Chapter 5: PASAR GELAP
“Langit menciptakannya dengan puisi. Manusia menguburnya dengan cemburu.”
.
.
.
Malam itu, jalan-jalan kota kecil sudah lengang. Lentera minyak di sepanjang gang berkelip, ditiup angin yang berhembus dingin. Madea menyembunyikan wajahnya di balik tudung cokelat tua, langkahnya setengah ragu mengikuti Ballen yang berjalan cepat.
"Jangan banyak bicara nanti di sana," bisik Ballen. “Kalau kamu salah sebut harga, atau terlihat seperti orang asing, mereka bisa mengulitimu hidup-hidup.”
Madea menelan ludah. Hatinya terbakar ingin sampai ke James House, tetapi dadanya dicekik rasa takut.
Gang itu berakhir di sebuah pintu kayu reyot yang dijaga dua pria besar. Mereka mengenakan kain hitam menutupi mulut dan hidung, mata mereka setajam belati. Ballen menyelipkan sesuatu ke tangan penjaga; selembar kertas lusuh dengan cap merah darah. Penjaga melirik sebentar, lalu membuka pintu.
Begitu pintu ditutup kembali, dunia berubah.
Aroma besi berkarat bercampur dupa murah memenuhi hidung. Lilin-lilin gosong di atas gantungan besi menerangi lorong sempit yang menurun ke bawah tanah. Suara orang-orang berdesis, menawar, berdebat. Pasar gelap itu seperti sarang ular---berliku, pengap, tetapi penuh barang yang tak bisa dijual di atas permukaan.
Di meja pertama, seorang lelaki renta menjajakan racun dalam botol kecil, masing-masing berlabel simbol tengkorak. Di pojok, segerombolan pria memamerkan belati berkilau, beberapa masih meneteskan darah segar seolah baru dipakai. Ada juga pedagang yang menaruh peti kayu berisi jimat, gigi manusia, dan rambut yang dikepang rapat.
Madea menutup mulutnya agar tidak mual.
"Fokus pada tujuanmu," desis Ballen. Ia menarik Madea melewati lorong berliku sampai berhenti di hadapan sebuah meja berlapis kain hitam. Di belakangnya, seorang perempuan bergaun merah menyala tersenyum tipis. Senyum itu menyingkap gigi yang dicat hitam.
"Apa yang kau cari, Nyonya?" suaranya serak, menggoda.
Madea gemetar, tapi menatap lurus. “Kartu. Untuk James House.”
Perempuan itu terkekeh, menyingkap peti kecil. Di dalamnya berjejer kartu-kartu dengan lambang ulat yang melilit roda besar.
"Harganya satu koin emas. Namun, ingat, kartu ini hanya berlaku sekali masuk. Kalau tertangkap dengan kartu palsu… mereka akan menyalibmu di gerbang." Penjual mengingatkan. Senyum liciknya terlihat jelas dari balik kerudung tipis yang ia kenakan.
Ballen mencondongkan tubuh, berbisik di telinga Madea, “Bayar saja cepat, jangan terlihat ragu.”
Madea menggenggam koin emas terakhirnya---warisan tipis dari gaji Kaia yang masih tersisa. Tangannya bergetar saat ia menyerahkannya. Perempuan itu mengambil koin dengan senyum tajam, lalu menyelipkan kartu ke tangan Madea.
Namun, sebelum Madea menarik tangannya, perempuan itu menahan sebentar. Tatapannya berubah serius.
"Jika kamu masuk James House dengan wajah penuh tekad begini… bersiaplah. Kau bukan hanya akan menemukan jawaban, tapi juga neraka," katanya dengan nada tegas.
Madea tercekat, tak mampu membalas. Ballen buru-buru menariknya pergi.
Saat mereka kembali ke lorong, suara pasar gelap makin bising, tapi di telinga Madea, hanya bergema satu kata yang tadi diucapkan perempuan itu.
Neraka.
Dan untuk pertama kalinya, Madea bertanya-tanya: apakah nanti ia pergi ke James House bisa membuat anaknya selamat? Atau akan terjadi hal lain?
Menghela napas panjang. Menggenggam kedua tangannya erat. Madea sudah bertekad apapun halangannya ia akan tetap ke James House.
.
.
Malam semakin dalam. Angin berembus menusuk kulit, membawa bau asin dari laut yang jauh. Madea menggenggam erat kartu undangan di balik tudungnya, seolah-olah benda tipis itu adalah kunci hidupnya.
James House berdiri di pusat Desa Sitrusseix. Dari luar, bangunannya megah: jendela-jendela kaca patri berwarna merah darah, pilar hitam berlapis emas, dan lampion besar yang menggantung tinggi. Namun, suasana di sekitarnya tak seperti rumah hiburan biasa. Jalanan kosong, sunyi, hanya ada satu gerbang besi tinggi dengan lambang singa emas.
Dua penjaga berjubah hitam berdiri di depan gerbang. Pedang panjang mereka bersilang di dada, mata mereka tajam, memeriksa siapa pun yang mendekat.
Ballen berhenti sejenak, lalu berbisik,
“Tarik nafas, jangan tunjukkan ketakutan.”
Madea mengangguk, meski kakinya gemetar. Ia maju perlahan, menyerahkan kartu kerajaan.
Salah satu penjaga mengambil kartu, meneliti undangan dengan cermat, lalu menatap wajah Madea dari balik topeng besi.
"Kau tamu baru?" Suaranya berat, nyaris seperti geraman.
Madea menahan napas, lalu mengangguk.
Diam lama, sebelum akhirnya penjaga mengembalikan kartu dan membuka gerbang. Besi itu berderit, suara logamnya menembus telinga.
"Selamat datang di James House," ucap pria itu.
Madea melangkah masuk. Begitu gerbang tertutup, dunia luar seolah hilang. Musik berdentum samar dari dalam rumah, bercampur tawa tinggi para perempuan dan suara denting gelas anggur. Namun, ada sesuatu yang lain---sesuatu yang lebih dingin dari sekadar pesta.
Lorong menuju pintu utama dipenuhi patung-patung berwajah menunduk, seakan memandang tamu dengan hinaan diam. Lilin merah menyala di setiap sudut, meneteskan cairan seperti darah.
Banyak pula lukisan-lukisan Dewi Aphrodite tanpa busana, beberapa sedang bergaul dengan Dewa, ada pula beberapa patung yang menunjukkan lekuk tubuh seorang wanita.
Madea mengangkat wajah, hatinya berdegup. Pintu besar yang ditempa menggunakan besi tebal dihias mencolok dengan ukiran-ukiran bunga dan singa, ada ukiran roda besar dan ular di pintu itu.
Dengan satu tarikan nafas terakhir, Madea mendorong pintu James House terbuka.
Langkah Madea pelan, seolah-olah ia sedang menapaki tanah asing yang bisa meledak kapan saja. Lantai marmer berkilau memantulkan bayangan tubuh-tubuh perempuan yang berbalut kain tipis, tersenyum manis tapi mata mereka kosong.
“Selamat datang di James House.” Seorang wanita bergaun merah darah menyambut dengan nada menggoda, suaranya serupa racun yang dibalut madu. Ia membungkuk sedikit, lalu menggeser kipas sutra di depan wajahnya. “Kartu Anda sudah diterima, jadi nikmati malam ini…”
Madea hanya menunduk, mengabaikan lirikan tajam dari wanita itu. Hatinya berdegup keras. Ini bukan tempat untuk “menikmati malam”, ini tempat untuk mencari kebenaran.
Ia menelusuri lorong panjang, di mana pintu-pintu kayu dihiasi ukiran naga emas berjejer. Dari balik pintu terdengar bisikan, tawa tercekik, dan kadang suara benda pecah. Semua menambah tekanan di dadanya.
“Ballen…” bisiknya lirih, seolah takut suara itu didengar. “Dimana aku harus mulai mencari?”
Ballen mendekat, menundukkan wajahnya, matanya tak henti mengawasi sekitar. “Kaia dikenal dekat dengan James, kan? Dia yang suka memilih gadis baru.”
Madea menelan ludah. Ia kembali mendengarkan ucapan Ballen.
“Jika dia dilantik menjadi pelayan VIP, setidaknya dia ada di lantai dua, lantai yang penuh dengan aroma persetubuhan.”
Darah Madea mendidih. Tangan yang mengepal di balik gaunnya gemetar hebat. Ia ingin berteriak, ingin menggebrak semua pintu dan mencari Kaia sekarang juga. Namun, ia tahu, satu langkah gegabah, maka bukan hanya misinya yang gagal, melainkan nyawanya ikut hilang.
Di ujung lorong, suara musik semakin keras. Pintu besar dengan tirai hitam terbuka, menampakkan ruangan megah penuh lampu kristal. Para bangsawan mabuk dengan tawa bising, perempuan-perempuan menari di atas meja, dan di singgasana kecil duduk seorang pria dengan jubah biru tua, matanya tajam penuh kuasa.
Ballen berbisik, “Itu… James?”
Madea menggenggam ujung gaunnya erat-erat. Tubuhnya terasa membeku, tapi di dalam hatinya hanya satu bisikan keras, bahwa ia akan menemukan putrinya dan membawa dia pulang.
Madea melangkah maju dengan gegabah, hingga ia tanpa sengaja menabrak seorang pemuda bertubuh kekar, hingga tubuhnya terpental ke belakang beberapa langkah.
“Nyonya?!”
Daftar Chapter
Chapter 1: KAIA KAAL
1,403 kata
Chapter 2: PERMINTAAN IZIN
1,039 kata
Chapter 3: SIMPANG SIUR
1,116 kata
Chapter 4: PELAYAN VIP
1,347 kata
Chapter 5: PASAR GELAP
1,115 kata
Chapter 6: JAMES HOUSE
1,223 kata
Chapter 7: PENYUSUPAN
993 kata
Chapter 8: MALAM YANG TERTOLAK
1,137 kata
Chapter 9: JATUHNYA BUNGA HATI
1,098 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!