')">
Progress Membaca 0%

Chapter 2: Bab 2. Murka

Nitaosh94 19 Aug 2025 1,207 kata
GRATIS

Betapa kesal dan marahnya Jojo ketika keputusan yang telah diambil olehnya tidak disetujui. Beberapa jam kemudian dia pun memutuskan pergi ke warnet, bermain game untuk menghilangkan penat.

Tring! Tring! 

Jojo membaca pesan yang diterimanya barusan. Pesan masuk dari Caca yang membuatnya pindah arah tujuan yang awalnya berniat bermain game malah pergi ke rumah Caca.

“Beb, temani aku belanja ya!” Caca sangat antusias.

Jojo berusaha tersenyum. Walaupun sekarang dia sedang malas menemani sang pacar berbelanja, tetapi pria muda itu menyembunyikan wajah ketidaksenangan. 

“Jangan lama-lama,ya. Aku masih ada janji, Beb," ucap Jojo dengan menunjukkan ekspresi antusias akan hal tersebut.

“Kamu lagi ada masalah, ya, Beb? Cerita sama aku, jangan dipendam sendiri, Beb.” Caca sangat paham dengan sikap Jojo yang begini berarti sang kekasih sedang dalam suasana hati yang kurang baik.

Jojo mengangguk. "Besok aja ya belanjanya, Beb.”

“Tidak masalah, Beb. Aku bisa pergi sendirian, kok. Kamu kalau mau main game, gak apa, kok.”

Caca yang merasa tidak masalah akan hal itu, membuat Jojo lega dan mengiyakan ucapan itu. Jojo pun  langsung menuju warnet. Sangat mengerti dan paham tentang Jojo, tetapi Caca tidak ingin menunda niatnya yang ingin berbelanja pada hari itu juga. 

Setelah mendapatkan pesan dari Wardana akhirnya dia berbelanja ditemani oleh sahabat Jojo. 

“Tumben, kemana Jojo? Kok gak temani kamu belanja?” tanya Wardana penasaran.

“Seperti biasa, dia lagi gak mood,” jawab Caca sambil memilih baju dan menanyakan pendapat Wardana tentang baju yang telah dipilih.

"Bagaimana menurutmu? Bagus gak?” Caca menunjukkan gaun biru  dengan panjang kurang lebih selututnya dan hiasan yang tidak terlalu mencolok.

“Cantik. Cocok untukmu.” Wardana mengacungkan kedua jempolnya lalu tersenyum. Dia menatap Caca begitu intens.

“Oke! Aku beli ini, deh.” Caca membawa gaun itu ke kasir.

Setelah membeli baju, mereka berdua pun pergi ke sebuah restoran yang tidak jauh dari sana. Caca mulai merasakan kenyamanan saat bersama dengan Wardana, tetapi dia masih tetap menjaga perasaannya agar tidak berpaling. Sedangkan di warnet terlihat mood Jojo sudah kembali membaik ketika bermain game .

Setelah tiga jam berlalu, Jojo pun pulang ke rumah. Kedua orang tua Jojo sudah menunggu di teras rumah.

Melihat Jojo yang baru saja tiba, tanpa menunggu anaknya masuk, Maro pun langsung menanyainya, “Habis dari mana kamu? Pergi begitu saja dan baru pulang jam segini.” 

Jojo melihat jam di handphonenya. “Baru jam 10, Yah,” ucap Jojo santai dan langsung masuk.

“Jojo!” Maro sangat marah ketika menyaksikan sikap Jojo barusan padanya. 

Jojo pun terus berjalan ke arah kamarnya. Dia tidak menghiraukan sang ayah. Pria muda itu malah mengambil handset dari tas, lalu dipakaikan di kedua telinganya.

“Kamu besok ke Surabaya, kita urus kuliahmu!” Teriakan Maro Ghifari yang begitu menggelegar.

Mendengar ucapan Maro Ghifari barusan membuat Jojo menjadi sangat emosi. Walaupun dia memakai handset, tetapi amarah sang ayah masih terdengar olehnya. 

“Aku tidak mau kuliah, Yah! Kenapa dipaksa terus-menerus? Buat apa kuliah dengan nilai yang kurang memuaskan itu? Ayah yakin aku bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan, Yah? Apa gak takut nantinya aku akan mengecewakan Ayah dan Ibu?”

“Kamu gak boleh begini, Nak. Kamu harus nurut sama Ayah dan Ibu. Kami hanya ingin yang terbaik untuk masa depanmu,” Sanes mulai menasihati anaknya.

“Untuk masa depan aku atau untuk kepentingan Ayah dan Ibu?” Jojo masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu dengan sangat keras.

“Kamu pilih kuliah di Surabaya atau Ayah pindahkan kamu ke rumah yang lebih kecil?” teriak Maro Ghifari. Dia berusaha menggertak anaknya.

“Aku tidak mau kuliah! Lebih baik pindahkan aku ke rumah yang lebih kecil, Yah!” teriak Jojo dari dalam kamarnya.

Maro tidak menyangka ternyata anaknya mengiyakan gertakan itu, padahal dirinya tidak benar-benar serius, tetapi hal itu malah dianggap serius oleh Jojo.

“Bagaimana ini, Mas? Kamu tidak serius, kan? Kamu tidak benar-benar mengusir anakmu dari sini, kan?” Sanes mulai khawatir.

“Awalnya aku hanya menggertaknya. Aku tidak benar-benar serius,” bisik Maro.

“Bagaimana ini? Biarkan saja dia dengan pilihannya.” Sanes menjadi ragu dengan keputusannya. Dia sangat tidak ingin Jojo dipindahkan dan menjadi jauh dari mereka apalagi berpindah ke rumah yang lebih kecil tanpa fasilitas apa pun.

“Kita tidak bisa membiarkan Jojo seenaknya. Kalau aku berubah pikiran, maka dia akan menganggap semua omonganku ini hanya sebuah omong kosong saja," ucap Maro Ghifari.

"Aku mengerti, Mas. Ini memang pilihan yang terbaik." Tidak mau berdebat, akhirnya Sanes mengiyakan ucapan suaminya.

Jojo belum melepas headset di telinganya. Volume suara pada handset pun diperbesar. Dia kembali memainkan game di handphone tanpa terganggu oleh suara yang tidak diinginkan. 

Ketika Maro Ghifari menggedor-gedor pintu kamar Jojo, tetapi dia tidak mendengar hal itu. Sehingga hal itu membuat Maro semakin emosi dan beranggapan Jojo sengaja melakukan hal tersebut untuk menghindari dirinya.

Maro ingin mendobrak kamar Jojo,  tetapi hal itu ditahan oleh Sanes.

“Sudahlah! Berikan dia waktu untuk merenungkan ini semua. Jangan terlalu keras padanya.” Sanes berusaha untuk menenangkan suaminya dan pada akhirnya Maro mendengarkan sang istri untuk memberikan waktu buat Jojo menenangkan diri.

“Ya sudah. Ini sudah malam, sebaiknya kita istirahat," ucap Maro. Dia pun merangkul sang istri.

Sanes tersenyum. Dia merasa lega akhirnya sang suami bisa meredam emosinya.

Pada keesokan harinya, Maro Ghifari masih menunggu perubahan sikap dari Jojo, tetapi sedari tadi Jojo belum keluar juga dari kamarnya. 

Ketika kamarnya dibuka menggunakan kunci serep, ternyata Jojo tidak ada di dalam kamar, melainkan dia telah keluar melalui jendela. Sebuah jendela terbuka, menandakan sang anak keluar dari sana. 

Maro kembali emosi pada Jojo. Dia langsung memutuskan untuk menghubungi Jojo, tetapi panggilannya tidak dijawab sama sekali, melainkan ditolak.

“Jojo!” Maro sangat emosi.

Jojo pergi dan pulang seenaknya. Dia sekarang semakin tidak tahu sopan santun. Pria muda itu pergi tanpa berpamitan kepada kedua orang tuanya.

“Anak ini tidak bisa dibiarkan.  Semakin kurang ajar! Ini akibat dari kamu yang terlalu memanjakan dia, Nes.”

“Kenapa kamu menyalahkan aku, Mas?” Sanes pun meninggikan suaranya.

“Sudahlah, kenapa malah kita ikutan bertengkar?” Maro yang kadang disapa Maro ataupun Ghifari, sekarang dia lebih memilih mengalah pada sang istri. 

“Kamu duluan yang menyalahkan aku, Mas. Padahal kamu yang terlalu keras pada Jojo, jadi dia memberontak begini.” Sanes pergi ke dapur. Dia meninggalkan Maro Ghifari yang masih begitu kesal.

Maro memutuskan untuk mencari Jojo ke warnet yang biasa dia kunjungi. Ternyata memang benar, Jojo berada di sana.

“Jojo pulang! Sekarang!” bentak Maro yang membuat Jojo menjadi malu di depan teman-temannya.

“Tidak mau!” bisik Jojo pelan.

“Pulang sekarang atau ayah pindahkan kamu?” Maro menarik tangan Jojo.

“Aku tidak mau, Yah!” Jojo berusaha melepaskan tangan sang ayah yang berusaha menariknya untuk pulang.

“Baik, kalau itu keputusanmu. Ayah akan pindahkan kamu ke rumah kecil itu. Sendirian tanpa fasilitas apa pun dari kami, orang tuamu!” Dari sorot mata Maro terlihat benar-benar serius mengatakan demikian. 

“Semua ini tidak adil!” Jojo berteriak. 

Jojo merasakan ketidakadilan pada dirinya. Dia merasa ketidakadilan menghampirinya sekarang. Pria muda itu terus bersungut-sungut. 

Jojo sangat membenci semua itu, semua yang terjadi padanya sangat tidak bisa diterima oleh akal. Dia merasa sekarang tidak mempunyai keluarga. Pria muda itu merasa keluarganya tidak menyayangi dirinya. Pria berkacamata itu berpikir bahwa kedua orang tuanya tidak memikirkan dirinya sedikitpun, hanya kepentingan sepihak saja.

Dunia tidak adil! Ayah dan Ibu sudah tidak menyayangiku sebagai anaknya! Aku sudah tidak dianggap lagi! Tidak ada artinya lagi aku bagi mereka. Semua ini sangat tidak adil! Jojo berbicara dalam hatinya. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa sang ayah bisa berkata begitu kasar padanya.

Daftar Chapter

Chapter 1: Bab 1. Goncangan Mental

1,065 kata

GRATIS

Chapter 2: Bab 2. Murka

1,207 kata

GRATIS
SEDANG DIBACA

Chapter 3: Bab 3. Merasa Ketidakadilan

1,073 kata

GRATIS

Chapter 4: Bab 4. Emosional

1,019 kata

GRATIS

Chapter 5: Bab 5. Terselamatkan atau Hila...

1,034 kata

GRATIS

Komentar Chapter (0)

Login untuk memberikan komentar

Login

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama memberikan komentar!