Chapter 4: Di Antara Dua Pilihan
Malam itu Slofa menghubungi ibunya. Komunikasi menjadi obat rindu atas puluhan mill jarak yang terbentang. Untung saja ponsel pintar kini bisa menampilkan wajah, bukan hanya suara. Di Jerman hari masih sore, Slofa melirik jam tangannya. Perempuan itu memperkirakan waktu di tempat ibunya.
"Belum terlalu malam," ucapnya. Kemudian dia pun menggeser layar ponsel, jari lentiknya lincah bergerak di atas benda pipih. "Halo, Ma."
Sapaan itu pertama dia ucapkan saat pada sambung berhenti.
"Iya, Sayang." Kalina menjawab dengan suara yang lembut. "Bagaimana kabar kamu, Nak?" sambung Kalina.
Begitulah seorang Ibu, kabar anak adalah pertanyaan pertama yang selalu keluar saat ada lintasan jarak yang membentang. Kalina ikut tersenyum saat melihat wajah putrinya tersenyum bahagia di layar.
"Baik, Ma. Mama gimana?" tanya Slofa kemudian.
Kalina mengangguk. "Baik juga."
Sejenak Slofa menatap ibunya lebih dalam, dia sedang memilih kata untuk meneceritakan apa yang dikatakan Dito kemarin.
Sebelumnya Slofa juga sudah bercerita tentang pujaan hatinya itu. Kalina sama seperti para Ibu di luar sana. Ingin kebahagiaan anak. Namun, mengingat jurang perbedaan antara Slofa dan kekasihnya, Kalina berat untuk memberi restu.
"Kenapa, Sayang? Ada yang mau kamu ceritakan?" tanya Kalina, seolah mampu membaca keresahan putrinya.
Slofa tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Gak, Ma. Aku cuma kangen sama Mama." Perempuan bermata sipit itu mencoba berbohong pada Kalina.
"Kamu tuh gak jago bohong, Fa," ucap Kalina. Meski dari layar ponsel, Slofa dibuat kikuk dengan ucapan ibunya. "Ada apa?" ulang Kalina lagi. "Soal pacar kamu itu?"
Slofa diam, kepalanya tertunduk. Perempuan itu paham keresahan sang ibu, tetapi dia juga tidak bisa menolak perasaan yang hadir di hati.
Slofa mengangkat kepalanya, menatap wajah Kalina yang terpampang di layar. Kemudian gadis itu mengangguk pelan. "Iya, Ma. Aku yakin dia gak akan seperti Rio." Slofa mencoba menepis kegelisahan ibunya. Gadis itu sangat yakin bahwa Dito tidak sejahat Rio yang pergi begitu saja, lalu meninggalkan luka.
Kalina tersenyum. Melihat reaksi Slofa, perempuan paruh baya itu seperti dejavu. Dulu dia tidak jauh berbeda dengan Slofa, menjalin kisah di antara tembok tinggi yang sulit untuk diruntuhkan.
"Apa aku salah mencinta dia, Ma?" tanya Slofa getir.
"Gak, Sayang. Gak ada yang salah dengan cinta. Ia adalah anugerah Tuhan, dan kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa."
"Jadi Mama kasih aku restu?"
"Mama bisa saja kasih kamu restu. Tapi, perbedaan antara kalian ...." Kalina menggantung kalimatnya. Mata perempuan itu nanar menatap ruang tengah rumah. Dia menahan air mata yang ingin tumpah.
"Ma ...." Slofa menjeda kalimatnya sejenak. Gadis itu menarik napas lebih dalam. Kemudian dengan suara pelan dia berkata. "Mama sama Papa juga berbeda, kan? Buktinya Mama bahagia sama Papa, lalu apa yang Mama takutkan?"
"Benar, Sayang." Kalina tidak sanggup menahan air matanya. Dia menyeka ujung mata. "Mama memang bahagia bersama Papa, tapi ada hal besar yang harus kami korbankan. Mama dan Papa tidak diterima di keluarga, dan membuatmu tidak kenal siapa Kakek dan nenekmu. Mama gak mau kamu juga nanti akan diasingkan. Karena menikah dengan orang yang berbeda keyakinan."
"Dito sudah megenalkanku dengan kakaknya. Dan aku diterima dengan baik." Kalimat itu diucapkan Slofa dengan suara yang pelan. "Jadi, aku gak mungkin diasingkan. Kakaknya Dito juga menikah dengan warga Jerman. Perbedaan sudah menjadi hal yang biasa di keluarga mereka," sambungnya lagi.
"Jalan yang akan kalian tempuh sangat sulit, Sayang."
"Tapi, kami saling mencintai."
"Apakah kamu tega membuat dia memilih antara kamu dan Tuhannya?" tanya Kalina.
Slofa terdiam, tidak mungkin rasanya dia merebut Dito dari Tuhannya. Slofa tidak ingin Dito pindah karenanya, begitu juga sebaliknya. Gadis itu masih mengimani keyakinan yang diturunkan padanya.
"Coba kamu pertimbangkan lagi, Nak. Mama rasa ada yang lebih baik untuk kamu."
Kening Slofa berkerut. "Maksud Mama?" Dia merasa kalimat itu punya maksud terselubung.
Ada jeda beberapa detik, sebelum perempuan yang menuruni garis wajah tionghoa pada Slofa itu berkata. "Aldo. Mama rasa Aldo cukup pantas untuk mendampingi kamu. Dia seiman dengan kita. Mama sudah mengenal dia dengan baik, dan dia mencintai kamu."
"Aldo?" Suara Slofa sedikit meninggi. Dia tidak menyangka sang ibu akan menyarankan hal itu.
"Iya," jawab Kalina yakin.
"Aldo mencintai kamu, Mama bisa lihat itu."
"Aku dan Aldo itu sahabatan, Ma. Aku gak punya perasaan lebih ke dia."
"Sebagai perempuan, ada baiknya hidup bersama lelaki yang mencintai kita. Sebab dia akan berjuang untuk kebahagiaan kita."
"Dito juga mencintai aku," sela Slofa.
"Kalau gitu minta dia berkorban."
Ucapan Kalina membuat Slofa mematung. Dia tidak menjawab apa pun. Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan ibunya, Slofa duduk di kursi dekat meja belajar. Boneka pemberian Dito dia pandangi dengan penuh kasih.
Daftar Chapter
Chapter 1: Kehangatan di Musim Gugur
675 kata
Chapter 2: Langkah di Depan Rathaus Aache...
618 kata
Chapter 3: Cemburu yang Sembunyi
577 kata
Chapter 4: Di Antara Dua Pilihan
734 kata
Chapter 5: Tuhan Hanya Satu
678 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!