Chapter 4: Starry Nite
Mengantongi buku Instagram for Dummies, aku coba mengulik akun yang baru saja kubuat beberapa menit lalu. Betul, kok. Kamu enggak salah baca. Meski usiaku sudah dua puluh satu tahun beberapa bulan lagi, tetapi aku memang belum punya akun Instagram. Kinda weird memang, mengingat sosmed berlogo persegi empat dengan sudut tumpul dan gradasi warna pelangi yang cerah itu, adalah salah satu sosial media paling banyak diminati dan digunakan di seluruh dunia. Termasuk Indonesia. Terutama di kalangan anak-anak mudanya. Tentu saja, tidak termasuk si pengepul buku sepertiku ini.
Kalau saat ini aku sampai rela bela-belain mengunduh aplikasi itu, demi apa coba? Jujur, aku sendiri juga malu kalau harus mengakuinya. Akan tetapi, mau gimana lagi. Aku memang penasaran banget dengan cowok pemilik kaca mata bulat yang mengambil satu seri novel Twilight-ku kemarin. Jonah itu beda aja dari cowok kebanyakan yang pernah kutemui, apalagi yang hanya senang menggoda. Paling enggak banget sama cowok yang suka catcalling.Sikap Jonah itu simpatik. Senyumnya terlihat manis tanpa pengawet apalagi pemanis buatan. Barangkali dengan melihat jejak rekam pemuda itu, bisa sedikit mengurangi rasa penasaranku.
"Selesai!" desisku senang. "Akhirnya aku enggak akan dituding sebagai manusia goa lagi oleh si cewek segala medsos ada itu!"
Aku tersenyum puas.
"Mulai hari ini, Ramona enggak akan punya kesempatan untuk mengata-ngataiku lagi."
Aku ingat celaan gadis itu karena tidak satu pun akun medsos kumiliki. Waktu itu, aku memang hanya bisa mengelak, membela diri.
"Terus, apa artinya gue berdosa kalau enggak punya fesbuk, instagram, twitter, atau yang lain-lainnya? Emangnya gue lantas jadi kurang bernilai hanya karena enggak eksis di dunia maya seperti kalian? Kalau kemudian lebih memilih bergaul dan menenggelamkan diri dalam tugas-tugas kuliah dan membaca buku, apa itu bikin gue jadi terlihat seperti pithecantropus erectus? Manusia langka gitu?"
Dan seperti biasa, Ramona hanya balas terbahak sambil berseloroh.
"Enggak ada salahnya kan membuka diri, membuat pertemanan di dunia maya? Inget nggak pepatah yang bilang, banyak teman banyak rezeki?"
Meski enggan mengakui, tetapi aku sadar sahabatku itu ada benarnya. Aku mungkin memang harus lebih banyak bergaul. Bukan hanya berkutat dengan buku saja. Namun, dengan orang sungguhan. Kata-katanya di kantin kemarin itu, benar-benar seperti sebuah tamparan keras yang telak di mukaku.
Aku tiba-tiba aja sadar, selama ini terlalu menutup diri. Tidak punya teman lain kecuali Ramona; sahabat, sekaligus teman berbagi uang sewa kos.
Mulai hari ini, aku bertekad akan mulai membuka diri. Pelan-pelan saja. Dimulai dari dunia maya.
Aku pun mencari sebuah nama dari kolom pencarian. Kuketikkan satu kata dari nama pemuda itu yang bisa kuingat. Jujur saja, pesona cowok itu ternyata sanggup melumpuhkan ingatan. Secepat aku mengetukkan tanda kaca pembesar, sekejap saja, muncul beberapa nama serupa dalam deretan daftar.
Meneliti dan menelusui dengan saksama tiap nama yang disodorkan aplikasi itu beberapa saat, hingga aku tiba pada sesosok wajah yang mirip dengan laki-laki itu. Tidak begitu jelas kalau hanya sekilas memperhatikan. Hanya terlihat satu sisi wajahnya saja. Meski begitu, hati kecilku sangat yakin kalau itu benar orang yang kucari.
J. S. Alterio
"Bingo!" Aku berseru senang, tanpa sadar senyum-senyum sendiri.
Ah, lucu juga nama lengkap cowok berkaca mata itu. Ada Alterio di belakang dua nama lainnya. Kalau tidak salah, Alterio berarti nama sebuah bintang. Bintang malam yang paling benderang.
Aku tidak bisa menyembunyikan hati yang membuncah.
Sejak lama, aku memang tergila-gila pada apa pun tentang bintang. Kecintaan itu kudapat sejak menempuh study tour ke sebuah planetarium di Bandung. Aku yang masih duduk di bangku SD kala itu, bahkan sudah membayangkan suatu hari nanti akan menjadi seorang astronot. Ah, tapi tentu saja. Lagi-lagi keberuntungan tidak memihak padaku. Menjadi astronot tidak semudah seperti kubayangkan. Akhirnya, gagal kuliah di jurusan Astronomi ITB, aku pun banting arah dan memilih opsi kedua. Bahasa dan sastra.
Kembali melihat sekilas profil cowok itu, aku jadi pengin tahu lebih banyak lagi tentang dia. Sayang, akunnya terkunci. Sekalipun terlihat ramah dan mudah bergaul, cowok ini rupanya pilih-pilih orang juga untuk jadi pengikutnya.
Jadi, apakah aku harus follow dia dulu untuk bisa melihat aktivitasnya lebih banyak? Bagaimana kalau dia nanti menolak berteman denganku? Bagaimana kalau dia langsung ilfil karena menganggapku ... stalker?
Pikiranku berkecamuk galau. Beberapa saat aku ragu dan kesulitan memutuskan, antara ingin mengetuk ikon follow atau membiarkannya.
"Ciee ... akun siapa tuh?" Mendadak Ramona sudah berada persis di sampingku. Duduk dengan posisi kaki bersila di sisi tempat tidur. "Sekarang sudah mulai sosmed-an juga?"
Gadis berkuncir ekor kuda itu mengerling nakal sambil mencoba mencuri lihat ponselku.
Dengan cepat kusembunyikan ponsel di belakang punggung sambil meruncingkan bibir. Gadis tomboi satu itu sampai tergelak melihat wajahku yang seperti baru habis terpanggang.
"Hmm. Gimana sih, cara lihat foto-foto di akun orang?" desisku tanpa sadar, beberapa saat setelah kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Ya, lihat aja!" Ramona berkata tak acuh, memainkan ponselnya sendiri.
"Enggak bisa."
"Akunnya di-private, kali."
Aku tersenyum malu-malu. "Kayaknya, sih, begitu."
Ramona berdecak.
"Heh, Wijen Onde-Onde! Ya, lo follow aja dulu, sih. Nanti dia juga bakal folbek. Ribet amat?" Ramona melempar bantal dengan sebelah tangan yang bebas. Untung aku masih berhasil menepis.
"By the way - on the way - bus way, memangnya lo lagi lihatin akun siapa, sih? Cowok itu, ya?" Ramona menaikturunkan alis. "Siapa namanya? Cie ... cieee ... yang lagi ... uhuk!"
Ledekan Ramona berganti batuk saat sebuah bantal melayang anggun ke mukanya.
Posisi cewek itu yang sedang tidak siap, membuatnya terjungkal di tempat tidur. Segera aku menghujaninya dengan pukulan-pukulan guling bertubi-tubi. Meningkahi tawa Ramona yang berderai-derai menjengkelkan.
Ramona mencoba membalas. Namun, aku belum pernah terkalahkan dalam perang bantal seperti ini. Acara kekanakan yang masih sering kami berdua lakukan itu akhirnya berakhir saat Ramona mengangkat kedua tangan tanda menyerah.
"Iya udah, ampun ... ampun.... Gue nyerah!"
Perlahan tawanya pun mulai surut.
"Jadi akun siapa itu?" ulang Ramona lagi di sela napas yang masih tersengal-sengal.
"Alterio," jawabku sekenanya.
Ramona mengangguk-angguk paham sambil masih mengulum senyuman lebar. "Udah follow aja. It's now or never."
Aku masih terus berpikir sambil berjalan menuju ke kulkas kecil di sebelah meja belajar dekat tempat tidur. Mengambil sebotol air jeruk dingin, kutuang ke gelas dan menyeruputnya pelan-pelan. Perang bantal memang selalu menyisakan tenggorokan yang kering dan peluh bercucuran seperti saat ini.
Menenggak hampir setengah gelas es jeruk, sebelum akhirnya aku terkesiap. Ramona tiba-tiba saja sudah menggenggam ponsel yang baru saja kutinggalkan di atas tempat tidur.
"Ngapain lo?" Aku mencium ketidakberesan.
Beberapa detik berlalu saat kesadaranku kembali muncul dengan keisengan Ramona.
"Sudah," ujarnya cepat seraya tergelak keras, melemparkan ponsel ke atas bantal lalu buru-buru keluar kamar.
What the— Apa yang SUDAH dilakukan anak itu? Apa dia ....
"RARA!" Aku memekik histeris. Seketika kulihat profil J. S. Alterio yang sudah tidak lagi menunjukkan kotak biru bertuliskan follow, membuatku cemas.
Astaga!
AWAS LO, RA! DASAR PANCI KUKUSAN SIOMAY!
Daftar Chapter
Chapter 1: As Sweet as Cupcakes
1,488 kata
Chapter 2: Lucky Me To Meet You
1,595 kata
Chapter 3: Bad News Is Not Good News
1,315 kata
Chapter 4: Starry Nite
1,147 kata
Chapter 5: Surprise, surprise!
1,093 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!