Chapter 2: PRIA ANEH DI RUANG KERJA YEMIMA
ENTAH sudah berapa kali Yemima menekan tombol backspace pada keyboard wireless-nya. Tiga jam berlalu, tetapi lembar kerja Word pada layar monitor di hadapannya masih kosong melompong. Putih bersih. Hanya tertera angka '14' saja di sudut halaman paling atas. Astaga. Bahkan, satu frasa judul pun belum juga diketiknya.
Wanita berkemeja biru tua itu mengempaskan punggungnya dengan kesal pada sandaran kursi kerja. Ia memejamkan mata seraya mengembuskan napas frustrasi. Dipijitnya pelan-pelan pelipisnya, berharap pijatan itu dapat meningkatkan aliran darah, sehingga otaknya bisa kembali diandalkan untuk terus bekerja.
Dua bulan telah berlalu sejak tragedi traumatis itu. Namun, pemandangan menjijikkan yang secara tidak sengaja Yemima saksikan masih terus berputar di benak setiap kali ia mencoba untuk fokus dan berkonsentrasi pada pekerjaan. Dampaknya, angka '14' pada lembar kerja dokumen di hadapannya bertahta di sana semenjak hari itu.
Editor yang menangani naskah Yemima juga sudah mulai mengomel-omel tidak karuan karena dirinya tidak kunjung meng-update novel online-nya. Bahkan, ia juga mengancam untuk tidak lagi peduli dengan kelanjutan naskah Yemima jika dalam minggu ini bab terbaru belum juga ter-publish.
"Ugh! Lagi pula, apa yang bisa di-publish? Menulis satu kalimat pembuka saja susahnya setengah mampus!" keluhnya kesal kala itu.
Mungkin kondisi seperti inilah yang disebut-sebut sebagai writer's block, penyakit para penulis yang otaknya lagi pada buntu, hingga akhirnya tidak lagi melanjutkan cerita mereka.
Yemima tidak percaya dirinya benar-benar mengalami hal ini. Ini adalah pertama kalinya semenjak ia memutuskan untuk terjun ke dunia literasi sejak empat tahun lalu.
Ini semua gara-gara kedua parasit itu!
Terdengar notifikasi pesan masuk WhatsApp pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Wanita yang rambut panjangnya dicepol ke atas secara asal-asalan itu meraihnya dengan ogah-ogahan. Nama 'Ibu Peri', editor-nya, tertera di layar, membuat Yemima harus menghela napas sejenak sebelum membuka isi pesan.
'Kerja bagus, Mbak. Anda benar-benar The 'Missing' Author sekarang.'
Tentu saja, itu sebuah sarkarsme. Yemima sengaja memberi nama 'Ibu Peri' pada kontak Bu Editor, dengan harapan beliau mau bersikap layaknya ibu peri kepadanya. Namun, sia-sia. Kepribadian seseorang tentu saja tidak bisa serta-merta berubah hanya karena sebuah nama kontak, bukan?
Pada bubble chat selanjutnya, terlampir tautan berwarna biru. Karena penasaran, Yemima akhirnya mengeklik link itu.
Alisnya auto terangkat naik, dengan dahi berkerut secara sempurna. Bagaimana tidak? Headline artikel dengan huruf besar-besar yang muncul di layar ponselnya berbunyi:
PENULIS THE MISSING AUTHOR BENAR-BENAR 'MISSING'
Kini, wanita itu mulai menari-narikan pandangannya ke arah isi berita yang tampaknya baru diunggah beberapa menit lalu itu.
Berita mengejutkan datang dari ranah literasi.
The Missing Author, penulis famous yang karyanya sudah empat kali mendapatkan predikat 'Best Seller' dalam beberapa acara penghargaan, rupanya kini tengah hilang ditelan bumi selama dua bulan terakhir.
Tidak ada kelanjutan dari novel online terbarunya yang berjudul 'Amor Fati' di platform menulis 'Beauthor', membuat banyak tanda tanya dan kekhawatiran para pembaca setianya.
Karena identitas asli pemilik nama pena "The Missing Author" ini sangat dirahasiakan, tidak ada yang tahu, siapa sebenarnya sosok di balik nama pena yang legendaris ini.
Ke mana perginya The Missing Author?
Apakah ia benar-benar menghilang? 'Missing'? Sesuai namanya?
Lima tahun lalu, kejadian serupa juga terjadi.
Seorang penulis yang lama tak terdengar kabarnya, tiba-tiba diberitakan menghilang. Kemudian, diketahui bahwa penulis tersebut ternyata meninggal dunia di sebuah pondok tengah gunung, karena terlalu kelelahan menulis karya terbarunya.
Apakah The Missing Author juga akan mengikuti jejak pendahulunya?
(Yui, 2023)
Yemima mendengkus dan berdecak kesal.
"Jadi, dia nyumpahin aku mati?!"
Wanita itu melempar ponselnya asal ke atas tumpukan-tumpukan kertas di dekat keyboard. Ia menghela napas dalam-dalam seraya memperhatikan langit-langit ruangan yang terpasang sebuah kipas angin. Putarannya cukup cepat, tetapi entah mengapa, ia merasa masih gerah.
"Andai saja si pemilik rumah kontrakan ini kasih izin buat naikin tegangan listrik, udah kuganti sama AC kamu!" Bak orang gila, Yemima mengomel sendiri sambil menunjuk-nunjuk ke arah kipas.
Gara-gara kejadian yang bahkan sebenarnya tidak pantas terus dibahas itu, Yemima jadi angkat kaki dari kontrakannya yang lama, dan cepat-cepat mencari tempat tinggal baru. Karena keadaan yang begitu menjepit, dan hanya ada rumah ini yang tersedia, maka tidak ada pilihan lain. Yemima mengambil rumah ini meskipun tegangan listriknya hanya sebesar 900 watt.
Tapi, siapa peduli? Yang penting, dirinya sudah tidak lagi serumah dengan sahabat—ralat—mantan sahabat yang mengembat pacar orang lain itu.
Tiba-tiba wanita itu mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan, lantas kembali mengerang.
"Gimana caranya kasih tahu media kalau sebenarnya aku masih hidup?" celetuknya ke udara. Semenjak tinggal seorang diri, Yemima memang lebih sering bicara sendirian. Alih-alih membatin seperti sebelum-sebelumnya, kini ia lebih suka menyuarakan segalanya dengan lantang. "Bikin video klarifikasi?"
"Nggak. Nggak. Nggak," lanjutnya cepat. "Kalau aku melakukannya, image misterius yang kubuat selama empat tahun terakhir bakal percuma, dong. The Missing Author, selamanya harus tetap misterius. No social media. No face. No information."
Itu berarti, hanya tersisa satu jalan keluar.
Ia harus segera meng-update bab selanjutnya. Secepat mungkin.
Namun, mendadak rasa kantuk yang tak tertahankan menderanya. Ketika melirik jam berbentuk hati yang terpajang di atas pintu masuk, akhirnya ia mengerti kenapa tubuhnya bereaksi demikian.
Hampir pukul delapan malam.
Semenjak pindah, ia pun menerapkan jam tidur baru. Jam delapan malam tidur sebentar, lantas bangun pukul sepuluh, untuk kembali meneruskan tulisannya.
Toh, tidak akan ada yang usil mengomentari segala gerak-geriknya sekarang. Ditambah lagi, ia tidak perlu berpura-pura bekerja agar tidak dianggap sebagai seorang pengangguran.
Sebelumnya, ia ikut bantu-bantu Greisy mengembangkan usaha kecilnya, berjualan es teh di teras minimarket. Karena Greisy mempunyai dua gerai, Yemima menawarkan diri untuk mengurus salah satunya. Seperti karyawan pada umumnya, ia juga digaji per bulan meskipun tidak setara UMR.
Padahal, fee dari menulis novel, baik royalti novel offline maupun online, cukup tumpah-ruah bagi Yemima. Namun, lagi-lagi, karena ia tidak ingin menunjukkan siapa dirinya, ia pura-pura bekerja.
Tapi, tidak lagi. Ia tidak butuh topeng apa pun lagi untuk menutup-nutupi. Sekarang ia hanya harus fokus dengan apa yang sedang digelutinya. Ia harus konsentrasi dengan tulisannya.
Karena kini dirinya sebebas merpati, seharusnya ia bisa lebih fokus daripada yang sudah-sudah.
Menurut teori, seharusnya begitu.
Tapi, apa?
Writer's block? Dua bulan penuh?
Astaga. Yang benar saja.
Tidak. Ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Kali ini, Yemima bertekad kuat untuk melawan seluruh penghalang yang mencoba untuk mengadang keinginan kuatnya.
"Benar. Aku pasti bisa," desisnya antusias.
Wanita itu segera beranjak dari kursi kerja. Menyabet setumpuk manuskrip dari atas meja, lantas memeluknya dalam dekapan. Ia berpindah posisi ke sofa panjang tepat di bawah kipas angin. Dua bab terakhir novelnya sengaja ia cetak beberapa saat lalu. Rencananya, Yemima akan kembali membaca-baca bagian itu. Siapa tahu, sesuatu seperti inspirasi atau ilham akan datang mendadak kepadanya nanti.
Namun, ternyata, rencana hanyalah tinggal rencana.
Tepat ketika Yemima membaca lembar kedua, kepalanya mulai terkulai lemas di salah satu lengan sofa.
Ia tertidur. Lelap.
***
Aroma manis bercampur gurih mulai terhidu oleh indra penciuman Yemima, membuat hidungnya bergerak-gerak lucu. Kedua matanya masih terpejam, tetapi ia yakin betul, bau ini adalah bau roti yang baru saja keluar dari panggangan. Berlumur mentega yang meleleh, meresap ke dalam tiap seratnya.
Setelah ikut terhanyut menikmati harum roti bakar itu selama beberapa saat, Yemima segera menyadari sesuatu, sehingga spontan membuka matanya lebar-lebar.
Ia tinggal sendirian. Lantas, siapa yang dengan kurang ajarnya, menggeledah isi kulkas dan membuat camilan malam-malam begini?
Jangan-jangan ....
Yemima bangkit dari sofa, celingukan memperhatikan sekeliling dengan jantung yang mulai berdentum-dentum. Ia mencengkeram kuat-kuat manuskrip yang didekapnya. Siapa tahu, gulungan kertas yang cukup tebal itu bisa ia jadikan senjata nanti.
Namun, keadaan terlampau hening. Mungkinkah aroma yang masuk ke hidungnya tadi hanya mimpi belaka?
Seolah menyadari betapa konyol kelakuannya sekarang, wanita itu menghela napas panjang.
"Yah, benar. Itu semua cuma mim--"
Kata-kata Yemima berakhir tergantung di udara tatkala pandangannya terhenti pada sosok kepala yang melongok, menatap, dan berkedip-kedip kikuk ke arahnya dari arah meja kerja.
"Di kulkasmu nggak ada selai cokelat, by the way. Apa kamu simpan di tempat lain?" celetuk pria aneh yang kini sedang duduk di kursi kerja Yemima, sembari menggenggam dua lapis roti bakar yang sudah tinggal setengah.
Alih-alih mengacungkan senjata ala-ala-nya kepada si sosok misterius, Yemima justru menjatuhkan gumpalan manuskrip itu sambil terbelalak dengan napas tercekat.
Lalu, pada detik selanjutnya, ia menjerit, "MALING!!!"
***...
Daftar Chapter
Chapter 1: PROLOG
571 kata
Chapter 2: PRIA ANEH DI RUANG KERJA YEMIM...
1,323 kata
Chapter 3: JUN
1,973 kata
Chapter 4: KEBAKARAN
1,767 kata
Chapter 5: PERATURAN PERTAMA
1,797 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!