')">
Progress Membaca 0%

Chapter 5: PERATURAN PERTAMA

Awwfury 18 Aug 2025 1,797 kata
GRATIS

"COBA kamu kembali ke dapur," ucap Yemima akhirnya, setelah terdiam cukup lama.

Jun berdecih, lantas bangkit berdiri. "Jangan bilang, kamu mau reka ulang kejadian terlempar-ku lagi? Kan, semalam sudah?"

"Semalam, kamu terlempar masuk. Sekarang, kamu terlempar keluar," sahut Yemima tegas. "Kalau kamu benar-benar terikat dengan rumah ini, nggak mungkin kamu terlempar keluar, dong? Jadi, kira-kira apa penyebab pasti dari kejadian aneh yang menimpamu ini?"

Pria itu tampak berpikir. Ia mencubit-cubit dagunya sembari menekuri lantai. Muncul beberapa kerutan di antara kedua alisnya yang tebal. Tanpa sadar, Yemima jadi ikut menelengkan kepala untuk memperhatikan lebih jelas ekspresi yang muncul di wajah Jun. Pasalnya, segala gerak-gerik yang pria jangkung itu lakukan saat ini, sama persis dengan apa yang Yemima narasikan dalam novelnya ketika tokoh itu tengah berpikir serius.

Sepertinya, kelakuan Yemima ini tertangkap dari ekor mata Jun, sehingga membuat pria itu sedikit tersentak.

"Ngapain kamu?" tanyanya dengan nada kaget.

Yemima menggeleng, lantas terkikik pelan. "Jun memang kagetan orangnya. Kamu benar-benar dia. Bahkan, gesturmu .... Itu ... sangat ... Jun."

"Kupikir kamu sudah mengakuiku tadi?" sahut pria itu seraya mengangkat alis.

"Ya, dan sedang berusaha meyakinkan diri sekali lagi kalau kamu benar-benar dia," tutur Yemima. "Lagi pula, siapa orang waras di dunia ini yang akan percaya bahwa kamu tokoh fiksi yang keluar dari--"

"Berhenti diulang-ulang." Jun menyela seraya menyugar rambutnya. "Hanya karena aku tokoh fiksi, bukan berarti kamu bebas menyuruhku untuk terus melakukan reka adegan terlempar itu terus-terusan, kan? Aku juga ngerasain sakit, tahu! Bisa kamu bayangin, jarak antara dapur ke pintu masuk ini, kisaran delapan meter! Dan, sejauh itu pula aku terlempar lantas mengempas keras pintu sialan ini! Masih untung tulangku nggak remuk, Yem! Jangan tega-tega kenapa jadi manusia."

"Ya, maaf," ucap Yemima dengan sedikit menunduk. "Aku cuma ingin memastikan sesuatu."

Setelah hening beberapa saat, Jun akhirnya kembali angkat bicara.

"Memangnya apa yang ingin kamu pastikan?"

Wanita itu kembali menatap Jun serius. "Kamu, bisa terlempar keluar dan masuk rumah. Sementara, rumah ini nggak bergerak. Sudah pasti, rumah bukanlah faktor yang menyebabkan kamu mengalami ini." Ia menjeda sejenak, memperhatikan wajah Jun yang tampak mulai tertarik mendengar penjelasannya. "Satu-satunya variabel yang berpindah adalah ... aku."

Jun mengernyit.

"Semalam, kamu terlempar masuk, karena aku berada di dalam rumah. Sedangkan hari ini, kamu terlempar keluar, karena aku berada di luar rumah. Ya, kan? Kalau hipotesisku benar, berarti bukan pada rumah ini kamu terikat. Melainkan ... kepadaku," lanjut Yemima. "Penulis webnovel tempat tokoh utama Jun berada."

Mata Jun terbeliak lebar. Mulutnya juga ternganga. "Benar juga."

"Jarak antara dapur hingga ke pintu ini delapan meter. Jarak pintu hingga ke pagar depan dua meter. Itu artinya--"

"Aku nggak boleh berjarak lebih dari sepuluh meter darimu," sela Jun, seolah mampu membaca kelanjutan kalimat Yemima. "Mungkin, ini semacam peraturan yang harus kuikuti selama berada di sini."

"Nggak mungkin," desis Yemima frustrasi.

"Kenapa nggak mungkin?"

"Lantas, apa itu artinya, mulai sekarang, setiap aku pergi ke mana-mana, harus ada kamu, gitu?"

"Kamu sendiri, kan, yang pertama menyimpulkan begitu tadi?"

Yemima menyandar ke tembok terdekat, lantas merosot, dan terduduk sembari menangkup wajah dengan kedua tangannya.

Sebenarnya, ia hanya berhipotesis. Tapi, mendengar Jun juga berpikiran hal yang sama, membuat hipotesis itu seolah-olah sudah benar-benar berubah menjadi kesimpulan. Jujur, ia ingin menguji sekali lagi. Namun, melihat Jun kesakitan tiap kali habis terlempar, rasanya Yemima tidak tega juga.

Pria itu benar. Kendati hanya tokoh fiksi, sekarang ia juga manusia nyata, yang bisa saja mati jika tulang-tulangnya banyak yang remuk dan patah.

"Memang apa salahnya ke mana-mana ada aku?" celetuk Jun kemudian, membuyarkan seluruh suara-suara dalam kepala Yemima. "Di duniaku, nggak sembarang orang bisa pergi ke mana-mana sama top star kayak aku, loh. Bukannya kamu seharusnya merasa terhormat?"

Yemima mendesis, menengadahkan kepala, dan menatap tajam kedua mata sipit Jun.

"Kamu cepat bersiap, atau aku tinggal beli makan?"

"Oke!" Jun melompat. "Dua menit."

***

"Astaga. Mau makan aja banyak dramanya," bisik Jun yang sudah mengambil posisi duduk persis di sebelah Yemima. "Yang kebakaran, yang kelempar. Masih untung belum mati duluan."

Yemima menoleh dengan tatapan sinis. "Apa kamu selalu secerewet ini?"

Pria yang masih mengenakan bandana putih di dahinya itu mengedikkan bahu. "Hanya ketika Bu Author meninggalkan scene-ku? Saat tulisanmu sudah mulai menyinggung adeganku lagi, aku akan kembali menjadi Jun si irit bicara, supaya terkesan cool, tsundere, atau apalah itu namanya. Sama seperti adegan kebakaran tadi. Sebenarnya aku paham prosedur menggunakan APAR. Tapi, saat itu benar-benar terjadi, puff!" Ia menggeleng. "Pemahamanku sama sekali nggak berguna. Karena apa? Karena aku memang sudah dituliskan demikian."

Yemima hendak menyahuti penuturan Jun, tetapi tiba-tiba seorang wanita pertengahan lima puluh tahunan mengambil posisi duduk tepat di hadapan mereka berdua. Bibir tipisnya yang dipoles gincu merah menyala tertarik lebar tatkala matanya yang memakai kontak lens biru muda menatap mereka berdua secara bergantian.

"Tumben, Mbak Yeme kelihatan batang hidungnya pagi-pagi begini," julid wanita berambut keriting di atas bahu itu. Warna hitamnya yang teramat mengilap, menunjukkan bahwa warna itu hasil dari cat rambut yang entah sudah kali keberapa. "Biasanya aja, bedug zuhur baru matiin lampu teras. Apa karena diapelin pacarnya, makanya bisa bangun pagi? Atau, malah ... pacarnya nginep semalaman?"

Seketika Yemima melayangkan senyum miring. Di setiap lingkungan yang pernah ia tinggali, pasti ada setidaknya satu orang yang modelan begini. Selalu kepo dengan kehidupan orang lain, lantas menyebarkan gosip yang ia terima hingga ke kampung sebelah, bahkan sebelah-sebelahnya lagi.

"Pertama, nama saya Yemima, Tante. Bukan Yeme," respons Yemima berusaha bertingkah senormal mungkin, meskipun dalam hatinya geregetan setengah mati. "Kedua, dia, bukan pacar saya. Sepupu saya ini, baru datang tadi malam, makanya belum sempat laporan ke Pak RT. Nanti sore, kalau sudah lihat Pak RT pulang kerja, pasti saya akan laporan. Terima kasih sudah perhatian dengan jam berapa-berapa saya bangun atau mematikan lampu teras. Tapi, saya akan lebih menghargai, kalau Tante nggak terlalu ingin tahu tentang kehidupan pribadi saya, karena saya sama sekali nggak pernah ingin tahu kehidupan Tante."

Wanita yang wajahnya full dempul bedak itu terkekeh. "Serius sekali, Mbak Yeme. Tante, kan, cuma bercanda. Lihat wajah sepupu Mbak Yeme yang ganteng paripurna ini bikin Tante pingin jodohin sama anak Tante. Syukurlah kalau memang bukan pacar Mbak Yeme. Namanya siapa, Mas Ganteng?"

Kelihatannya Jun hendak menjawab ocehan tidak jelas dari tante-tante girang itu. Sebelum sempat pria itu mengeluarkan sepatah kata pun, Yemima kembali menyahut, "Tapi, anak Tante masih kelas dua SMP."

"Nggak apa-apa, kan, nunggu sebentar, Mas Ganteng?" Wanita yang gelangnya berumbai-rumbai itu menghalau-halau udara sambil terus cekikikan ganjen. "Lima tahun bukan waktu yang lama, kok. Nunggu Nining lulus SMA dulu, baru nikah. Gimana?"

Untung saja, si bapak penjual nasi pecel segera memanggil si tante-tante itu dan mengatakan pesanannya yang minta dibungkus sudah siap. Wanita itu beranjak dari tempat duduknya, lantas pergi membayar. Setelah ngoceh lagi sebentar, akhirnya ia benar-benar pergi karena sudah bolak-balik diklakson oleh mobil hitam yang parkir tidak jauh dari sana.

Yemima geleng-geleng tidak habis pikir. "Yemima. Ye-Mi-Ma. Sesusah itukah penyebutan namaku? Yema-Yeme mulu dari tadi."

Terdengar kikikan pelan dari sebelah Yemima.

"Kamu tertawa?" lanjut wanita berkemeja merah muda itu seraya menaikkan alis.

"Jujur, namamu memang susah. Sebenarnya, dulu, berkali-kali aku susah bilang Yemima. Pasti kepeleset Yemina, Ye--"

"Dulu?" ulang Yemima bingung. "Maksud kamu?"

"Ini pesanannya, Mbak, Mas." Seorang bapak-bapak yang perawakannya cukup berisi kini mulai meletakkan dua porsi nasi pecel dan dua gelas jumbo es teh yang tadi sudah dipesan Yemima.

Bahkan, sampai si bapak penjual pecel kembali ke balik gerobaknya, tatapan Yemima belum beralih dari Jun yang tampak menghindar dari sorot matanya.

"Maksudku, kemarin," sahut Jun akhirnya. "Pas baca coretan di mejamu. Dalam satu hari terakhir ini sudah terlalu banyak yang terjadi. Sepertinya itu mengacaukan konsep waktuku. Sudah, ah. Yuk, makan. Lapar."

Pria itu mulai meraih pipet es tehnya, lantas kembali mengalihkan perhatian ke arah Yemima dengan wajah polos. "Kamu nggak makan?"

"Memangnya kamu bisa makan makanan warung tenda begini?" Yemima malah balik bertanya. Seingatnya, karakter Jun yang ia ciptakan, selalu makan makanan mewah di restoran bintang lima.

"Kamu nggak nulis kalau aku nggak bisa makan di pinggir jalan di draft karakterku," jawab Jun sembari mulai menyendok nasi dengan beberapa helai toge dan sayur yang penuh dengan bumbu kacang. "Lagi pula, sebelum debut dulu, kan, si aktor Jun memang lebih suka makan di warung tenda. Bahkan, sambil ngamen-ngamen di perempatan."

"Sampai berkali-kali diciduk satpol PP," sambung Yemima mulai terkekeh. "Itulah kenapa, sampai sekarang, meskipun lagi manggung sekalipun, kamu selalu bawa dompet ke mana-mana."

Jun juga tertawa. "Thanks, karena masih ingat masa-masa perjuangan itu. By the way, sejak kapan aku jadi sepupumu?"

"Terus, apa aku harus mengiakan tuduhan tante-tante tadi? Mumpung lagi kita bahas, nih," ujar Yemima tiba-tiba serius. "Kamu pasti bawa dompet, kan, sekarang? Ada KTP juga, kan? Seenggaknya kita musti lapor dulu ke Pak RT sore nanti, biar nggak dituduh kumpul kebo atau macam-macam. Tante-tante tadi itu, rumahnya pas di sebelah Pak RT. Kalau dia sampai nggak lihat kita laporan, pasti dia bakal bikin gosip yang nggak-nggak."

Jun tampak berpikir. "Bawa, sih. Tapi, aku nggak yakin, KTP-ku akan sama dengan KTP di sini."

Yemima meringis. "Mirip. Kalau difotokopi, nggak bakal ketahuan, kok. Lagi pula, kota tempat tinggalmu juga bukan dari daerah sini. Nggak akan mungkin Pak RT repot-repot ngecek ke ibukota. Semuanya pasti cuma buat formalitas doang."

"Yakin ini bukan termasuk ranah pemalsuan dokumen?"

"Memangnya dokumenmu palsu?" balas Yemima tidak ingin kalah. "Terus, aku harus apa? Bilang ke Pak RT kalau kamu adalah karakter fiksiku yang tiba-tiba muncul di dunia nyata? Bisa-bisa dikira nggak waras aku."

"Oke, oke." Jun akhirnya tampak menyerah. "Karena untuk sementara waktu, sepertinya aku akan terjebak di sini, aku akan mengikuti cara kerja tempat ini. Tapi, ada satu hal."

Yemima menatap Jun tidak mengerti.

Pria itu merogoh saku celana belelnya, lantas mengeluarkan dompet kulit lipat berwarna hitam dengan ukiran emas bertuliskan "JUN". Ia membuka lipatan dompet itu dan mengeluarkan berlembar-lembar kertas merah dan biru dari dalamnya, membuat Yemima terbelalak.

"Kamu mau flexing ceritanya?" tuduh Yemima kemudian. Tahu, sih, dia kaya. Tapi, apa harus pamer di sini?

Jun berdecak tidak sabar. "Lihat dulu." Kemudian, ia melanjutkan, "Dengar. Uang sebanyak ini, sama sekali nggak akan ada artinya di sini. Ini semua berbeda. Kalau aku sampai menggunakan uang ini, bisa-bisa aku bakal dituduh bayar pakai uang palsu. Bahkan, black card-ku, pasti juga sama. Nggak berguna."

Yemima mengambil selembar uang seratus ribuan yang sudah digelar Jun di atas meja, lantas mengambil uang seratus ribu dari saku kemejanya. Ketika dibandingkan, sekilas memang sangat mirip. Baik dari segi gambar, tekstur, warna, bahkan benang pengamannya. Hanya saja, yang membuat kedua uang itu berbeda adalah letak blind code, sepasang garis yang merupakan kode tunanetra.

Pada uang Yemima, dua garis yang bertekstur kasar itu terletak tepat di sisi kanan-kiri kertas, sedangkan pada milik Jun, terletak di pojok kanan atas dan pojok kiri bawah kertas.

"So?" Yemima kembali mengalihkan pandangan ke arah Jun.

Pria itu mulai menyengir, hingga lagi-lagi menampilkan gummy smile-nya.

"Bayarin dulu makanku, ya."

Ha?

***

Chapter Sebelumnya
Chapter 5 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: PROLOG

571 kata

GRATIS

Chapter 2: PRIA ANEH DI RUANG KERJA YEMIM...

1,323 kata

GRATIS

Chapter 3: JUN

1,973 kata

GRATIS

Chapter 4: KEBAKARAN

1,767 kata

GRATIS

Chapter 5: PERATURAN PERTAMA

1,797 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!