Chapter 1: PROLOG
SEORANG wanita berambut hitam lurus panjang hampir menyentuh pinggang tengah melangkah dengan sedikit terbungkuk dan tertatih. Air mukanya tampak begitu pucat dengan keringat sebesar biji-biji jagung mulai meleleh melewati pelipis. Tangan kirinya memegangi perut, sedangkan tangan satunya mulai membuka gerendel dari luar. Setelah beberapa saat cukup berusaha memasukkan tangannya ke rongga-rongga pagar, akhirnya ia berhasil melepaskan kaitan pengunci besi. Tanpa membuang banyak waktu, wanita yang mengenakan dress krem bermotif bunga-bunga selutut dengan kardigan rajut cokelat muda itu mulai memasuki pelataran rumah kontrakannya.
Ia hendak merogoh saku kardigan untuk mengambil kunci. Namun, pergerakannya terhenti seketika tatkala melihat pintu rumah tidak terkunci. Malah, sedikit terbuka. Seingatnya, dirinyaah yang terakhir keluar dari rumah tadi pagi. Padahal, ia yakin sudah menguncinya dengan benar. Lantas, kenapa sekarang pintunya begitu?
Tidak mungkin teman serumahnya sudah pulang, kan? Seharusnya, kan, jam kerjanya selesai pukul lima sore nanti. Atau, jangan-jangan, Greisy juga sakit perut seperti dirinya?
Wanita itu meringis kesakitan ketika perutnya lagi-lagi secara mendadak terasa terpelintir. Tiap hari pertama mendapat tamu bulanan, ia memang selalu seperti ini. Karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya ia melangkah masuk. Namun, lagi-lagi langkahnya tertahan ketika tangannya berhasil menyibak gorden yang memisahkan ruang tamu dengan ruang tengah.
Dua orang, pria dan wanita, tengah asyik bercumbu di salah satu sofa panjang depan televisi. Tanpa busana. Saling mendesah. Saling mengerang. Sepertinya mereka masih sibuk satu sama lain, sehingga tidak menyadari bahwa seseorang telah berdiri di sana, dengan setengah menahan napas dan amarah.
Wajah wanita berkulit kuning langsat itu benar-benar sudah pucat pasi. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya hingga rasa asin mulai menjalari indra pengecap. Tangannya tremor. Kakinya terasa sudah tidak kuat lagi untuk menahan beban tubuh yang juga mulai gemetar. Ia mundur selangkah. Namun, secara tidak sengaja, lengannya menyenggol vas bunga keramik bercorak batik biru-putih di dekat gorden, membuatnya sekonyong-konyong mengalihkan perhatian.
Vas bunga favoritnya yang dulu ia beli bersama Greisy saat liburan ke Bali itu terjatuh. Pecah. Porak-poranda.
Beberapa tangkai bunga matahari imitasi dan butir-butir pasir putih kini terserak di atas lantai, menciptakan pemandangan yang cukup pilu. Denting pecahan keramik masih terdengar hingga beberapa desibel. Akan tetapi, suasana justru berubah menjadi lebih hening. Deruan napas tidak beraturan yang tadi ia dengar, rupanya sudah berhenti.
"Yemima ...." Suara bariton yang sangat familier mulai mengudara.
Wanita yang dipanggil dengan nama Yemima itu perlahan menatap kembali ke arah asal suara. Dua sejoli itu kini tampak panik dan kebingungan saat pandangan mereka berserobok dengannya.
Prabu, dengan bantal sofa yang entah sejak kapan ia raih untuk menutupi perut bagian bawahnya, tampak menggigit bibir dengan keringat mengucur di seluruh wajah, bahkan tubuhnya. Sementara Greisy, dengan potongan kemeja yang Yemima ingat, merupakan kemeja pemberiannya sebagai hadiah ulang tahun Prabu tahun lalu, berusaha amat keras menutupi lekuk tubuh gitar spanyol-nya. Wajahnya kemerahan, menyaratkan betapa kesal dirinya. Entah karena Yemima yang datang di saat kurang tepat, entah karena permainannya terhenti sebelum mereka mencapai klimaks.
Yang Yemima tahu, dua orang terdekatnya, yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri, tertangkap basah sedang berkhianat dan berbuat bejat.
"Yemima, aku bisa jelaskan," lanjut Prabu, terdengar gugup.
Pelupuk Yemima memanas. Penglihatannya memburam. Ia yakin, kedua matanya sedang berkaca-kaca sekarang.
Tapi, tidak. Ia tidak boleh menangis di hadapan kedua manusia durjana itu. Ia tidak boleh terlihat menyedihkan.
Astaga. Bahkan, saking hancurnya perasaan Yemima sekarang, sakit perut yang menyiksanya sejak pagi tadi, tidak ia rasakan lagi. Kini, yang tersisa hanyalah rasa sesak dan perih yang menyerang dada.
Setelah menghela napas sejenak, akhirnya wanita itu berkata dengan parau, “Kita putus.”
***
Daftar Chapter
Chapter 1: PROLOG
571 kata
Chapter 2: PRIA ANEH DI RUANG KERJA YEMIM...
1,323 kata
Chapter 3: JUN
1,973 kata
Chapter 4: KEBAKARAN
1,767 kata
Chapter 5: PERATURAN PERTAMA
1,797 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!