gimana, Dit,” ucapnya di sela isak. Membayangkan kisah mereka yang pelik membuat Slofa menangis.
Dito menarik napas lebih dalam. Dia peluk erat perempuan yang begitu dia cintai. Mendekapnya dan menghirup aroma parfum Slofa yang segar dan menenangkan. Walaupun dia juga tidak kalah gundah tentang hal ini. Akan tetapi, Dito tetap berusaha menenangkan Slofa. Tidak ada kata yang keluar dari mulut Dito. Dia tidak ingin gegabah dalam memberi pandangan.
“Tapi, dalam agamamu boleh kan menikah dengan perempuan yang berbeda keyakinan? Buktinya papaku bisa menikah sama Mama,” ucap Slofa saat keluar dari dekapan Dito.
Dito menatap mata Slofa yang kecil. Meski mata itu sipit, tetapi Dito menemukan dunianya di sana. Tempat di mana dia merasa dibutuhkan, dicintai, dan dihargai.
“Betul, Fa,” jawab Dito sambil mengangguk pelan. Tangannya memegang dua pipi Slofa. “Tapi, aku pun gak mau kalau menikah tanpa restu.”
Bening kristal mulai jatuh di pipi Slofa. Dia pun tidak ingin itu. Namun, restu yang sudah diupayakan, tidak dapat diraih juga. Membuat Slofa nyaris putus asa.
“Kamu berjuang lagi, ya, untuk aku, untuk kita.” Slofa berkata dengan setengah mengiba.
Mendengar kalimat itu, tangan Dito lepas dari pipi kekasihnya. Seketika sebuah kalimat serupa melintas lagi di ingatannya. ‘Berjuanglah sekali lagi, Dit.’ Dito menepiskan bayangan Calista yang seketika melintas. Demi membuang ingatan tentang Calista, Dito mengajak Slofa kembali berjalan. Mereka berdua menikmati keindahan alam dan kehangatan cinta. Sungai Wurm yang tenang dan jernih menjadi saksi bisu dari kisah Slofa dan Dito.
Langkah mereka kembali berlanjut. Menyusuri tepian sungai yang tenang. Angin musim gugur menerbangkan sehelai daun keemasan yang jatuh tepat di depan Slofa. Gadis itu mengambilnya.
“Kamu punya pulpen gak?” tanya Slofa pada Dito.
Sang kekasih menggeleng. “Gak. Untuk apa?”
“Aku mau tulis nama kita di sini.” Dia berkata sambil mengangkat daun itu. “Kan daun maple melambangkan kesetian, juga kekuatan. Jadi, aku berharap agar kita bisa saling setia dan menjaga kekuatan cinta.”
“Berharap tuh sama Tuhan, Fa. Bukan sama daun,” sahut Dito.
“Kenapa Tuhan kita berbeda, ya?” Suara Slofa pelan.
“Tuhan cuma satu. Cara berdoa kita yang berbeda.” Dito mengusap puncak kepala kekasihnya.
Bionarasi:
Seorang perempuan yang biasa dipanggil Acy. Dia gemar menulis. Baginya menuangkan cerita lewat tulisan itu seperti cara sederhana untuk merilis emosi. Sejauh ini dia sudah menerbitkan satu novel solo dan beberapa antologi. Dia juga aktif di beberapa platform kepenulisan. Ingin tahu tentangnya kunjungi saja Instagram dengan akun dpoetrymaple. Atau Facebook Acy Poetry.
Daftar Chapter
Chapter 1: Kehangatan di Musim Gugur
675 kata
Chapter 2: Langkah di Depan Rathaus Aache...
618 kata
Chapter 3: Cemburu yang Sembunyi
577 kata
Chapter 4: Di Antara Dua Pilihan
734 kata
Chapter 5: Tuhan Hanya Satu
678 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!