Chapter 1: As Sweet as Cupcakes
You Can't Buy Happines, But You Can Buy Cupcakes.
Stiker di etalase depan Gardenia Kafe ini sangat menggelitik. Namun pemandangan di dalamnya, jauh lebih menggairahkan. Deretan cupcakes bermacam toping dengan warna-warni cerah dan indah, terpajang menggiurkan di atas rak kaca. Seperti memanggil-manggil untuk digigit. Soal rasa, tak perlu diragukan. Sudah pasti legit. Menerbitkan air liur siapa pun yang melihat. Tidak terkecuali gue.
Tanpa sadar, gue mulai menjilati bibir dengan lidah. Meneguk ludah beberapa kali. Oh, siapa bisa menolak kelezatan kue-kue ini di setiap gigitannya? Mendadak gue jadi ingat hadiah ulang tahun kedua puluh bulan lalu yang diberikan Delisha. Sekotak penuh cupcake dengan toping huruf-huruf, membentuk tulisan Happy B’day, Bestie! Nggak ada alasan untuk membiarkan kue-kue itu kelamaan di kulkas atau hanya jadi santapan semut-semut yang selalu kelaparan.
Menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, gue pastikan situasi sekitar aman terkendali. Gue ke kafe ini dengan satu misi dan visi yang jelas. Apalagi kalau bukan demi mendapatkan kue-kue kertas kecil diliputi fondan yang rasanya, uh—apalagi yang bentuknya hati—benar-benar sulit dijabarkan dengan kata-kata. Dan gue superyakin akan memilikinya. Tanpa harus membayar!
Gue mengekeh girang.
Oh, jangan salah. Gue bukan nggak punya uang untuk membeli. Gue bahkan mampu memborong semua rak berisi kue-kue manis itu sekaligus. Kalau perlu dengan kafenya sekalian. Apa, sih, yang nggak bisa dilakukan kartu kredit Visa Infinite milik Bokap? Akan tetapi, apa bagusnya cara old school begitu? Nggak nyeni! Gue bisa dapatkan dengan cara yang jauh lebih unik dan ... berkelas! Lihat saja!
Menarik napas dalam-dalam, gue pegangi dada seraya menyugesti diri sendiri. I will be okay. I will be absolutely allright! Toh selama ini, gue belum pernah tertangkap lagi. Seingat gue, terakhir kali kepergok satpam itu saat mengutil pulpen berbentuk dolphin yang lucu banget di toko buku. Ah, dasar hari sial saja. Sepanjang usia sekarang, bad day gue itu jumlahnya kurang dari banyaknya jari tangan dan kaki gue kalau dihitung. And you know, it’s only a bad day. Not a bad life! Sama sekali nggak ada pengaruhnya sama sekali buat gue.
Begitu pun saat gue tertangkap waktu itu. Seperti biasa, Delisha datang seperti ibu peri baik hati yang menyelamatkan Cinderella dari keisengan Drunella dan Barbetta. Gadis itu memang pandai sekali memainkan kata-kata untuk membuat seolah sahabatnya ini tidak bersalah. Ha-ha-ha. Akhirnya, ada gunanya juga Del membaca dua sampai tiga buku setiap hari. Keterampilan negosiasinya semakin terasah saja.
Melenggang dengan tas serut yang talinya melilit asal di bahu, gue masuk ke dalam kafe sambil bersiul. Semua barang hasil mencuri biasanya selalu tersimpan nyaman dalam tas kecil ini. Nggak ada yang bakal tahu.
Jujur saja, gue memang belum pernah mengutil kue sebelumnya. Ini sebuah inovasi dan tantangan baru.
Pura-pura mengibaskan rambut berombak sebahu, gue mengecek sekali lagi keadaan dalam kafe. Hmmm. Sepertinya, nggak ada sekuriti ataupun kamera pengintai. Jadi aman. Meski Del nggak ada untuk menyelamatkan seandainya tertangkap nanti, gue akan baik-baik saja. Semesta mendukung. Itu yang penting.
Kafe itu memang sedang ramai-ramainya. Maklum malam Minggu. Awal bulan pula. Para jomlowan dan jomlowati di sekitar kafe biasanya ramai berkumpul. Sekadar menghabiskan malam panjang sehabis kuliah atau bekerja. Mengobrol tak tentu arah. Mungkin sekalian kenalan dengan sesama jomlo. Mana tahu ada yang cocok. Lumayan, kan, malam Minggu berikut, bisa kembali ke kafe nggak perlu sendirian.
Gue mengedarkan pandangan sekali lagi.
Semua orang tampaknya sedang sibuk. Si mbak kasir tertutupi punggung orang-orang yang sedang mengantri bayar. Di sebelahnya ada ruangan dengan kaca besar. Seorang pemuda jangkung kerepotan mengeluarkan kue-kue panas dari oven berukuran jumbo.
Tanpa sadar, gue menarik ujung-ujung bibir membentuk selengkung senyuman. Ganti mengarahkan pindaian ke pemuda itu. Badan tegap terbungkus kemeja merah kotak-kotak bergaris hitam, celemek putih melapisi bagian dada bidangnya hingga bawah perut. Lengan indahnya sedikit menyembul dari kemeja yang dilipat sebatas siku. Terlihat pas sekali dengan kulit putih bersihnya.
Beberapa kali pemuda itu membetulkan kaca mata bulatnya. Mungkin melorot karena basah oleh keringat. Dia juga sepertinya nggak memperhatikan ke arah rak di luar sini. Padahal hanya berjarak beberapa meter saja dari tempatnya.
Aroma wangi kue baru diangkat segera menabrak penciuman gue. Mata pun mulai menari-nari menikmati pemandangan cantik kue-kue yang tersusun rapi.
Gue menegakkan tubuh. Berdiri tepat di depan deretan rak cupcake. Posisinya di sebelah kiri pintu masuk, sementar meja kasir tadi di sebelah kanan. Meja-meja pengunjung kafe yang sedang menikmati dine-in, berderet rapi di belakangnya.
Oh, gosh! I’m so excited!
Gue miringkan sedikit tubuh ke arah tembok yang dihiasi wallpaper bergambar batu bata merah bertumpuk yang klasik. Jari-jari gue rasanya mulai gatal. Namun sebisa mungkin gue berusaha tetap tenang.
Perlahan, gue raih cupcake bertoping fondan merah jambu berbentuk hati dari rak paling atas. Menggenggamnya cepat dalam kepalan tangan kanan. Sangat hati-hati. Seolah sedang menggendong bayi burung yang hampir mati. Tangan kiri membuka tas serut kecil yang tergantung di depan perut. Pura-pura mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Nggak ada maksud menelepon siapa-siapa, sih. Ini seperti trik lama dalam sulap saja. Pengalihan perhatian.
Sementara ponsel ditarik keluar dengan tangan kiri, gue miringkan tangan kanan berisi cupcake, persis seperti seluncuran di TK. Kue kecil itu pun segera meluncur bebas dengan riang dari dalam kepalan tangan menukik ke dalam tas. Keresek bunyi plastik pembungkusnya bahkan tidak terdengar sama sekali. Mulus.
Dada gue mengembang. Puas.
Selanjutnya, ponsel gue angkat sejajar wajah, pura-pura ingin menelepon seseorang. Namun, belum lagi akting gue selesai, dari arah sisi kiri sesuatu menyentuh bahu.
Gue menoleh cepat. Tergeragap.
Pemuda di dalam ruangan berkaca sebelah kasir tadi, sekonyong-konyong sudah berdiri sambil menarik bibir ke atas. Mata berbentuk sabit kecil terlihat mengintip dari balik kaca matanya.
"Ap-apa ...?" Gue mendesis kaget.
Pemuda itu menyodorkan sebuah baki kecil di tangannya.
Gue menatapnya bingung.
"Untuk bawa kue-kue yang akan kamu beli ... ke kasir ...," sahutnya, menunjuk dengan dagu yang licin, masih mengulum senyuman. Penekanan suaranya pada kata beli seketika membuat napas gue rasanya seketika terhenti.
Pemuda itu sekilas menatap lurus pada tas serut kecil gue.
Ohemji! Apa dia melihat gue memasukkan kue kecil tadi ke dalam tas ini?
Gue menelan ludah. Sekeliling terasa panas. Udara seolah makin menipis. Mendadak pengap.
Seperti otomatis, gue menunjuk tas serut.
Pemuda itu mengangguk. Tetap menatap lurus tetap di mata gue yang seolah enggan mengerjap. Meski bukan dengan pandangan menuduh Kamu sudah mencuri kue, ya? Tetapi tetap saja, gue merasa seperti ditelanjangi!
Si*l!
Gue berdeham. Berusaha tetap tenang memperbaiki penampilan; membetulkan topi yang gue pasang terbalik di atas kepala, menyugar rambut dengan ombre oranye yang dikuncir satu asal-asalan, mengusap-usap lengan kaos oblong yang dipakai, dipadu celana panjang denim yang robek-robek di bagian lutut. Gue menarik napas panjang, pasrah. Sadar penampilan gue memang kayak gembel.
Dengan terpaksa, gue rogoh tas, menarik kue hasil gagal ngutil itu dengan wajah seperti terbakar. Gue ulurkan ke atas baki yang dipegang pemuda itu tanpa berani balas menatap.
Hancur sudah! Harga diri gue porak poranda! Setelah ini, gue pasti akan di bawa ke bagian pengamanan. Satu kue kecil, bukan berarti aku bisa bebas begitu saja dari hukuman 'kan? Ya ampun!
Dalam keadaan terdesak, biasanya selalu ada saja jalan yang terbuka. Mendadak gue ingat Delisha!
Hampir saja menelepon cewek kutu buku itu, ketika tangan sang pemuda terulur, menyentuh bahu gue.
"Nggak usah takut. Aku nggak akan mengadukanmu.” Dia tersenyum simpatik.
Lutut gue melemas seperti agar-agar. Apa gue nggak salah dengar?
Takut-takut, gue angkat wajah. Masih setengah percaya.
“Rahasiamu aman denganku," tegasnya lagi.
Gue berusaha mencari kebenaran dari suara lembut dan menentramkan itu.
Setelah beberapa detik berlalu, alih-alih bersyukur karena muka terselamatkan dan meminta maaf, gue malah bertanya dengan gugup, "S-Siapa namamu?"
Pemuda itu spontan tergelak.
“Oh, mak-maksudnya, gue ... emm ... minta maaf,” gue meralat ucapan.
Stupid! Belum pernah ada dalam kamus gue, salah tingkah saat berhadapan dengan lelaki. Baru kali ini.
Tanpa sadar, gue nyengir sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.
"Jonah," ucapnya setelah tawa renyah itu mereda. Dia mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
Kali ini tanpa ragu, gue sambut uluran tangannya. Sergap. Takut cowok itu berubah pikiran.
"Ramona." Senyum gue mengembang lebar. "Ramona Edrea Clarabella."
Bersentuhan dengan jemarinya yang panjang dan lembut, dada gue bergemuruh kencang. Wajah gue pun seketika menghangat.
Memanfaatkan setiap detik kesempatan yang mungkin tidak akan pernah kembali, gue beranikan diri menatap wajah oval di depan gue ini lebih lama. Tertegun.
Kulit muka Jonah mulus seperti kulit bayi. Kelihatannya, lalat pun akan enggan buang hajat di atas pipinya yang licin. Alis mata hitam lebat, menudungi mata kecilnya yang memanjang. Bibir kemerahan dengan bulu-bulu halus di atasnya yang terus mengukir senyum lembut, menambah debaran aneh di dada gue berkali lipat.
Ya Tuhan! Kenapa azab-Mu bisa seindah ini? Untung gue kepergok ngutil tadi. Kalau enggak, belum tentu gue bisa menikmati senyum makhluk ganteng ciptaan-Mu, yang manisnya seperti cupcake ini!
Daftar Chapter
Chapter 1: As Sweet as Cupcakes
1,488 kata
Chapter 2: Lucky Me To Meet You
1,595 kata
Chapter 3: Bad News Is Not Good News
1,315 kata
Chapter 4: Starry Nite
1,147 kata
Chapter 5: Surprise, surprise!
1,093 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!