')">
Progress Membaca 0%

Chapter 2: Lucky Me To Meet You

Aileen NM 15 Aug 2025 1,595 kata
GRATIS

Setengah berlari, aku menghampiri bazar buku murah yang digelar di lapangan samping kampus F-MIPA. Tidak begitu jauh dari letak kampusku sendiri, Sastra Inggris. Ini sudah hari ketiga. Hari terakhir. Kalau mau beli empat buku series Twilight lengkap yang sudah menjadi impian sejak lama hanya dengan membayar 50% saja, maka sekaranglah waktunya. Atau lupakan saja selamanya.

Aku sadar, tidak terlalu beruntung dalam hidup. Kalau boleh dibilang, bahkan jumlah kancing bajuku saja masih lebih banyak dari keberuntunganku. Sebut saja, mulai dari mendapat tantangan sulit tiap kali main Truth or Dare dengan teman-teman sekolah dulu, jarang mendapat doorprize di acara tahun baruan atau di mana pun, sampai sering dirundung cowok-cowok rese karena fobiaku pada ular. Iya, aku takut ular. Jangankan bertemu secara langsung, mendengar atau melihat makhluk yang bergerak dengan perutnya itu muncul di televisi atau majalah, membayangkannya saja bisa membuatku berkeringat dingin sebesar biji jagung. Terus,  aku akan menjerit-jerit ketakutan. 

Mereka memang anak-anak tidak punya akhlak. Sudah tahu temannya ketakutan, bukannya berhenti, malah terus saja merundungHanya karena saat itu aku dikenal sebagai anak perempuan pemalu yang sangat tertutup. Kutu buku, mereka bilang. Tidak suka bergaul dengan manusia lain.

Masih terpatri jelas dalam ingatan, aku hampir pingsan karena ular-ularan karet yang dilemparkan anak-anak bengal itu. Di situlah pertama kalinya aku dan Ramona—yang kemudian lebih akrab kusapa Rara, teman kosku sekarang—bertemu.

Saat kejadian itu, Rara sedang ‘melarikan diri’ dari tugas praktik menyanyi di kelas. Dia sedang asyik bertengger sambil tidur-tiduran di atas dahan pohon kersen di belakang sekolah. Mendadak terusik oleh suara jeritanku, dengan sigap dan berani, Rara turun lalu memberangus anak-anak yang sudah terkenal paling rajin seantero kelas 9, keluar masuk ruang BP.

Hanya dengan beberapa kombinasi pukulan dan tendangan yang langsung mengarah ke perut dan wajah mereka, tidak pakai lama, mereka pun kabur. Maklum, Rara mengantongi sabuk merah taekwondo. Aku tidak pernah berhenti mensyukuri salah satu hari keberuntunganku yang sedikit itu.

Hari ini, keberuntunganku bakal diuji lagi.

Aku ingat, beberapa kali terpaksa menahan diri untuk memiliki seri novel karya Stephanie Meyer itu. Bukan tidak ingin. Namun, aku harus rela menukar kurang lebih lima jatah makan siangku bila tetap memaksa beli dengan harga nomal, tanpa diskon.

Seperti mimpi yang jadi kenyataan, atau mungkin luck-ku sedang baik, kemarin aku melihat seri novel itu masih lengkap di bazar kampus. Dengan sepenuhnya merayu, akhirnya aku meminta Mbak Zara—penanggung jawab bazar sekaligus kating di fakultas Sastra Inggris—untuk menyimpankannya. Berharap gadis cantik berambut ikal yang kuingat selalu memakai bandana pink kejut itu tidak lupa, lalu menjualnya pada orang lain.

"Hari ini Mbak Za nggak jaga," jawab seorang gadis lain saat aku tiba dan menanyakan.

Aku mengembuskan napas, sedikit kecewa.

"Tapi aku sudah titip minta disimpankan, Kak. Kemarin aku hanya lupa bawa dompet." Tentu saja aku tidak perlu memberi tahu alasan sebenarnya. Aku kehabisan uang dan perlu meminjam jatah jajan Rara dulu. Nanti akan kubayar setelah komisi dari platform online tempatku menulis beberapa novel ongoing cair.

Mbak manis dengan tahi lalat cukup besar di atas bibir mungilnya itu terlihat mulai mencari. Di beberapa tumpukan buku yang berantakan, di dalam laci meja kecil serupa meja kasir, di bawah kolong—

"Siap, Pak. Besok akan saya gantikan." Suara berat seorang laki-laki mengalihkan perhatianku yang turut membongkar buku. 

Mulutku membuka secara tak sengaja. 

Dari kejauhan, laki-laki yang sedang sibuk dengan ponselnya itu, tampak sangat familier. Entahlah, aku lupa pernah mengenalnya di mana.

Tak ingin peduli, tapi sesuatu yang digerak-gerakkan pria berkaca mata dengan sebelah tangan itu segera mengalihkan perhatianku. Sebuah buku bersampul navy blue dengan corak batik, khas seniman asal Bali yang terkenal. Aku sempat membaca judulnya sekilas pada punggung buku. New Moon.

Aku menahan napas. Apakah itu—

"Hanya ada tiga buku saja yang tersisa dari seri Twilight." Mbak bertahi lalat membawaku kembali ke bawah tenda bazar. "Kalau mau, kamu bisa membelinya."

Aku mengerjap.

"Tapi kan seri lengkapnya ada empat, Kak?" Setengah putus asa, aku membantah.

"Sepertinya, satu buku sudah dibeli orang," balas si mbak, menyeka peluh di kening.

Pagi itu memang cuaca sudah mulai panas. Padahal baru pukul sepuluh. Sesekali aku pun terpaksa harus mengipasi leher yang berkeringat, sebelum kemudian mengikat rambut legam tebal dan lurus sebahuku dengan kunciran karet berwarna hitam polos.

Aku menarik napas panjang. Dengan sangat terpaksa mengiakan untuk membeli tiga buah buku itu saja. Aku pun mengambil dan mengecek satu buku yang 'hilang' dari seri itu sebelum memutuskan menyerahkan beberapa lembar rupiah. 

Benar saja, buku yang dipegang pria berkemeja putih dengan lengan baju digulung sebatas siku itu, buku yang kuinginkan. 

"Kenapa paket seri begini harus dijual terpisah, Kak?" keluhku sedikit menggumam.

"Sudah keputusan panitia," jawab si mbak, mengedikkan bahu. Sepertinya enggan berdebat panjang. Tetapi kemudian dia memberi alasan yang cukup logis. "Kami kira cukup berat bagi mahasiswa bila harus membelinya sekaligus satu paket."

"Ya, tapi aku kan jadi kehilangan kesempatan punya seri lengkap—"

Aku segera menghentikan omelan begitu pemuda yang terlihat menjulang itu merunduk dan memasuki tenda. 

Oh, ya, ampun! 

Tentu saja aku familier dengan wajah pria ini. Dia kan, asisten dosen fakultas Matematika, salah satu idola cewek-cewek di kampus! Beberapa hari ini, aku memang sering mengamatinya dari kejauhan. Aku suka dengan kharismanya yang bersahaja. Muda, berprestasi, dan rajin bekerja. Rajin bekerja? Ya, jadi asdos juga termasuk pekerjaan, kan? Meski tidak menutup kemungkinan dia lakukan dengan sukarela. Benar-benar tipikal calon mantu idaman buat Mamah. Tidak disangka, sekarang aku malah bisa memandanginya dalam jarak yang mungkin saja membuat jantung menggelinding ke tanah. 

Spontan aku menegakkan tubuh. Dengan cepat otakku mengukur. Pria ini kutaksir 25 senti lebih tinggi dari ukuran tubuhku sendiri. Ya, ya, aku memang pendek. Hanya 150 sentimeter kotor.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku melirik ketiga novel di tanganku, sengaja menepuk-nepuknya, sambil membaca dalam hati. Twilight. Eclipse. Breaking Dawn. Kurang satu. Seri kedua, New Moon.

"Seseorang membeli satu dari keempat buku seri Twilight yang dicari Mbak itu," jelas si mbak penjaga bazar tanpa diminta. Menunjukku dengan matanya.

"Oh, maaf." Pemuda berkaca mata dan berkulit putih bersih dengan rahang tegas itu menatapku sekilas. Lalu beralih pada ketiga novel yang kupegang, terus ke buku di tangannya sendiri, dan menatapku lagi. Bergantian.

Aku mengalihkan pandangan cepat. 

Mataku ternyata tidak cukup kuat bersitatap dengan mata cokelat pria itu. Aku tersenyum datar. Tidak ingin kekesalanku terbaca jelas. Bagaimanapun aku sadar, ini bazar untuk umum. Semua orang boleh membeli apa saja. Kenapa aku harus marah-marah? Mungkin saja, keberuntunganku benar-benar sudah habis sekarang.

Selain itu, aku merasakan pipiku menghangat. Mungkin ada sedikit rona merah yang menjalar cepat di sekitar rahangku juga. Persis seperti dalam cerita-cerita novel romens yang sering kubaca. Menandakan rasa malu, gugup, atau ... ah! Aku belum pernah merasakan hal seperti ini saat berdekatan dengan laki-laki mana pun sebelum ini. 

“Kamu boleh memilikinya setelah aku selesai baca nanti,” tawarnya simpatik

Aku tertegun. Selama satu kedipan mata, aku hanya bisa mengatupkan mulut tanpa mampu berkata apa-apa.

“Bagaimana?”

“Uhuk!”

Aku malah tersedak ludah sendiri.

“Oh ... ng-nggak usah. Nggak apa-apa, kok. Mungkin nanti aku cari saja di bazar yang lain.” Leherku spontan tertunduk, kikuk.

“Biasanya memang seri begini agak susah menemukannya. Tidak dijual terpisah juga. Makanya aku langsung beli tadi, begitu tahu di sini bisa beli satuan.” Dia mulai menjelaskan. “Aku kebetulan dikasih teman. Cuma tiga buku. Sudah kubaca semua. Tinggal seri kedua ini yang belum—“

“Eh, iya. Beneran, enggak apa-apa, kok. Aku bisa ngerti.”

Menyelipkan anak rambut dengan gugup ke balik telinga, aku bergegas pergi setelah menyerahkan pembayaran pada mbak penjaga bazar.

Namun, ayunan langkahku meninggalkan tenda bazar segera terhenti. Ada tangan yang tiba-tiba mencekal tali tas punggungku. 

“Ehm. Maaf.”

Aku menoleh cepat dan mendapati kedua tangan pria itu terangkat ke udara. Seolah ingin meminta maaf karena tanpa izin telah menahan tas dan mencegat langkahku.

“Aku serius mau kasih buku ini ke kamu,” ucapnya seraya berusaha menyejajari langkahku.

Hatiku menghangat menyadari pemuda itu sedang menudungi kepalaku dengan buku yang dipegangnya. Mungkin dia melihat dahiku berkerut menahan silaunya sinar matahari yang menyerbu.

“Tadi aku sempat dengar, kamu ngotot banget pengin punya novel ini. Lengkap semua seri. Kamu pasti sudah lama mencarinya, kan?”

Tidak punya pilihan lain, aku pun akhirnya mengangguk. 

“Aku Jonah.” Pemuda itu tiba-tiba berhenti dan menyodorkan tangan, mengajakku bersalaman. “Jonah Stevano Alterio.”

Oh, aku ingin sekali menyambut uluran tangan itu, tapi aku ragu. 

"Aku ... uhm ... Delisha," sahutku pelan, nyaris mendesis. "Delisha Carissa Abilene."

Jonah mengangguk-angguk sambil terus mengulum senyum.

“Jurusan apa?”

“Sastra Inggris. Semester tiga.” 

Sekarang bukan hanya bibir, tetapi matanya pun turut tersenyum. 

“Kamu mau ke mana sekarang?”

“Kantin.” 

Begitu saja aku menjawab pertanyaan-pertanyaan pria asing yang baru kukenal secara dekat beberapa menit lalu itu. Tidak seperti biasanya. 

 "Oke. Aku ke ruang dosen dulu. Sampai jumpa. Nanti aku cari kamu lagi kalau sudah selesai baca.” Jonah menepuk novel yang masih dipegangnya. “Sekali lagi aku minta maaf karena sudah mendului kamu beli buku ini." 

Aku memaku di tempatku berdiri. Tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya, hanya satu anggukan singkat sebelum aku membiarkan Jonah berlalu setelah melambaikan tangan.

Aku masih tergugu memandangi punggung lebar pemuda itu menghilang di dalam gedung Departemen Matematika. Ada perasaan hangat dan debaran aneh yang tidak mampu kumengerti saat mengingat nama pemuda itu. Membuatku melupakan ponsel yang sudah berulang kali menjerit kencang dari dalam tasku. 

Aku merogoh tas dan mendapati lima panggilan tak terjawab dari orang yang sama dan tidak sabaran menunggu. Siapa lagi kalau bukan Ramona? 

Daftar Chapter

Chapter 1: As Sweet as Cupcakes

1,488 kata

GRATIS

Chapter 2: Lucky Me To Meet You

1,595 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 3: Bad News Is Not Good News

1,315 kata

GRATIS

Chapter 4: Starry Nite

1,147 kata

GRATIS

Chapter 5: Surprise, surprise!

1,093 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!