')">
Progress Membaca 0%

Chapter 4: KEBAKARAN

Awwfury 17 Aug 2025 1,767 kata
GRATIS

DERING alarm yang berulang-ulang akhirnya berhasil membuat Yemima tersadar dari tidur panjangnya. Wanita 24 tahun itu segera mencari-cari ponsel pintarnya di sekitar tempat tidur--meskipun masih dengan mata terpejam. Seingatnya, semalam ia sempat mendengarkan podcast hingga ketiduran.

Usai ketemu, ia segera meraihnya. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha membuka matanya yang lengket bak terkena lem super.

Ternyata sudah lebih dari 15 menit alarm itu terus berbunyi. Tidak heran. Kalau sudah telanjur tidur, bahkan jika ada gempa bumi sekalipun, wanita itu tidak akan mudah terbangun.

Yemima beranjak duduk, lantas menekan-nekan pelipis pelan. Tiba-tiba sekelebat memori berjejalan masuk ke kepalanya. Seolah tengah menyadari sesuatu, kini kedua matanya terbuka lebar sepenuhnya.

Ia mengerjap-ngerjap. “Yang semalam itu ... pasti mimpi, kan?”

Matanya mulai memindai ke sekeliling kamar, lantas berhenti ketika memandang jendela. Sinar jingga matahari seolah berusaha menyelinap masuk ke dalam ruangan melalui celah-celah tirai yang dipasangnya. Bahkan, sayup-sayup terdengar ibu-ibu perumahan sedang berceloteh ria di jalanan depan. Mungkin, mereka tengah berasyik masyuk menggibah bersama bapak-bapak penjual sayur keliling seperti biasa, pikir Yemima.

"Benar. Inilah dunia nyata. Tempat tinggalku. Duniaku. Tokoh fiksi keluar dari dunia novel? Hah! Yang benar saja." Yemima berbicara sendiri.

Wanita itu segera menyibak selimut tebal yang membungkusnya semalaman, lalu mulai turun dari tempat tidur. Sesuai rencana yang ia buat jauh-jauh hari, pagi ini, ia akan memulai rutinitas baru.

Lari pagi.

Mungkin, olahraga bisa jadi salah satu cara agar otaknya bisa kembali diandalkan untuk melanjutkan bab cerita.

Begitu Yemima menarik handle pintu, pemandangan amat tidak terduga menyambut.

Asap tebal di mana-mana, membuat wanita itu terbatuk. Ia segera menempelkan lengan ke hidung agar tidak menghirup gas-entah-apa-itu. Kakinya langsung menghambur ke arah jendela dan membukanya lebar-lebar dengan panik. Sepanjang mata Yemima memandang, tidak ada kilatan api atau apa pun yang menyala. Setidaknya, ini bukan kebakaran, kan? pikirnya.

Apa yang telah terjadi, sih, ini?  Ia terus membatin sambil berusaha mencari sumber dari kekacauan.

Kemudian, dari arah dapur, terdengar seseorang berteriak. Suara bariton pria.

Yemima auto mendelik. Tidak mungkin .…

Wanita itu segera menuju sumber suara. Benar saja. Di tengah asap yang mengepul itu, seorang pria jangkung bercelemek bunga-bunga kini tengah sibuk menjinakkan api yang membumbung tinggi hingga hampir menyentuh plafon dapur. Berkali-kali pria itu mengambil air dari wastafel dan menyiramkannya ke arah si jago merah dengan gelas kecil. Namun, bukannya padam, api yang menyala-nyala itu malah makin ganas.

Kejadian semalam bukan mimpi! Segalanya benar-benar nyata!

"Jun!" Yemima spontan berseru, membuat pria itu berbalik, hingga memperlihatkan noda-noda hitam pada kedua pipinya.

"Hai! Selamat pagi, Bu Author!" timpal Jun sembari sedikit meringis.

Yemima melangkah maju. Tatapannya sama sekali tidak beralih dari sumber kekacauan itu.

"Kalau usahamu hanya pakai gelas kecil itu, kita berdua yang nggak akan selamat, tahu!" sahut Yemima sinis.

Sudah tahu kondisi pagi itu sangat jauh dari kata 'selamat', bisa-bisanya pria itu bilang 'selamat'?

Mendadak Yemima teringat sesuatu. Ketika pindahan tempo hari, ia pernah melihat APAR (Alat Pemadam Api Ringan) di salah satu sudut rumah. Wanita itu segera bertolak ke pintu belakang, dekat kamar mandi. Untung saja ingatannya tajam. Ia benar-benar menemukan tabung merah berukuran 1 kg di sana.

Yemima kembali ke dapur. Berbekal scene drakor yang pernah ditontonnya—pemeran utama wanita sedang terjebak di dalam kamar yang terbakar, dan pemeran utama pria mendobrak pintu kamar sambil membawa APAR lantas memadamkannya—ia segera menarik pin pengaman, seperti yang dilakukan pemeran utama pria itu, kemudian mengarahkan penyemprot ke arah titik api.

"Kamu bisa mengoperasikannya?" tanya Jun khawatir.

"Mundur!" titah Yemima tanpa menjawab pertanyaan Jun.

Tanpa protes, pria itu pun melangkah menjauh.

Yemima segera menekan tuas handle secara perlahan hingga terdengar desisan kencang dari arah penyemprot.

***

Yemima mendengkus pelan. Wanita itu mengecek kondisi di sekitar kitchen set dekat kompor yang sudah sangat hitam. Mendapati sesuatu dalam frying pan-nya teramat gosong hingga tak berbentuk, Yemima lantas melemparnya ke wastafel, lantas mengalirinya dengan air. Ia juga membuka jendela dapur dengan cekatan agar asap-asap itu segera enyah dari pandangan.

Kini, wanita berpiama satin hitam itu sudah berdiri dengan bersedekap tepat di hadapan Jun yang tampak mengerjap-ngerjap canggung.

"Apa lagi sekarang?" Yemima menatap tajam pria itu dengan sedikit mendongak. Tinggi badannya yang mencapai angka 165 cm, ternyata belum bisa menyejajari Jun. “Mau bakar rumah? Supaya bisa bebas dan nggak terikat lagi sama rumah ini?”

Pria itu tampak terkejut, lantas menggoyang-goyang tangannya di depan dada. “Nggak. Suer. Aku nggak ada niat buruk sama sekali! Semuanya murni kecelakaan. Aku berani sumpah!”

Yemima masih menatapnya setajam elang tanpa suara.

"Aku cuma mau bikin sarapan tadi," lanjut Jun dengan nada yang sudah agak lebih turun daripada sebelumnya. “Mau bikin kamu semangat, supaya kamu bisa lanjut nulis.”

“Tapi, akhirnya?”

Jun beringsut. “Maaf. Nggak sengaja.”

Yemima mengembuskan napas frustrasi, lantas bergumam, “Udah tahu, skill masak nol besar, masih aja maksa.”

Sepertinya, gumaman itu terdengar hingga ke telinga Jun, sehingga ia menyahut dengan antusias, “Jadi, kamu udah ngakuin kalau aku benar-benar tokoh fiksimu, kan? Aku bahkan mendengar kamu panggil namaku tadi.”

"Serius. Apa itu yang penting sekarang?" tukas Yemima tidak percaya. Pria itu hampir membakar seisi rumah! Rumah kontrakan pula! Bagaimana jika tadi kebakarannya benar-benar melahap semuanya? Dengan apa Yemima akan mengganti rugi? Komisinya sebagai penulis tidak akan bisa menutup seluruh kerugian itu!

"Ya." Jun menjawab mantap. "Melihat reaksimu semalam yang sangat kebingungan, aku jadi bertanya-tanya, bagaimana kalau kamu hanya pura-pura percaya? Bagaimana kalau kamu hanya menganggapku sebagai angin lalu? Atau, lebih parahnya, penipu?

“Tapi, dengan kamu memanggil namaku tadi, sekarang aku cukup lega. Seenggaknya, kamu menganggapku benar-benar ada. Bahkan, kamu juga ingat kalau si aktor Jun, aku, benar-benar payah dalam hal masak-memasak.”

Seperti tanpa ada rasa bersalah, pria itu malah senyam-senyum tidak jelas, membuat Yemima mengangkat alis tidak percaya.

"Kamu hampir saja membunuhku," cetus wanita itu dengan nada geram. “Dan, kamu malah sibuk memvalidasi diri?”

"Seenggaknya apinya sudah padam sekarang," sahut Jun mendadak muram sambil menunjuk-nunjuk kecil ke arah kompor. Tarikan horizontal pada kedua sudut bibirnya kini sudah tidak terlihat lagi.

“Belum, kalau masih berusaha dipadamkan dengan gelas belimbing itu.”

"Selagi kita membahasnya." Setelah menghela napas sesaat, Jun tiba-tiba maju selangkah sambil menatap lurus mata Yemima dengan serius. “Aku tahu, membuat karakter fiksi memang nggak boleh terlalu sempurna agar tetap tampak manusiawi. Tapi, kenapa harus skill penting ini yang aku nggak punya? Oke, aku nggak bisa masak, it's fine. Tapi, kemampuan pertahanan diri? Are you kidding me? Di otakku, aku tahu, memadamkan api dengan gelas sekecil itu nggak akan mengubah keadaan. Tapi, saat benar-benar mengalaminya, seluruh pemikiran di otakku itu semua, nge-blank! Aku benar-benar udah kayak orang bego, tahu, nggak?”

"Hah?!" seru Yemima tidak percaya. “Jadi, kamu nyalahin aku sekarang?”

"Sure," sahut Jun cepat. “Seenggaknya, kalau kamu hapus kekurangan itu dalam draft karakter yang kamu susun, apinya nggak akan sampai sebesar tadi karena aku pasti berhasil mengatasinya sejak awal.”

Yemima tidak menjawab. Meskipun menyebalkan, ia mengakui kata-kata Jun ada benarnya. Sepertinya membuat karakter pria yang tidak tahu bagaimana harus bertindak saat kritis, benar-benar membuat pria itu kelihatan seperti pecundang. Dan, itu pasti melukai harga dirinya.

Astaga. Baru kali ini Yemima diprotes oleh karakter tokoh fiksinya sendiri! Selama ini, karena merasa dirinyalah yang membuat mereka, ia berhak memutuskan segalanya. Namun, ternyata, mereka pun berhak untuk bersikap layaknya manusia pada umumnya. Logis. Manusiawi.

Padahal, Yemima sudah berusaha untuk tidak membuat karakter berusia 17 tahun yang sudah jadi CEO perusahaan global nomor satu di dunia, pemimpin mafia yang juga jadi ketua geng motor, memiliki beberapa pulau pribadi dengan kekayaan setara ratusan triliun, dan lulus S3 dengan peringkat cumlaude. Namun, ternyata, itu semua belum cukup. Perlu riset mendalam lagi tentang bagaimana membuat seorang karakter bisa benar-benar terasa nyata.

Tiba-tiba terdengar 'kruuuk' pelan dari perut Jun. Yemima langsung tersadarkan dari segala pemikiran panjangnya. Ia menghela napas panjang.

"Karena katamu kamu nggak bisa keluar dari rumah ini, biar aku yang keluar buat beli makan. Kamu, bereskan seluruh kekacauan yang sudah kamu buat," ucap Yemima tegas. “Deal?”

"Oke." Jun menyahut cepat sembari mengelus-elus perutnya.

Setelah menatap Jun dengan menggeleng-geleng sebentar, Yemima kembali melangkah menuju kamar untuk berganti pakaian. Tepat ketika wanita itu hendak berbelok, pria itu memanggilnya dengan sebutan 'Bu Author', membuat Yemima spontan menoleh.

"Maaf untuk kejadian pagi ini," ucapnya.

Yemima mengangguk-angguk canggung. “Seenggaknya kamu tahu cara meminta maaf.”

Setelah berucap demikian, Yemima kembali melangkah dengan menarik napas berat. Terpaksa, rencana lari pagi hari ini, lagi-lagi hanyalah tinggal rencana.

***

"Aku keluar dulu," pamit Yemima sembari menyampirkan tas selempangnya di pundak. “Jangan bikin rumah ini lebih hancur lagi saat aku kembali.”

Jun meletakkan jari telunjuk dan jari tengah di pelipis seraya melayangkan senyum lebar hingga menampilkan gusi bagian atasnya. “Siap, Bu Author!”

Yemima tertegun sesaat. Apakah itu tadi yang namanya gummy smile?

Ia tidak percaya bisa menyaksikan secara langsung tokoh fiksinya melakukan hal itu. Selama ini ia hanya membayangkan senyum Suga BTS saat menuliskannya. Rapper tersebut memang sangat terkenal dengan gusinya yang menyembul saat tersenyum lebar.

Dan, tidak bisa Yemima pungkiri. Jun, tokoh fiksinya, ternyata setampan itu, apalagi saat mempeihatkan gummy smile-nya tadi. Cute.

"Kenapa?" Tiba-tiba suara bariton Jun kembali mengudara. “Ada sesuatu di wajahku? Kenapa menatapku sampai seperti itu?”

Yemima langsung salah tingkah. Ia mengerjap-ngerjap, lantas menjawab, “Bersihkan juga hitam-hitam di pipimu itu.”

Wanita itu segera berbalik dan langsung menuju pintu keluar. Entah kenapa, degup jantungnya tidak karuan seperti ini ketika Jun menangkap basah dirinya yang tampaknya sampai tidak berkedip saat memandanginya tadi.

"Aku hanya kagum melihat hasil karyaku, itu saja," ucap Yemima, berusaha menjawab pertanyaan dalam benaknya sendiri. "Benar. Aku hanya bangga tokoh buatanku bisa setampan itu. Oh, astaga. Apa aku baru saja menyebutnya tampan?" Ia terdiam sejenak. “Tentu saja dia tampan. Itu artinya, aku berhasil mendeskripsikannya secara mendetail dalam narasi yang kutulis. Benar. Begitu. Aku pasti hanya merasa begitu.”

Wanita itu menoleh ke belakang selama beberapa saat. “Dia nggak akan mengacau lagi, kan?”

Setelah menggeleng pelan, Yemima meraih pengait besi pagar, lantas membukanya. Tepat saat kakinya melangkah keluar pelataran rumah, tiba-tiba terdengar bunyi gedebuk yang lumayan keras dari dalam rumah. Hal ini tentu saja membuat Yemima spontan menoleh. Matanya terbelalak.

Belum juga ditinggal lama, sudah mengacau?

Yemima berlari masuk kembali. Ia menarik handle pintu rumah. Begitu daun pintu membuka, dan kakinya bersiap ambil langkah seribu lagi ke arah dapur—tempat Jun seharusnya berada—ia justru terhenti.

Jun sudah tergeletak di dekat pintu dengan air muka yang tampak kesakitan.

"Jun!" Yemima berseru. “Apa yang terjadi? Kenapa kamu-”

Jun beranjak duduk. Ia memijit-mijit bahunya sambil mengernyit. "Nggak tahu. Tadi, aku lagi sibuk nyuci frying pan di wastafel. Tapi, tiba-tiba, aku terlempar, sampai menubruk pintu ini lagi. Kejadiannya persis kayak semalam. Seolah sesuatu tengah menarikku paksa, semacam ... magnet?" Pria itu mengedikkan bahu. “Nggak tahu.”

"Jadi, maksudmu ...." Kalimat Yemima menggantung di udara. “Kamu ... baru saja ... terlempar keluar? Bukan terlempar masuk seperti sebelumnya?”

Seolah menyadari sesuatu, Jun menghentikan pijatan bahunya, lantas mulai menatap Yemima dengan kepala menengadah. Kini keduanya saling bertatapan dalam diam, seolah berusaha menyelami pikiran masing-masing.

Tidak mungkin .…

***

Daftar Chapter

Chapter 1: PROLOG

571 kata

GRATIS

Chapter 2: PRIA ANEH DI RUANG KERJA YEMIM...

1,323 kata

GRATIS

Chapter 3: JUN

1,973 kata

GRATIS

Chapter 4: KEBAKARAN

1,767 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 5: PERATURAN PERTAMA

1,797 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!