')">
Progress Membaca 0%

Chapter 5: Surprise, surprise!

Aileen NM 15 Aug 2025 1,093 kata
GRATIS

Berjalan di selasar dan harus melintasi ruang dosen jurusan matematika, sebenarnya bukanlah ide bagus. Namun, aku terpaksa, demi memintas perjalanan menuju ke perpustakaan kampus. Bagaimanapun, aku enggan berpanas-panasan, berjalan di tengah lapangan, 

Sejak pertemuan dengan si Starry Nite, aku selalu berusaha menghindari pertemuan-pertemuan dengan cowok itu. Baik tidak disengaja, apalagi sengaja. Sebagai asisten dosen matematika, Rio—oh ya, aku berinisiatif memanggilnya begitu biar terkesan berbeda dari yang lain—tentu saja cukup sering keluar masuk ruangan itu. Jadi kalau masih memungkinkan, aku akan memilih menghindar. Cukuplah bagiku mengaguminya dari jauh.

Apalagi, aku sudah berteman dengannya di Instagram. Otomatis semua kegiatan terbaru yang diposting cowok itu, pasti segera kuketahui. Meski awalnya, menjadi stalker sama sekali bukan tujuanku, yah, apa boleh buat. Lama kelamaan, aku menikmatinya juga. Sigh!

"DELISHA CARISSA!"

Sebuah suara yang rasanya mulai akrab di telinga, tiba-tiba memanggil. Nama lengkap, seperti mengabsen di kelas. Untunglah, nama terakhirku tidak disebutkannya. Sudah seperti petugas kelurahan saat membuat kartu identitas saja.  

Aku menoleh, mencoba menentramkan kerja jantung yang tiba-tiba seperti sedang berlomba balap karung dalam rangka tujuh belasan. Berebut ingin berlompatan keluar.

Muncul dari ruang dosen matematika, sesosok cowok berambut lurus pendek dengan jambul kecil, tersenyum mendekatiku. Tidak salah lagi. Jonah aka Alterio aka Rio.

Ya, Tuhan tolonglah. Jangan sampai aku pipis di celana gara-gara menahan malu! Ini saja tanganku rasanya sudah membeku.

"Mau ke mana?" tanyanya.

"Perpus," jawabku pendek, beruaha menundukkan wajah.

"Bareng, ya. Aku juga mau ke sana." 

Duh! Suaranya itu. Kenapa merdu sekali? Bahkan mendengar secara langsung begini jauh lebih merdu dari saat mendengar rekamannya meng-cover beberapa lagu di beranda IG-nya. 

Selain memiliki wajah tak sekadar lumayan, menjadi asdos Matematika, Rio ternyata juga pemetik gitar dan memiliki suara tak biasa. Coba bayangkan, gadis mana yang tidak akan meleleh seperti gunung es di Kutub Utara bila melihat itu? 

Aku berdeham, mengangguk sedikit sambil terus menjaga jarak aman. Demi kesehatan hati dan jantung.

"Kok Instagram kamu masih kosong?" Tiba-tiba saja kata-katanya meluncur mengagetkan. 

Heh? Dia memperhatikan isi Instagramku? Untuk apa? Bukannya dia punya ribuan followers? Kenapa harus repot memperhatikan satu akun yang baru kubuat khusus buat kepoin dia itu? Ups!

"Aku .... " Tenggorokanku tercekat. Aku menelan ludah beberapa kali, untuk menutupi rasa gugup. Namun, tetap saja—“Aku ... ehm ... belum punya momen bagus ... untuk ... di-share ...." 

Berjalan di jalan setapak yang sisi-sisinya berjajar pepohonan cemara, seharusnya memberi kesejukan. Namun entah kenapa, aku malah kegerahan. Pipiku mulai menghangat. 

Tanpa aba-aba, langkah Rio terhenti. Untung aku sudah menjaga jarak aman tadi. Jadi aku tidak perlu sampai menabrak cowok yang berjalan sedikit di depanku itu.

“Ada apa?” Spontan dia bertanya. Tanpa sadar, aku mendongak cukup tinggi agar bisa melihat wajah cowok yang kini dihiasi senyuman.

Ya ampun! Sepertinya dia datang duluan waktu Tuhan membagi-bagikan senyum pada semua manusia. Terbukti, dia punya senyum paling manis dari semua cowok yang pernah aku kenal atau lihat. Atau, apa mungkin Tuhan khilaf, lalu mencampurnya dengan larutan sirop? Makanya mukanya manis banget gitu? 

Aku mencubit tangan sendiri. Merasa geli karena mendadak jadi gaje begini, tersipu-sipu sendiri tak jelas. 

"Kalau begitu, kita buat satu momen supaya kamu bisa post di Instagram kamu, ya." 

Masih belum sepenuhnya percaya, cowok yang tampil segar dengan balutan kemeja kotak-kotak biru langit dengan satu kancing atas terbuka memaparkan kaos putih di dalam, merapatkan tubuhnya padaku. Dengan sebelah tangan, dia mengacungkan ponsel ke arah kami.

"Say Money," bisiknya pelan di telingaku. Aku tergeragap. Wajah Rio kini hanya berjarak beberapa senti saja, memecahkan rekor jarak paling dekat dengan cowok yang selama ini aku jaga.

Alih-alih mengikuti instruksinya, aku malah bergeser sedikit, menunduk dengan wajah panas dan debar jantung tak keruan.

Cowok ini, tanpa sungkan menjepret beberapa kali foto kami. Untung suasana saat itu masih belum terlalu siang. Aku jadi lega karena masih sepi dan kami tidak menjadi tontonan mahasiswa lain.

Rio tersenyum, lalu mengecek foto-foto yang baru diambilnya tadi di ponsel.

"Nomor WA kamu? Aku mau share foto-foto, nih," ucapnya tanpa sungkan, masih mengulum senyum.

Menurut buku petunjuk yang aku baca kemarin, seharusnya cowok ini bisa saja mengirimi foto lewat Direct Message di Instagram.  Dia pasti juga tahu caranya. Jadi, sebenarnya enggak perlu nomor ponsel atau WA, kan? Tetapi ....

Meski bertanya-tanya, anehnya tanpa membantah, aku tetap memberikannya juga! 

Setelah saling bertukar nomor, Rio mengirimiku foto-foto itu.

"Jangan lupa tandai aku kalau kamu posting di IG, ya," ucapnya masih terus mempertahankan senyum yang nyaris membuatku hilang kesadaran. Bahkan, tadi rasanya jantungku sampai terlewat satu detakan saat tangan Rio tiba-tiba saja menyentuh bahuku. Rasanya pengin cepat-cepat masuk ke perpustakaan dan menenggelamkan wajahku dalam tumpukan buku di rak-rak besar di sana.

Untung ponsel Rio berdering. 

Ugh! Saved by the bell! 

Aku menarik napas lega. Kini aku tidak perlu repot menunduk, menutupi wajah yang pasti sudah merah kuning hijau warnanya. Rio tampak sibuk menatapi ponsel dan mengetik sesuatu. 

"Wah, maaf. Aku enggak jadi ke perpus, nih. Ada panggilan mendadak dari dosen." Terburu-buru dia mengantongi ponselnya. Wajahnya tampak gusar. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Aku mengangguk cepat.

"Enggak apa-apa, Rio." Tanpa sempat dicegah, kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.

Cowok itu menatapku lekat. "Tadi kamu memanggilku apa?"

Aku berdeham gugup.

Tuh, kan! Seharusnya panggilan itu memang cuma untukku. Bukan untuk memanggil dia. Jelas saja, tidak semua orang suka dipanggil dengan panggilan yang asing di telinga. Inilah hukuman kalau senang mengganti panggilan nama orang semau sendiri. Aku merutuk dalam hati. Lihat saja dia pasti mar—

"Baru kamu loh yang memanggilku Rio di kampus ini.” Senyumnya yang tadi sempat lesap setelah menerima telepon, sekarang mengembang lebar. “Tapi enggak apa-apa, kok. Aku suka." 

Heh? Benarkah? Jadi, dia nggak marah?

"Maaf, kalau kamu keberatan, aku bisa memanggilmu Jonah, seperti orang-orang biasa memanggilmu—“

"Sudah kubilang, tidak apa-apa. Rio itu sebenarnya panggilan kesayanganku. Hanya orang-orang terdekat yang biasa memanggilku begitu. " Selanjutnya, dia memandangiku dengan tatapan yang tidak ingin kusalahtafsirkan.

"Ya, sudah. Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Sampai ketemu lagi." Rio berbalik setelah membalas senyumku yang ragu-ragu.

Aku masih mematung di ambang pintu perpustakaan sambil terus memandangi punggung kekar cowok itu, saat aku mendengar suara keras seseorang memanggil dari arah berlawanan.

“DEL! DELIII ... DELISHAAAAA!"

Chapter Sebelumnya
Chapter 5 dari 5
Chapter Selanjutnya

Daftar Chapter

Chapter 1: As Sweet as Cupcakes

1,488 kata

GRATIS

Chapter 2: Lucky Me To Meet You

1,595 kata

GRATIS

Chapter 3: Bad News Is Not Good News

1,315 kata

GRATIS

Chapter 4: Starry Nite

1,147 kata

GRATIS

Chapter 5: Surprise, surprise!

1,093 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!