Chapter 4: Cintai Gelap
Biasanya, gue enggak pernah peduli dengan perasaan Mon yang selalu terlihat tidak biasa dari yang lain. Namun, berada dengan jarak sedekat dan dalam posisi seperti ini dengan dia, suka nggak suka, bikin hormon kelelakian gue mencuat tanpa permisi.
Gue dan Mon bergeming beberapa saat. Tak satu pun dari kami mampu bergerak.
Mata Mon yang indah setengah membelalak saat mata gue, tanpa bermaksud usil, terus menatapnya.
"Ng ... mmm ... Josh ...." Mon tampak bersusah payah membuka mulut.
"Emm ... ya?"
"Kamu ... be ... rat ... mhh ...."
Suasana seketika berubah canggung.
Kesadaran gue yang tadi sempat tersesat, kembali. Seketika muka gue terasa berubah kayak kepiting dikasih saos Padang.
What the h*ll? Apa-apaan?
"Oh, sh*t!" gue mengerjap, membuang muka dari tatapan Mon dan mengulang-ulang makian tanpa suara. "Damn, I'm so sorry, Mon! Gue ...."
Gue panik.
Tanpa mempedulikan celana yang sempat terasa sesak tiba-tiba, gue bergerak perlahan, membebaskan tangan yang sedang memeluk Mon, lalu menggeser kaki yang menumpuk di pahanya.
Jangan tanya gimana perasaan gue saat ini. Sungguh sulit dijabarkan dengan kata-kata.
"Lo nggak kenapa-napa?" tanya gue mencoba mengalihkan perhatian, seraya duduk dengan kedua kaki menekuk di lantai menopang tubuh.
Mon cengengesan.
"Enggak apa-apa. Cuma syok aja!" jawab dia disela senyum lebar.
Gue mengulurkan tangan, mencoba membantu Mon bangkit. Namun segera melempar pandangan sejauh-jauhnya ke luar pintu, saat tanpa sengaja, mata gue memergoki kardigan yang dia pakai, terlepas satu kancing bagian atasnya. Gambaran bulat dibalik dada Mon yang padat seketika terlihat, membuat kecanggungan gue semakin berlipat-lipat.
"Maaf, ya. Udah nabrak kamu," Mon terdengar menyesal. "Aku nggak tahu kalau kamu kaget sampai segitunya."
Gue pura-pura menggaruk kepala, padahal nggak gatal.
"Mon, gue langsung pulang aja, ya. Kasihan Yuri udah nungguin--" Sigap menghentikan situasi yang semakin bikin nggak nyaman, gue beralasan.
"Yah, minuman kamu tumpah tuh. Aku ganti dulu, ya." Mon berkilah. Menunjuk dengan mata ke arah toples plastik kecil yang ternyata masih dipegangnya, cewek ini malah berucap, "Ini juga belum dimakan."
Gue melepaskan tarikan napas kuat-kuat.
"Next time ya, Mon. Gue buru-buru."
Mon mengiringi langkah gue menuju pintu. Sebelah tangannya kemudian meraba dinding. Sepertinya mencari saklar, karena beberapa saat kemudian ruang tamu yang tadinya gelap berubah terang benderang.
"Yey! It works!" Mon bersorak gembira, kayak anak kecil yang mainan rusaknya baru dibetulin. "Thanks a lot, Josh."
"Sama-sama," balas gue dan sudah berniat berpamitan. "Gue--"
"I mean it. Aku nggak tahu, kalau nggak ada kamu, pasti gelap hidupku."
Gue tergelak, sementara Mon terus berusaha mendekat.
"Kan kamu udah tahu, aku takut gelap." Cewek ini tiba-tiba menggaris perlahan pangkal lengan kemeja gue ke bawah dengan ujung telunjuknya. Biasanya, gue nggak pernah mikirin, tapi kali ini, entah kenapa terasa ada yang beda dengan sentuhan Mon.
Gue melirik sekilas pada jari yang akhirnya dia turunkan sebelum sempat gue tepis.
"Kadang, sesekali lo perlu belajar menyukai gelap. Karena ada hal-hal indah yang hanya bisa dilihat saat gelap, dihargai ketika senyap." Gue menunjuk ke langit pukul delapan malam itu. Ada bulan berbentuk sabit yang terlihat mengintip dari balik pepohonan di sekitar halaman pekarangan tetangga Mon. "Contohnya yang di sana."
Mon mengikuti arah telunjuk gue, mengangguk sekejap sebelum akhirnya menjawab.
"Aku akan coba menyukainya, Josh. Tapi, biar kamu juga tahu, aku senang banget kamu sudah mau bantu aku."
"Biasa aja, kali, Mon. Wajar gue nolongin temen. Lagian, lo bukan orang lain buat gue."
Mon melepas senyum singkat. Dia masih bersandar pada ambang pintu, menghadap gue yang sudah berjejak di teras.
"Yakin nggak mau minum dulu? Belum terlalu malam loh," tawar Mon lagi. "Kita bisa kok, ngelanjutin obrolan soal konsep program baru kamu. Kan belum selesai ngobrolnya waktu di mobil--"
Mon seperti belum lelah membujuk.
Setelah peristiwa tak disengaja tadi, gue pikir harus lebih menjaga jarak aman dari Mon. Khilafnya cukup sekali aja. Itu pun kalau yang barusan terhitung khilaf, bukan kecelakaan.
Gue menggeleng tegas.
"Ngobrolnya bisa dilanjutin kapan-kapan, atau di studio besok. Gue beneran harus pulang."
Mungkin tahu gue nggak bisa dibujuk, Mon menarik napas dalam-dalam.
"Thanks anyway buat bantuan kamu. Iya, besok aja kita obrolin lagi di studio," balasnya pasrah, mengekori gue yang sudah melangkah menjauh menuju mobil yang gue parkir di luar gerbang kosan Mon.
"Never mind. Eh, tapi gue bener-bener minta maaf soal yang tadi, ya." Cewek yang melipat kedua lengannya menutupi dada itu mengekeh. "Gue nggak sengaja--"
"That's okay." Mon hanya senyum sedikit, lalu mengangguk. "Sengaja juga nggak apa-apa."
Kalimat terakhir seperti diucapkan Mon tanpa maksud untuk gue denger, but, of course gue denger. Gue kan nggak budek.
"I beg your pardon?"
Mata Mon membulat sempurna, terlihat gelagapan.
"Oh, ng ... enggak apa-apa. I'll see you tomorrow?" imbuhnya cepat.
Gue bersiap masuk dan mulai menstarter mobil. Membalas lambaian tangan Mon sekilas dari balik kaca yang gue turunkan sedikit, akhirnya gue mengucap See you then, sebelum akhirnya benar-benar keluar dari lingkungan perumahan Mon.
*****
Lampu kamar Yuri masih menyala saat gue sampai.
Terburu-buru tadi gue sempatkan mampir ke swalayan membeli beberapa pak susu kedelai kesukaan gadis gue itu. Belakangan, nafsu makan Yuri benar-benar seperti lenyap ditelan bumi. Dia hanya mau minum susu atau sari kacang hijau. Tidak ada asupan nasi atau lauk apa pun yang masuk. Kalau beruntung, paling gue hanya bisa menyuapinya beberapa sendok nasi dengan lauk seadanya yang dia pengin.
"Non Yuri sudah tidur?" tanya gue pada Mbok Mirah, asisten rumah tangga yang sudah belasan tahun bekerja pada keluarga orang tua Yuri.
Oh ya, apa gue udah pernah cerita, kalau di rumah sebesar istana milik keluarga Yuri, hanya ada dia, dua orang pembantu dan dua orang sekuritinya saja?
Sejak tiga tahun lalu, orang tua Yuri sudah nggak bersama. Mamanya pergi entah ke mana. Om Frans selalu sibuk. Sering ke luar kota, bahkan ke luar negeri sampai berminggu-minggu. Pernah tidak pulang berbulan-bulan. Praktis Yuri selalu kesepian. Yuri nggak punya banyak teman. Bukan karena dia penyendiri, tapi Yuri sangat pemilih. Tidak mau berteman dengan orang yang hanya ingin memanfaatkan.
Sejak menjadi tetangganya tujuh tahun lalu, Yuri hanya percaya dan memilih berteman dengan gue dan keluarga. Waktu Yuri masih sehat-sehat dulu, hampir tidak ada hari dia nggak bertandang ke rumah kami. Kadang dia pulang hanya untuk tidur atau mandi dan mengambil peralatan sekolah. Selebihnya, Yuri selalu sama gue. So, no wonder kan, kalau kami bisa sedekat sekarang. Sayang aja, perasaannya sama gue belum berkembang seperti yang gue mau.
"Non seharian nangis aja di kamar, Bang. Nggak tahu kenapa." Mbok Mirah mengedikkan bahu. " Bahkan tadi sore, sampai jerit-jerit segala--"
Tas belanja berbahan spunbound dari supermarket yang berisi susu dan lain-lain itu belum lagi sempat gue letakkan di meja, seketika terlepas dan merosot ke lantai begitu saja.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, bergegas gue merangsek masuk ke kamar utama, yang kini dipakai untuk Yuri.
Mendadak berbagai pikiran buruk berkecamuk di kepala. Ingatan tentang Yuri yang pernah sangat depresi saat awal-awal ditinggal Caleb, kembali membayang. Termasuk saat beberapa hari lalu, gue kembali menemukan botol obat di laci meja rias Yuri. Bukan obat untuk penyakitnya, tapi obat tidur, yang dulu sering dikonsumsinya. Gue nggak akan bisa memaafkan diri gue sendiri kalau sampai terjadi sesuatu dengan dia.
Gue membuka pintu, mendapati cewek kesayangan gue itu dengan keadaan yang bikin kedua mata dan mulut gue membulat sempurna.
Oh dear!
Apa yang sudah terjadi dengan Yuri gue?
Daftar Chapter
Chapter 1: Syarat
1,332 kata
Chapter 2: Permohonan Terakhir
1,083 kata
Chapter 3: Bersamamu Tanpa Sengaja
1,232 kata
Chapter 4: Cintai Gelap
1,198 kata
Chapter 5: When You Say Nothing At All
1,100 kata
Komentar Chapter (0)
Login untuk memberikan komentar
LoginBelum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!