')">
Progress Membaca 0%

Chapter 3: Bersamamu Tanpa Sengaja

Aileen NM 15 Aug 2025 1,232 kata
GRATIS

"Thank you listeners untuk kebersamaan kita di J-MINA, Joshia Monica IN the Afternoon today. Salam paling manis untuk orang-orang terkasih di dekat Anda. Stay tune terus di--" Gue memulai closing acara yang segera disambar Mon seperti biasa dengan suara centilnya.

"--One-oh-one point five, Sunset Radio FM. Your Most Favorite Music Station On The Planet! Aku Monica Rosa--"

"--dan gue Joshiah Ananta, pamit mundur. See ya all onThursday--"

"--and bubay! Muachh." Lalu, sebuah kecupan lewat udara dikirimkan Mon bersamaan dengan dilantunkannya At My Worse oleh Pink Sweat, menutup program acara kami sore itu.

Meletakkan headset di meja dan menjauhkan mik, gue berdiri dan meregangkan tubuh sebelum bergegas ke luar ruang siar. Namun sebelum sempat mencapai pintu, Monica menahan langkah gue.

"Josh, aku nebeng kamu boleh, nggak?" Gue menepis perlahan jemari Mon yang entah dia sadar atau enggak, menarik lengan gue. "Mobilku masuk bengkel, nih. Boleh ya?"

Mon menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada sembari mengucap please tanpa suara. Mimik dia buat memelas.

"Lo mau ke mana emangnya?"

"Pulang. Kita searah, kan?" Cewek yang berusia lebih tua satu tahun di atas gue ini mulai menjajari langkah gue. Tubuhnya yang langsing dan tinggi hanya sedikit di bawah gue yang berukuran 188 senti, tentu tidak kesulitan mengejar gue yang lebih dulu berlalu. "Sekalian mau ngobrolin program baru yang waktu itu kamu bilang. Seru tuh kayaknya. What is it again?"

"Curhat Mantan?"

"That's it!" Mata indah Mon yang dihiasi eye shadow warna pastel dan ditudungi bulu mata lentik dengan alis seperti barisan semut beriringan itu bergerak-gerak.

Mon terlihat sangat ceria hari ini. Dengan outfit terdiri dari knit cardigan fuchsia berleher V-neck tanpa lapisan dalam, dipadu mini skirt hitam, legging ketat warna senada rok dan low angkle boots berwarna cokelat membalut tungkai, dia tampak sangat menyolok. Bukan hanya cantik, tapi juga seksi.

Alih-alih mengagumi penampilan Mon, gue malah membayangkan Yuri.

Jauh sebelum penyakit keparat itu merusak tubuhnya, gue adalah orang paling cerewet dengan penampilan gadis itu. Terkesan cuek dan sulit diatur, gue akhirnya bisa memaksa Yuri mengenakan baju-baju modis yang sedang tren. Tentu saja, Yuri nggak pernah peduli seperti apa dandanannya, sebelum akhirnya dia menjatuhkan pilihan pada Caleb. Laki-laki itulah yang paling diuntungkan kemudian.

Tanpa sadar, gue mendengkus.

"Eh, sorry. Kamu ... keberatan ya, kalau aku bareng kamu?" Mendadak Mon berhenti membuang langkah.

"Oh, bukan gitu, Mon. Gak apa, kok. Kan kita searah," gue mengulang kata-katanya, merasa nggak enak hati.

Gue menggerakkan tangan, memberi kode untuk memintanya melanjutkan perjalanan menuju parkiran di lantai dasar.

"Sebenarnya, aku mau minta tolong sama kamu--"

Gue mengerutkan dahi.

"Ehm ... bisa mampir ke kosanku sebentar, nggak? Lampu di kamar tamu mati. Tadi dapat kabar dari yang punya kosan, baru bisa dibenerin besok pagi. Yang biasa bantu-bantu lagi pulang kampung--"

Spontan gue melirik Swiss Army yang melilit pergelangan tangan gue. Sudah pukul enam lewat dua lima. Gue biasa menemani Yuri sepulang siaran. Tapi menolak Mon juga nggak tega. Gue tahu, cewek itu takut gelap. Apalagi dia sering cerita, lingkungan tempat tinggalnya beberapa kali kemalingan.

"Nanti gue bantuin," akhirnya gue berucap, sukses mengembangkan senyum lebar di bibir penuh milik Mon.

"Thanks, Josh. You are such a savior!" Mon terkekeh dan bertepuk tangan girang, seperti baru habis menang undian sabun colek lima milyar.

"No worries," balas gue. Namun mendadak teringat sesuatu. "Tapi cowok lo, Erlangga?"

"That jerk?" Mon mencebik dan mengedikkan bahu bersamaan. "He's already dead!"

Gue hanya mengulum senyum menyaksikan Monica terkekeh seraya membuka pintu mobil di sebelah pengemudi.

Perjalanan menuju pulang dan mampir di kosan Mon diwarnai obrolan dan perdebatan tentang rencana program baru yang sedang gue ajukan ke Yoan, manajer program. Menurut Mon, pada dasarnya Yoan setuju. Hanya tinggal menunggu rapat koordinasi dengan seluruh tim untuk dimintai pendapat.

Sebagai penyiar yang tergolong cukup senior di SR, ide-ide gue memang lebih sering diperhitungkan. Beberapa proyek gandengan dengan sponsor besar juga beberapa kali gue bantu loloskan. Bukan gue congkak, apalagi sombong. Gue yakin ini karena kemampuan public speaking gue yang di atas penyiar biasa, selain keahlian gue bernegosiasi juga. Itu sebabnya, penghasilan gue termasuk lumayan untuk ukuran penyiar. Minimal cukup bikin gue betah dan bertahan terus bekerja di sana.

"Yuk!"

Mon melangkah lebih dulu, membiarkan gue mengunci mobil sebelum mengikutinya dari belakang.

"But sorry, Mon. Gue nggak bisa lama-lama. Yuri--"

"Iya, aku tahu." Mon mengulas senyum maklum, mengangguk. "Gimana kabar Yuri?"

"As I've told you. Dia cuma punya dua bulan. Well, gue masih berharap ada keajaiban. Mungkin kalau gue bisa memberinya sedikit kebahagiaan, umurnya bisa lebih panjang--" Meski rasanya sulit diterima akal waras, gue tetep menyimpan harapan kesembuhan Yuri. Persis sebesar harapan cewek itu bertemu cinta pertamanya.

Oh, gosh!

Gue menekan dada yang terasa kembali nyeri.

Namun pintu kosan Monica sudah terbuka lebar, seolah nggak akan membiarkan gue menangisi nasib terlalu lama di teras.

Mencoba memindai sekeliling ruang tamu dengan bantuan pantulan cahaya dari lampu taman, gue menilai kosan Mon yang lebih tepat disebut rumah dengan ukuran minimalis ini, ternyata cukup nyaman. Jujur saja, selama tiga tahun berpartner dengan cewek yang pernah bercita-cita jadi model, tapi akhirnya end-up jadi penyiar radio karena ajakan teman itu, gue baru sekali berkunjung ke tempat ini. Walaupun beberapa kali, entah bercanda atau serius, Mon mengajak gue ke sini. Seringnya gue tolak. Bukan hanya karena gue udah terlalu sibuk dengan Yuri, tapi karena Mon juga tinggal sendiri.

"Duduk dulu, ya, Josh. Aku ambilin minum. Hot coffee, tea or--?" Suara Mon terdengar seiring kepalanya melongok dari balik tirai kamar yang sebagian tertutup.

Mengawasi kap lampu rusak di ceiling yang menjadi biang gelapnya ruang tamu saat ini, dan mengukur jarak yang cukup tinggi saat harus memasangkan bohlam baru yang tersedia di meja, mendadak gue merasa haus. Tanpa bermaksud menambah jam berkunjung, akhirnya gue menyetujui tawaran Mon.

"Cold water will do. Thanks, Mon."

Dengan bantuan senter dari ponsel, gue akhirnya menemukan sebuah kursi kecil, terletak di sudut ruangan. Kelihatannya cukup kuat menahan beban tubuh gue saat menaikinya. Di sisi lain, tampak sebuah tongkat berukuran cukup panjang untuk memasang lampu, tergeletak di lantai. Sepertinya, sebelum meminta bantuan gue, Mon sudah mencoba memperbaiki masalahnya. Namun kelihatannya, dia nggak cukup berhasil.

Gue pun segera menyadari kesulitan Mon saat melakukannya dengan tangan gue sendiri. Plafon ini, ternyata jauh lebih tinggi dari yang tadi gue perkirakan.

Setelah meregangkan otot lengan cukup lama dan mencoba beberapa kali gagal, akhirnya gue bisa menurunkan bohlam lama yang rusak dan menggantinya.

Gue baru akan turun dari kursi kecil yang gue naiki, saat Mon tiba-tiba keluar kamar menenteng segelas air dan toples camilan.

Mungkin karena terkejut, entah bagaimana kaki gue tergelincir.

Kehilangan keseimbangan, stik lampu yang tadi gue pegang, tanpa sengaja terlepas. Benda itu melayang dan terlempar begitu saja. Tangan gue spontan memeluk Mon yang terdorong ke belakang, bermaksud melindunginya bila jatuh.

Hanya sepersekian detik sampai gue menyadari telah tergeletak di lantai bersama Mon. Posisi gue berada di atas dada Mon yang basah karena air yang dia bawakan untuk gue tumpah. Sebelah tangan gue menahan kepalanya agar tidak terantuk dan sebelah lagi melindungi punggung.

Jantung gue terlewat satu detakan.

Embusan napas hangat Mon yang tersengal menerpa muka gue yang hampir tidak lagi berjarak dengannya. Gue bahkan bisa merasakan debar jantung tak beraturan cewek ini di dada gue. Dan sesuatu di antara kaki gue yang menyentuh paha Mon, seketika bergerak membesar.

Holy shit!

Daftar Chapter

Chapter 1: Syarat

1,332 kata

GRATIS

Chapter 2: Permohonan Terakhir

1,083 kata

GRATIS

Chapter 3: Bersamamu Tanpa Sengaja

1,232 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 4: Cintai Gelap

1,198 kata

GRATIS

Chapter 5: When You Say Nothing At All

1,100 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!